17/8/22
Happy Reading
***
"Aku?"
Laya memalingkan wajahnya.
Tidak suka dengan kedatangan Finn kali ini. Rasa kesalnya masih tersisa sampai saat ini.
Huh!
"Kau, 'kan?" Savita berdiri, tersenyum seramah mungkin.
Pikirannya langsung tertuju pada ….
Ah, jangan-jangan pria ini … pria yang sudah membantu Laya membayar semua hutang perawatan dan biaya operasi Vihan.
Hemm, Laya 'kan tidak mau memberitahu siapa orang yang sudah membantunya.
Eh, tunggu! Jika benar ini pria-nya …
Jangan katakan Laya sudah menjual tubuhnya pada pria ini?
Berarti yang mengambil keperawanan Laya, pria ini dong?
Oh, tidak!!
Savita berjalan mendekati Finn yang masih berdiri diambang pintu. "Kau pria yang waktu itu, 'kan? Kalau tidak salah … Finn Lamant, benar?" tanyanya basa-basi. Ia sangat senang melihat mata biru Finn yang cerah. Apalagi wajah Finn sangat cerah seperti bulan purnama.
Finn mengangguk. Walau baru bertemu satu kali dengan wanita ini tapi Ia masih ingat betul dengan wanita yang bernama Savita ini. Ah, ternyata benar. Savita memang teman Laya.
"Aku pikir, aku tidak akan bertemu denganmu lagi, Finn." Savita mengulurkan tangannya. Mengajak Finn untum bersamalam.
Finn mengangguk lagi. Menyambut uluran tangan Savita. "Senang bertemu denganmu lagi," ucapnya— yang sama sekali tak melepas tatapan matanya dari Laya yang sepertinya masih sangat marah padanya.
Finn mengaku, kalau ia memang salah karena telah mencampuri kehidupan Laya tapi … ia juga ingin tahu, siapa pria yang dimaksud dalam pembicaraan mereka tadi? Apakah pria itu sudah melakukan hal yang seharusnya tidak dilakukan?
Kalau, yaa … apa yang harus ia lakukan sekarang?
"Ayo, kau pasti mau menjenguk Vihan, 'kan?" Savita menggiring Finn untuk berjalan. Matanya tak ada puasnya menscan tubuh Finn yang sangat sempurna dari ujung rambut hingga ujung kaki.
Penampilan Finn tak kalah dengan pria yang tadi. Mereka berdua sama-sama tampan dan begitu enak dipandang mata. Tapi wajah Finn terlihat lebih bersahabat dibanding pria tadi yang terlihat sedingin dan sekaku batu es di laut lepas.
Sesampainya di depan ranjang Vihan ….
"Bagaimana keadaan Vihan, La?" tanya Finn basa-basi— melihat Laya yang sama sekali tak mau melihatnya— jujur, saja. Dibanding keadaan Vihan, ia lebih penasaran dengan keadaan Laya yang terlihat sangat lelah dan kurang tidur.
Laya hanya diam saja. Tak mau bersuara. Ia masih kesal pada Finn.
"Kau masih marah padaku?"
Laya tetap diam. "Sudah tahu masih tanya! Menyebalkan, kan? Lebih baik diam!" gerutunya dalam hati.
Lho, apa-apaan ini? Savita yang tidak tahu apa-apa hanya bisa tolah-toleh kebingungan. Ada apa ini? Kenapa suasananya jadi sedingin ini. Bukankah Finn adalah penyelamat Vihan? Kenapa sikap Laya sedingin ini pada Finn?
"Ada apa?" tanya Savita memberanikan diri. Melihat Finn lalu melihat Laya dengan tatapan curiga. "Ada masalah, La?"
Laya menggeleng. "Tidak ada apa-apa," katanya dengan wajah bertekuk malas.
"Tapi kenapa kau—"
"Sudah kubilang tidak ada apa-apa, Sav!" ucap Laya sedikit lebih tegas.
"Oke, baiklah." Savita mendengus. Duduk kembali ke tempatnya. Pasti ada masalah serius nih!
Finn menghembuskan napas dengan berat. "Aku tak bermaksud untuk mencampuri urusan pribadimu, La. Aku hanya ingin membantumu melewati ini semua. Kau tahu aku akan ada untukmu."
"Hem, terima kasih," ucap Laya dengan nada yang sangat dingin.
"La?" Finn memajukan langkahnya tapi ….
"Vihan baik-baik saja. Terima kasih sudah mau peduli dengan kita. Kau tak perlu mencemaskan aku ataupun Vihan lagi, Finn."
Savita sedikit terkejut saat mendengar Laya mengucapkan itu. Ia melihat Finn. Disana terlihat sekali jika wajah tampan itu tampak kecewa.
"Jika tidak ada urusan kau boleh pergi. Aku lelah dan ingin beristirahat," lanjut Laya tanpa melihat Finn sama sekali.
"Tapi—"
"Aku tidak ingin bicara denganmu!" tegas Laya to the point— memotong ucapan Finn dengan pasti.
"Maafkan aku, La."
Laya mengangguk. "Kau boleh pergi."
"Oke." Finn memundurkan langkahnya. Tidak mau memperpanjang masalah. "Jika ada apa-apa tolong hubungi aku. Kau tahu 'kan, aku akan selalu ada untukmu."
"Terima kasih."
Laya menghembuskan napasnya dengan lega. Finn benar-benar menyebalkan.
.
.
.
Savita mengajak Laya untuk menyingkir sejenak dari samping ranjang Vihan. Ia membawa Laya ke balkon.
"Finn Lamant, siapa dia?" tanya Savita.
"Teman. Kuliah."
"Hanya itu?" Savita mengernyit tak percaya.
"Ya." Laya memutar bola matanya dengan malas.
"Kenapa kau tak pernah memberitahuku?"
"Untuk apa?" Laya mendengus. "Lagipula tak ada yang harus kuceritakan tentang Finn Lamant padamu. Hubungan kita tak sedekat itu. Pertemanan kita pun hanya 4 tahun dan tidak lebih dari itu. Oke!!"
"La?!" Savita memegang erat kedua bahu Laya. "Aku masih temanmu, kan?"
Mata Laya berkaca-kaca. Hatinya dongkol. Perasaannya nano-nano saat ini. "Didunia ini hanya kau yang kumiliki, Sav."
"Astaga!!" Savita memeluk Laya. Tidak tega melihat wajah Laya yang kelelahan seperti itu. "Apa yang Finn lakukan padamu, hah? Dia melecehkanmu? Dia menyakitimu? Katakan padaku? Biarku hajar dia habis-habisan."
Laya menggeleng. Membalas pelukkan Savita. "Finn pria yang sangat baik, Sav."
Pelukkan mereka terurai dramatis.
"Lalu?"
"Aku hanya kesal padanya."
"Karena?" Savita menghela napas.
"Aku dan Finn lama sekali tidak berjumpa, tapi kau tahu … tahu-tahu dia mencampuri urusan pribadiku. Dia menanyakan dari mana aku mendapatkan uang sebanyak itu untuk operasi Vihan dan dia seperti menuduh ku menjadi pelacur disalah satu rumah bordil." Jelas Laya dengan hati-hati.
"Ahhh, jadi itu." Savita mengangguk paham. Pantas saja. Ia pun akan tersinggung jika diperlakukan seperti itu. "Kupikir Finn yang sudah membantumu."
Laya menggeleng. "Bukan. Finn sebenarnya sudah menawariku bantuan. Tapi kutolak. Kau tahu sendiri aku tak mau bergantung atau berhutang pada siapapun. Aku tak ingin merepotkan siapapun. Apalagi membawa Finn dalam masalah pribadiku seperti ini. Aku tak mau punya hutang budi pada siapapun, Sav."
"Hemm, kau ini." Savita mengelus kepala Laya dengan sayang. Pendirian Laya sangat kuat. "Tapi setidaknya jika kau mau menerima bantuan Finn, kau bisa meringankan sedikit bebanmu itu, La."
"Aku tidak punya beban apapun, Sav." Laya menghela napas dengan berat, lalu tersenyum. "Lebih baik seperti ini daripada nanti dimanfaatkan seseorang dengan embel-embel balas budi."
"Hem, terserah kau saja," kata Savita. Menyerah. "Kau saja tak pernah menganggapku ada, kan?"
"Eh, kok bicaranya seperti itu?" Laya terkekeh. Sangat gemas, saat melihat wajah Savita yang cemberut. "Walau telat aku 'kan selaku cerita padamu, heheh."
Savita meledek tawa Laya yang sangat menyebalkan itu. "Kapan, hah?"
"Tunggu waktu yang tepat."
"Hish!" Savita semakin mendengus kesal.
"Kau tak perlu mengkhawatirkanku terlalu berlebih, Sav." Laya memeluk Savita. "Dengan adanya kau disisiku saja, sudah membuatku merasa nyaman, oke?"
"Emm."
***
Salam
Busa Lin