Chereads / DIVE INTO YOU / Chapter 40 - KEDATANGAN SAVITA

Chapter 40 - KEDATANGAN SAVITA

4/8/22

Happy reading

***

"Maaf, nona, Anda siapa?" Mor segera menghampiri wanita yang tiba-tiba saja berteriak memanggil nama Laya. 

"A-anu, saya …." Savita memicingkan matanya. Ada pemandangan aneh disini. 

Itu Laya, 'kan? Sahabatnya? Kenapa dia bisa tidur di pangkuan pria lain? 

Lalu bagaimana dengan Vihan? 

Apa yang terjadi disini? 

Apa yang sudah dilewatkannya selama ini? 

Siapa pria itu? Kenapa Laya tidak pernah mengenalkan pria itu padanya?

Eh, tunggu?! 

Oh, Tuhan!! Ke-kenapa pria itu tampan sekali? Siapa namanya? Dimana Laya bertemu dengan pria setampan itu?!

"Nona, maaf?" Panggil Mor sekali lagi. Wanita ini berubah jadi patung— hanya matanya saja yang berkedip bingung. Sepertinya, wanita ini terkejut melihat sesuatu yang ada di depan matanya.

"Ahh, iya, maaf," kata Savita tersenyum ramah. "Saya Savita teman Laya dan Vihan." 

"Ohh." Mor mengangguk paham. "Tuan Vihan masih menjalankan operasinya, nona," jelasnya. "Kalau Nona Laya sedang tidur. Mungkin dia lelah, nona." Mor menunjuk ke arah Laya.

"O-ohhh." Savita sampai bingung harus berkata apa karena ia sama sekali tak mengenal pria ini— pria ini walau sudah berumur — sebut saja om-om— tapi masih terlihat tampan dan badannya lumayan bagus juga. Uwah, mana ada kumis tipis-tipisnya lagi. Kalau dipegang pasti menggelikan. 

"Uhh, apaan sih, Sav! Ganjen banget sama om-om!" batin Savita merutuki dirinya sendiri. Jujur saja, ia paling tidak bisa melihat pria berumur— pria dewasa— yang masih seseksi ini.

"Lalu Anda siapa, tuan?" tanyanya kemudian.

"Saya Mor, supir pribadi dari Tuan itu, nona." Mor menunjuk Jarvis yang sedang mengelus-ngelus sayang dahi Laya dengan salah satu tangannya yang bebas.

Hahh? Su-supir? 

Tidak mungkin!!

Pria sejantan ini hanya dijadikan sopir?! Astaga!!

Savita sangat terkejut dengan status pekerjaan pria bernama Mor ini. 

Mor … Mor … Mor!

Nama yang sangat menggairahkan!

"I-iyaa," kata Savita menggaruk kepalanya yang tidak gatal lalu tanpa mengatakan apa-apa — karena gugup— ia berjalan mendekati Laya— yang tertidur amat pulas.

"Ehem?!" Savita berdehem lumayan keras mencari sedikit banyak perhatian pria yang sejak tadi tidak lepas melihat ponsel. 

Huh, yang bikin iri adalah jari-jari indah pria ini sedang mengelus penuh perhatian dahi Laya. 

Mana jari telunjuk dan tengahnya manly banget lagi, huh! Eh, astagaaa!!

"Permisi, tuan?"

Jarvis tidak bergeming dari ponselnya. Jujur saja, ia sama sekali tidak mendengar suara apapun selain suara hatinya yang sedang membaca penuh konsentrasi dokumen yang ada di ponselnya.

Savita melihat Mor lalu melihat pria tampan ini lalu melihat Laya yang benar-benar sangat nyaman tidurnya kemudian ia menghembuskan napas dengan kesal.

Sebal karena dicuekin, dan kesal karena Laya tak mengenalkan pria setampan ini padanya lalu … eum, sejak kapan Laya dekat dengan pria lain selain Vihan? 

Ohh, iyaaa?! Kemarin saja ia tak sengaja bertemu dengan seorang pria— yang tak dikenalnya juga. Mana pria itu juga memiliki ketampanan tiada batas lagi. 

Siapa, ya namanya? Ah, pria itu bilang teman kuliah Laya. Finn Lamant, bukan?!

"Tuan, saya Savita Maharani teman Laya Gemina!" Savita sedikit menaikkan nada suaranya. Menyebalkan sekali!!

"Heuh?" Jarvis dengan malas mendongakkan kepalanya. 

"Saya teman Laya."

"Oh." Jarvis melihat Laya. "Tidur."

"Iya, saya, tahu," kata Savita. "Saya bangunkan, boleh? Saya mau bicara dengannya?" 

"Ada urusan apa?" Jarvis mengerutkan keningnya. Tidak terlalu suka melihat wajah wanita ini, terlalu kaku.

"Saya mau minta penjelasan dari wanita menyebalkan ini!!" Savita mendengus. Tidak suka dengan cara Laya yang sama sekali tidak mengabarinya soal operasi Vihan dan segala tetek bengeknya. 

Sudah, di bilang berulang kali. Ia akan selalu siap kapan saja jika Laya membutuhkan bantuannya.

Eh, kemarin sewaktu ia kembali lagi ke kamar Laya untuk menanyakan kabar sahabatnya itu setelah pulang kerja larut malam … eh, si Laya sudah tidak ada dikost.

Savita baru bisa datang setelah mendapat izin untuk kerja setengah hari dari atasannya.

Dasar wanita menyebalkan!!

"Penjelasan?"

"Yaaa!" Savita menggoyang pelan tubuh Laya. "Bangun, ini aku Savita, La."

Jarvis menahan tangan wanita yang tidak dikenalnya ini. "Dia baru saja tidur."

"Yaa, tapi …." Savita tidak berani menantang tatapan tajam dari mata bulat pria ini. Ia berusaha mengalihkan pandangannya. "Huh, kau ini?!" Savita hampir mengumpat tapi tidak jadi.

"Oke, aku tidak akan mengganggunya." Savita tersenyum.

Jarvis mengangguk lega.

"Gantinya ajak aku ngobrol." Savita duduk disamping Jarvis, melihat wajah Jarvis dari samping. Wahh, mulusnya. Tidak ada bekas cukuran jenggot ataupun kumis. Mana tidak ada pori-porinya lagi. 

Jika seperti ini, ingin rasanya Jarvis menyingkir dari tempat ini. 

Tapi, huh, hah! Ia melihat Laya. Iler … ya, Tuhan!!

"Sudah berapa lama operasi Vihan, tuan?" Pertanyaan pertama yang dilontarkan Savita pada Jarvis. 

Jarvis hanya diam saja. Ia menggeleng tidak suka dan tiba-tiba saja ia merasa tidak nyaman dengan situasi ini.

Mor, yang melihat Tuan Jarvis yang sudah tidak nyaman langsung menghampirinya lalu melihat Savita dengan sopan. 

"Nona, silahkan duduk disana." Mor menunjuk ke arah kursi yang masih kosong.

Savita tidak bergerak. "Aku hanya ingin bicara dengannya," rengeknya dengan suara yang sok dimanja-manjakan.

"Bicara dengan saya saja, bagaimana? Saya usahakan akan menjawab semua pertanyaan, nona." Mor menawarkan diri. "Tuan saya tidak ada waktu untuk meladeni Anda, nona. Lagi pula Nona Laya sedang tidur, nona."

"Tapi—"

"Urusan Anda dengan Nona Laya, bukan dengan Tuan saya, jadi …." Mor mengedipkan matanya yang mengisyaratkan banyak arti. Salah satunya adalah, kalau tidak mau cari masalah lebih baik jangan membuat Tuan Jarvis sampai murka.

Savita yang melihat kedipan halus — yang dipikirannya— penuh ajakan sensual merasa tertantang. Mau apa nih, om-om! 

"Oke." Savita berdiri. "Dimana aku harus duduk?!" Kakinya sudah melangkah ke arah kursi yang tadi ditunjuk Mor.

"Maaf, tuan," kata Mor dengan penuh rasa hormat. "Sepertinya teman kost Nona Laya."

"Hem, bereskan, Mor." 

"Siap, tuan." Mor undur diri.

.

.

.

"Jadi sudah berapa lama operasi Vihan?" Savita akan mengeluarkan rokok, tapi, astaga!! Kenapa ia bisa lupa kalau ini di rumah sakit, sihh!!

Mor yang melihat itu hanya bisa menggelengkan kepalanya. 

Hem, ternyata dia wanita yang seperti ini. 

Oke, lumayan juga!

"Sekitar 4 jam'an, nona." Mor melihat jam tangannya. Sekarang pukul satu siang.

"Hah, sudah lama ternyata." Savita menghembuskan napasnya.

"Anda ini—"

"Panggil saja Savita, Mor. Jangan terlalu formal," kata Savita, merasa risih.

"Ah, iya, maafkan saya," kata Mor, yang tidak terbiasa berkata informal. "Kau ini teman kost Nona Laya?"

"Hem, teman sejak kecil juga. Kita berpisah pas kuliah saja selama empat tahun," jelas Savita.

"Wah, ternyata lama juga."

"Hem, seperti itulah." Savita tersenyum, sejenak mengingat masa kecilnya dengan Laya. "O-iya, jadi siapa nama Tuanmu itu, Mor?" tanya Savita to the point pada Mor. 

Mor menggeleng. "Maaf, nona, privasi."

"Ya elahhh." Savita mendengus. "Dimana mereka bertemu?"

"Maaf, nona." Mor menggeleng samar.

Savita semakin mendengus. Percuma dong bicara dengan Mor. "Lalu apa hubungan mereka berdua? Mereka bukan sepasang kekasih, kan?!" 

Savita langsung menggeleng, tidak mungkin. Laya itu tipe wanita yang amat setia. Tidak mungkin Laya menduakan Vihan yang sedang sekarat di meja operasi itu.

"Saya tidak tahu, nona."

"Haish." Savita hampir mengumpat. "Lalu, bagaimana mereka berdua bisa bersama seperti itu? Mana mesra banget lagi? Tidak mungkin 'kan mereka tidak punya hubungan spesial?!"

Mor tersenyum. "Itu urusan pribadi Tuan saya, nona. Saya tidak pernah ikut campur untuk urusan semacam itu."

"Kau ini!!" Savita hampir berteriak. 

Hih!! Tujuannya kemari selain untuk menemani Laya sebenarnya ia juga ingin memarahi Laya … tapi, kenapa ia jadi yang emosi seperti ini?!

"Kau ingin merokok?" Mor menawarkan sesuatu. Jika seperti ini, saat melihat penampilan Savita yang tidak biasa— maksudnya pakaiannya sopan hanya saja … insting pria dewasa yang sudah memiliki dua anak tanpa ibu dan yang sudah menjelajahi hampir sepertiga rumah bordil di negara ini … jujur saja, ia tahu keinginan terdalam seorang wanita.

Savita mengangguk lalu melihat Mor dengan tatapan penuh arti. Tawaran merokok untuk Savita itu artinya … ehem!!

"Oke, dimana?"

"Kost?"

***

Salam

Busa Lin