9/6/22
Happy Reading
***
Kata-kata yang diucapkan Jarvis selalu terngiang-ngiang di pikirannya …
"Ingat yang bermanfaat untuk saya bukan untuk perusahaan," gumam Laya menirukan nada suara Jarvis yang tadi terdengar sangat misterius. "Tapi, apa? Apa? Penawaran apa yang harus kuberikan pada Jarvis?! Apa?! Ya Tuhan!"
Laya benar-benar berpikir keras sepanjang perjalanan menuju pulang ke kos-kosnya— dia sampai tidak sadar jika angkutan umum yang dinaikinya sudah sampai di depan kosnya.
"Nona, sudah sampai," kata bapak supir.
"Heuh?!"
"Sudah sampai, nona," kata bapak sopir itu sekali lagi.
"Ohh." Wajah Laya benar-benar terlihat cengo, "Maaf, Pak. Terima kasih, Pak," ucapnya penuh penyesalan karena bapak sopir itu harus menunggunya selesai melamun seperti tadi.
Ahh, gara-gara memikirkan Jarvis, ia jadi kehilangan kendali pikirannya sejak tadi.
Huh, untung saja dikantor tidak ada yang curiga padanya tadi. Mulan pun tidak mengatakan apa-apa, mengenai dirinya yang berlari mengejar Jarvis tadi.
Mungkin, Mulan tidak mau mencampuri urusannya atau mungkin saja dia takut dipecat karena setelah keluar dari ruangan Jarvis tadi— Mulan mengatakan jika wajahnya terlihat pucat dan kelelahan.
Hah, Laya juga sangat lelah.
Lelah karena memikirkan apa yang sebenarnya diinginkan Jarvis.
Ada yang bisa memberitahu Laya, Apa yang diinginkan Jarvis?
"Penawaran yang seperti apa— yang bermanfaat untuk bosnya itu?" Laya tanpa sadar bergumam, dia melewati pintu masuk kost tanpa menoleh kesana kemari.
Kalau sesuai dengan novel-novel erotis yang dibacanya, sih ... biasanya bos-bos itu akan meminta sesuatu dengan cara to the point lalu jika mendapat penolakkan biasanya, akan lebih banyak memaksa, lebih banyak mengintimidasi, lebih banyak mengancam dan lebih banyak pakai kekerasan.
Disekap, misalnya?
Entahlah.
Tapi, kok, yang ini beda, ya?
Jarvis itu sebenarnya tipe pria yang seperti apa, sih?!
Laya menggaruk kepalanya dengan frustrasi.
"Harusnya dia yang memberikan penawaran itu, bukannya aku! Terus, aku juga tidak tahu, sesuatu hal yang bermanfaat untuk hidup Jarvis itu yang seperti apa?" Laya mendesis lelah.
"Hish, kenapa nambah-nambahin pikiran saja, sih! Mana tadi aku tidak bisa protes lagi. Dasar bos aneh!! Tinggal to the point saja bisa tidak, sih!! Tinggal bilang, aku mau ini, aku mau itu! Bisa kan?! Pekerjaanku itu tidak hanya memikirkan keinginan mu saja, Bos! Tapi, ada Vihan juga yang sangat membutuhkan aku!!"
Dasar bos sialan!"
Arghhh!!
Laya tanpa sadar berteriak kesal pada dirinya sendiri. Mau pinjam uang saja susahnya minta ampun.
"Hehhh!! Berisik, gila!!"
"Maaf," kata Laya berpuh lelah. Melihat Savita yang hanya melongokkan kepalanya itu.
"Ada apa lagi?" tanya Savita, keheranan.
Heran karena akhir-akhir ini sahabatnya itu senang sekali berteriak.
"Tidak ada apa-apa." Laya menghela napas. "Aku bertemu dengan orang aneh hari ini," katanya sambil membuka pintu kamarnya.
"Siapa lagi?"
"Ada lah. Besok saja kuceritakan," ucap Laya dengan kelelahan yang sesungguhnya.
Dia akan masuk ke kamar ....
Eh, tapi?
"Sav?"
"Ya?" Savita jadi berbalik melihat Laya.
"Kau tahu tidak, sesuatu hal yang bermanfaat … eum, atau sesuatu yang sangat dibutuhkan oleh seorang pria?"
"Heuh?" Dahi Savita mengernyit dalam. "Cinta, kesetiaan, kehangatan … mungkin," ucapnya asal, mengedikan bahu.
Savita pikir, Laya bertanya hal seperti itu untuk Vihan. Apa lagi sih yang dibutuhkan Vihan selain cinta yang tulus, kesetian yang murni dan kehangatan akan kehadiran cinta kasih untuknya yang sedang sekarat. Benar kan?
"Hish!" Laya mendesis. "Sudahlah," katanya. "Biar kucari sendiri solusinya."
"Eh, La ... kita belum selesai bicara, ya?!"
Huh, iya ... iya!
Laya menutup pintu kamarnya, dia melepas satu persatu pakaian yang dikenakannya hingga tersisa pakaian dalamnya yang berwarna merah marun.
Entah kenapa setelah semua pakaiannya terlepas, Laya tidak langsung kekamar mandi seperti biasanya untuk membersihkan diri.
Tapi … kaki cantiknya ini justru membawanya menuju ke arah cermin yang memiliki tinggi seukuran tubuhnya.
Jujur, Laya tidak pernah memberi perhatian lebih pada tubuhnya yang ... eum, ternyata langsing dan singset ini, karena menurut tunangannya, tubuhnya ini sudah sesuai dengan apa yang dimau Vihan.
Jadi, ya ... ia benar-benar menjadi Laya apa adanya. Tidak pernah berdandan, tidak pernah memakai pakaian seksi dan tidak pernah menonjolkan terlalu berlebih apa yang dimilikinya.
Ya, semua yang ada dirinya, adalah milik Vihan. Jadi, selama berpacaran dan akhirnya bertunangan dengan Vihan, Laya selalu mematuhi semua aturan yang Vihan berikan.
Muak, pasti! Tapi, kalau sudah cinta?
Mau, apa?
"Hemm, memang aku secantik apa, sih?"
Laya menggerai rambutnya yang sebahu, dia merapikan poninya yang mulai memanjang.
Berpose bak model dewasa yang siap dipotret.
Cekrek, cekrek, cekrek!
Hahaha, Laya menertawakan dirinya setelah menampilkan pose-pose dewasa yang sangat seksi di depan cermin.
Huh, oke. Dia jadi memperhatikan setiap inci tubuhnya dengan lebih jelas lagi.
Kulitnya yang kecoklatan jadi terlihat seksi jika terkena pantulan cahaya lampu.
Wohhh!
Laya, benar-benar terkejut melihat keindahan kulitnya sendiri!
Laya meraba lekuk tubuhnya dengan penuh penghayatan— dari atas hingga bawah.
Ah, jadi seperti ini bentuk tubuhku.
"Memang bentuk tubuh seperti ini indah, ya?"
Mata Laya langsung tertuju pada buah dadanya yang masih tertutup pakaian dalam. Ia menangkup dadanya yang sekal itu, meremasnya dengan pelan lalu ....
"Eum, seksi."
Seketika wajahnya memanas, bosnya tadi mengatakan jika dadanya ini sangatlah seksi, dan lagi ... dia berbalik lalu menepuk salah satu bulatan pantatnya ....
"Apa pendapat bosnya mengenai pantatnya yang tepos ini?"
Ehh, tepos?
Tidak kok?!
Laya mengelus-ngelua sayang kedua bulatan pantatnya yang sintal itu ...
"Ternyata ada isinya juga. Mana kenyal lagi," gumamnya cengengesan sendiri melihat pantatnya yang bulat indah ini.
Seksi!
Hihihi!
"Ahh, apa pendapat Jarvis mengenai pantatku ini? Kenapa tadi aku harus memotong ucapannya, sih?! Jadinya aku tidak tahu apa yang akan dikatakannya tadi."
Huh!
Eh ... eh, tunggu dulu!
Hish, kok, aku jadi seperti ini?!
Laya langsung berlari ke arah ranjangnya. Mengambil selimut untuk menutupi tubuhnya yang naked.
Apa-apaan sih tadi?
Hish! Kenapa aku jadi seperti ini?
Laya buru-buru ke kamar mandi.
Dia mengguyur seluruh tubuhnya ...
Hilanglah, pikiran kotor itu, hilanglah!
*
*
*
Satu minggu kemudian ....
Laya bersiul-siul kecil dengan begitu semangatnya. Walau biaya pengobatan Vihan berada diujung tanduk— Laya tetap harus menikmati hidupnya yang sudah hancur ini.
"Hahaha, apalagi yang harus aku lakukan selain aku harus hidup bahagia!"
Jika ia terlalu memikirkan kehidupannya yang sangat semrawut ini, bisa saja ia akan menjadi official member terkuat penghuni rumah sakit jiwa.
Tidak ... tidak boleh!
"Aku harus kuat!!" Laya mengepalkan tangannya, menyemangati dirinya sendiri.
Hari ini sebenarnya suasana hati Laya dalam keadaan on fire, karena tidak jauh dari rumah sakit Francisco Isamu ini— di Studio Teater Artistik— sedang diadakan pameran lukis untuk umum.
Pameran lukis itu bisa diikuti oleh siapapun. Uang hasil penjualan lukisan-lukisan itu berapa persennya akan disumbangkan ke panti asuhan yang ada di dekat sini.
Tadi, setelah menjenguk Vihan lalu mengobrol satu arah dan memastikan sekali lagi keadaan Vihan baik-baik saja— Laya langsung meminta izin untuk pergi ke pameran lukis untuk umum itu.
***
Salam
Busa Lin