12/6/22
Happy Reading
***
"Bos, tunggu!!" Laya berlari mengejar Jarvis. Ia berusaha mengikuti langkah Jarvis yang sangat panjang itu. "Itu penawaran yang bisa saya berikan untuk, Anda! Seminggu lalu Anda mengatakan jika penawaran itu harus yang bermanfaat untuk Anda dan bukan untuk perusahaan, kan? Lalu apalagi yang bisa saya tawarkan selain tubuh saya ini?!"
"Tapi itu tidak bermanfaat untuk saya!! Saya tidak suka wanita!" Jarvis tetap berjalan, tidak peduli dengan suara derap langkah Laya yang terdengar kesusahan mengikutinya itu. "Saya jamin, pasti kau sudah sering bercinta dengan banyak pria, kan? Apalagi kau itu sudah bertunangan! Saya hanya akan dapat bekas pria lain. Enak saja!!"
Laya menghentikan langkahnya. Ingin rasanya dia menimpuk kepala Jarvis dengan sepatu yang dikenakannya ini. "Astaga!! Jahat sekali kalau bicara!!" Laya tanpa sadar berteriak.
Sedikit banyak tidak memperdulikan keadaan sekitar, pun ia tidak peduli dilihat banyak orang.
"SAYA MASIH PERAWAN, BRENGSEK!!!"
Jarvis menghentikan langkahnya, balik badan, dan mata bulatnya yang tajam langsung tertuju pada Laya.
Disana terlihat jelas sekali jika Laya jadi salah tingkah dan kepalanya yang sekeras batu marmer itu, sedang tolah toleh kesana-kemari dengan panik.
"Penipu!"
Laya menggeleng. "Saya masih perawan!" Dua jarinya terangkat. "Sumpah demi apapun yang hidup didunia ini."
"Buktinya?" Jarvis berjalan mendekati Laya. Ingin rasanya dia menarik Laya keluar dari sini.
Laya dengan panik memundurkan satu langkahnya. "Saya bisa membuktikan kalau saya masih perawan."
"Caranya?" Jarvis meraih pergelangan tangan Laya. "Haruskah saya melihat kamu telanjang dulu, hah?!"
Laya menggeleng dengan kuat. Ia meringis kesakitan saat pergelangan tangannya dicengkram begitu kuat.
"Haruskah kita melakukan percintaan satu malam dulu?!"
Laya lagi-lagi menggeleng.
"Haruskah saya menyuruh salah satu dari mereka untuk mengetes keperawanan mu?" Jarvis menunjuk random pada orang-orang yang sedang menonton mereka.
"Brengsek!!" umpat Laya tanpa sadar. "Sudah saya katakan kalau saya ini bukan lah wanita murahan! Saya ini masih perawan!!"
"Terus?"
"I-iyaa bercintalah dengan saya," ucap Laya menghindari tatapan marah Jarvis. Ia memukul bibirnya yang salah bicara.
Tadi Jarvis sudah menawarkan itu padanya.
Hish!
Tapi jujur, dalam tatapan mata itu sama sekali tidak menampakkan kemesuman sama sekali.
"Ma-maksud saya … ini, ah, mau Anda apa sekarang? Saya tidak tahu lagi apa yang harus saya tawarkan untuk, Anda." Laya berkedip bingung.
"Tidak bisa memikirkan hal lain selain ini?"
Laya menggeleng pasrah. "Saya masih perawan ting-ting, kecuali bibir," ucapnya jujur. Daripada nanti ditanya macam-macam. "Semua yang ada dibalik baju ini belum dijamah oleh pria manapun. Tunangan saya pun belum pernah menyentuh saya sampai sejauh itu."
Laya menghembuskan napasnya saat melihat wajah Jarvis yang tidak percaya dengan ucapannya.
"Oke, jujur! Perut dan paha saya pernah disentuh-sentuh oleh tunangan saya. Tapi itu bisa dibilang wajar, kan? Namanya orang ciuman, wajar kalau tangannya tidak sadar sentuh-sentuh kesana kemari."
Laya lagi-lagi menghela napas panjang. Belum percaya juga ternyata. "Selain itu, semuanya tidak pernah disentuh. "Dada saya ...," katanya sambil mengangkat salah satu buah dadanya. "Masih aman, tunangan saya sama sekali belum pernah memegangnya."
Lalu, Laya melihat kebagian bawah. Menerawang jauh yang ada dibalik celana jeans yang dikenakannya. "Itu benar-benar masih fresh," ucapnya benar-benar malu setengah mati. Ini ranah pribadinya.
"Baik jari atau ehem ...." Laya berdehem, semakin kikuk dengan situasi ini. Apalagi suara kasak-kusuk itu semakin ramai saja. "Sama sekali tidak pernah masuk ke dalam sana."
"Yakin?"
Laya mengangguk mantap.
"Tidak sayang jika saya yang menyentuhnya untuk pertama kali?"
"Asalkan saya bisa mendapatkan uang 350 juta itu, saya akan rela menjual keperawanan saya ini, bos."
"Ahhh!" Jarvis mengeluarkan senyum smirknya. "Bahasanya sekarang jadi jual beli?"
"Hah, i-iya, terus?" Laya semakin bingung menghadapi Jarvis. "Ibarat kata gitu, kan?"
"Jadi saya hanya bisa memakai mu satu kali. Setelah itu saya harus membayar 350 juta cash untuk keperawananmu?"
"I-iya, bos."
"Eum, oke." Jarvis mengangguk penuh arti.
"Oke? Deal bos?" Laya langsung tersenyum senang.
"Siapa yang mengusulkan hal gila seperti ini padamu?"
"Tidak ada. Menurut, novel yang saya baca seperti itu. Biasanya, bos-bos yang ada di dalam novel akan menerima penawaran itu dengan senang hati."
Laya bisa melihat, bibir indah Jarvis yang berkedut-kedut menahan tawa.
"Sesat."
Laya langsung mendengus. "Yaaaa! Saya memang sesat!! Di otak saya sudah banyak jiwa jahat yang memberikan masukan-masukan gila seperti itu. Puas!!"
"Daripada menjual diri, kenapa tidak menari telanjang saja?" Jarvis menarik tangan Laya, mengajaknya untuk berjalan. Ia sama sekali tidak terganggu dengan tatapan puluh pasang mata yang sedang melihatnya itu.
"Saya kepikiran itu juga. Tapi percuma, saya tidak bisa menari! Daripada bikin malu lebih baik seperti ini. Toh, nanti ujung-ujungnya saya juga disuruh melayani, Anda." Laya mengikuti langkah Jarvis tepat dibelakang.
"Hahahha." Jarvis tidak bisa menahan tawanya. "Jangan terlalu banyak membaca novel erotis seperti itu, pikiranmu jadi sesat."
"Huuh, iyaa! Ini juga sudah berhenti kok," kata Laya, mengerucutkan bibirnya dengan malu. "Lalu?"
"Eum, berikan saya buktinya dulu."
"Heuh? Bagaimana cara saya membuktikan keperawan saya, bos?"
"Otakmu diletakkan dimana?" Jarvis mendengus. "Kau yang punya penawaran, harusnya kau sudah tahu apa yang harus kau lakukan sekarang. Harusnya kau sudah memprediksi masalah seperti ini."
"Memprediksi jika Anda tidak percaya kalau saya masih perawan?"
Jarvis mengangguk. "Tepat sekali. Kau harus punya rencana banyak jika membuka penawaran terlebih dulu."
"Anda tidak sedang mengajari saya tentang Manajemen Perencanaan, kan?"
"Kurang lebih." Jarvis menghentikan langkahnya, lalu menggiring Laya supaya berdiri dihadapannya. "Temui saya saat kau sudah mendapatkan bukti itu."
Laya menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Sumpah demi Dewa Neptunus, Laya bingung setengah mati.
"Mobil saya sudah datang," kata Jarvis, berjalan ke arah mobilnya. Disana supirnya yang bernama Mor dengan sigap membuka pintu mobil untuknya. "Yang saya minta bukti fisik bukan bukti omongan."
Jarvis akan masuk kedalam mobil tapi …
"Ehh, bos" Laya menahan pintu yang akan ditutup Jarvis. "Saya boleh bertanya sesuatu?"
"Silahkan."
"Eum, 350 juta kalau dicicil satu juta perbulan akan memakan waktu 30 tahun."
"Ya."
"Ehem, misalkan 350 juta untuk satu malam jika dihitung-hitung Anda akan rugi tidak, ya?" tanya Laya penasaran.
"Karena saya orang kaya dan punya segalanya, saya bisa dengan mudah mengeluarkan uang 350 juta untukmu."
Mendengar hal itu Laya hanya bisa berkedip-kedip bingung.
Maksudnya?
"Dan, dengan senang hati juga saya akan menolongmu. Tapi dari awal kau sudah menganggap ini jual beli jadi—"
"Hah? A-apa? Ta-tapi, kan?" Laya sampai gagap sendiri. "B-biasanya, anu ... itu ... hish!!"
"Kau jual, saya beli. Ibarat Kau barang, saya pembelinya. Benar?"
Laya tidak bisa berkutik. Suaranya mendadak hilang entah kemana. Tanpa sadar, ia mengangguk— membenarkan opini yang diutarakan Jarvis.
"Ehh?" Laya menggeleng. "Ta-tapi—"
"Mor?" Panggil Jarvis pada sopirnya yang sudah siap membukakan pintu untuknya.
"I-iya, Tuan." Mor dengan sigap berjalan mendekati tuannya.
"Ada rumah bordil bintang lima di kota ini?"
"Ada, Tuan." Mor menjawab dengan cepat.
"Dimana?"
"Di daerah C. Kalau dari sini 2 jam perjalanan. Tidak jauh, kok, Tuan," jawab Mor.
"Bagus-bagus?"
"I-iya, Tuan." Mor mengernyitkan dahi dengan heran. Tumben sekali tuannya ini menanyakan hal seperti ini. "Ada model, pemain film, penyanyi—"
"Lengkap?" tanya Jarvis.
Mor langsung mengangguk dengan cepat.
"Berapa biaya sewa mereka?"
"Variasi, tuan. Bisa permalam, bisa disewa dua hari, dua minggu, satu bulan ... terserah Anda mau berapa lama dan buat kesepakatannya seperti apa."
"Dengar?" Jarvis langsung melihat Laya.
"Ha-hah? A-apa?" Jujur, Laya benar-benar bingung dengan situasi ini. Mata dan mulutnya sama-sama terbuka lebar.
"Datanglah ke rumah bordil yang tadi disebutkan Mor. Dua jam perjalan dari sini ... nama tempatnya?" tanya Jarvis pada Mor.
"Starlight Moon."
"Dengar?"
Laya tanpa sadar langsung mengangguk. "Starlight Moon." Detik berikutnya, ia langsung menggeleng kebingungan. "Te-terus?"
"Survey harga wanita disana."
"Hahhh? Apaa?!"
***
Salam
Busa Lin