Chereads / DIVE INTO YOU / Chapter 10 - BOS!!

Chapter 10 - BOS!!

10/6/22

Happy Reading

***

Dia menghentikan langkah kakinya saat trafic lamp berwarna merah. Di samping, kanan kiri, belakang dan depannya pun sudah banyak orang yang menunggu lampu itu berubah menjadi warna hijau.

"Huuuh." Laya membuang napasnya dengan berat. "Harusnya aku bisa ikut berpartisipasi dalam acara amal itu," batinnya penuh rasa sesak dan penyesalan. "Hem, untuk beli kuas, kanvas dan cat saja aku tidak punya uang lebih, huh."

Oke, tidak masalah. 

Laya butuh sesuatu untuk menenangkan hatinya lagi saat ini. 

Musik?!

Dia mengeluarkan ponselnya, membuka aplikasi pemutar musik lalu memasangkan earphone berwarna hijau kesayangannya pada telinganya.

Lagi-lagi Laya memutar lagu k-pop kesayangannya. Lagu inilah yang menjadi salah satu lagu pengantarnya menuju studio teater yang disulap menjadi tempat untuk pameran lukis itu.

"Cause yo so beautiful to me ... gyeolguke urin chinguro ...."

Hei!!

"Aiyaya niga geujeo kkumiramyeon ...."

Oke, moodnya sudah baik-baik saja. Pun hatinya yang sedang gundah gulana sudah berangsur-angsur membaik.

Laya bersenandung riang. 

Dia sedikit melupakan— sejenak— masalah di hidupnya yang masih berputar-putar disitu-situ saja.

Uang 350 juta itu belum didapatkannya karena Jarvis sedang berada di luar negeri untuk urusan bisnis. 

Ada kok berita keberangkatannya keluar negeri. 

Malah jadi, trending topik di kalangan para wanita-wanita lajang yang genitnya minta ampun. Mereka bukan membicarakan perjalanan bisnis Jarvis, tapi membicarakan visual Jarvis yang katanya memiliki ketampanan yang tidak nyata.

Hoek! Mereka belum tahu saja sifat Jarvis yang sangat-sangat menyebalkan itu. Bisa-bisanya cewek-cewek itu memuji Jarvis secara berlebihan seperti itu.

Tapi perjalanan bisnis Jarvis yang tidak tahu kapan kembalinya itu, sama saja dengan menunda operasinya Vihan.

Ini sudah satu minggu berlalu sejak terakhir pertemuan pertama mereka, tapi Jarvis belum juga kembali— padahal Laya sudah memiliki penawaran yang sangat-sangat bermanfaat untuk bossnya itu.

Tidak akan rugi, pokoknya. 

Selama satu minggu ini— Laya punya banyak waktu untuk memikirkan baik-baik penawaran yang akan ia tawarkan pada Jarvis, dan untuk penawaran itu ia benar-benar harus membuang jauh-jauh harga dirinya yang selama ini ia pertahankan dengan susah payah.

Laya sudah memutuskan dengan kemantapan hati yang sesungguhnya— untuk saat ini jangan pikirkan kehormatan Vihan. Tapi, pikirkanlah, bagaimana caranya supaya Vihan bisa segera dioperasi. 

Semakin cepat Vihan dioperasi semakin cepat pula Vihan akan keluar dari rumah sakit, dan semakin cepat juga Laya bisa melunasi semua tunggakan biaya perawatan Vihan yang luar biasa besar itu.

Oke, kalau Jarvis sudah pulang— ia hanya perlu menemuinya besok, lusa, atau sepulangnya Jarvis saja.

Lalu ia akan memberikan penawaran yang bisa ditawarkan. Kesepakatan akan terjadi. 

Deal! 

Jadi ia bisa membawa uang 350 juta itu dengan segera.

Karena terlalu asyik mendengarkan lagu dan memikirkan segala sesuatunya tanpa terasa ia sudah sampai di depan studio teater.

"Wahh, ramai juga ternyata, berapa ya tiket masuknya?" Laya mencari keberadaan tiket masuknya tapi ....

"Eh?" Dia langsung tersenyum bahagia melihat banner yang menempel dinding bertuliskan ....

GRATIS.

WELCOME TO THE ART.

Hore!!

Kalau saja tempat ini tidak ramai pasti Laya akan berteriak dengan hebohnya.

"Syukurlah, ini gratis," gumam Laya, berjalan masuk kedalam studio teater itu. "Kalau ini berbayar, aku tidak akan bisa masuk kesini, dan lagi aku tidak akan bisa melihat hasil karya dari pelukis-pelukis itu."

Setelah sampai di dalam ....

Woaahhh!

Laya sampai tidak bisa mengedipkan matanya saat melihat mahakarya yang luar biasa indah tersaji di depan matanya secara gratis.

"Ah, sayang sekali aku tidak punya uang," batin Laya, merasa sedih akan hal itu. 

Laya berjalan menyusuri setiap lorong studio dengan hati-hati. Dia tak henti-hentinya mengagumi semua ciptaan para pelukis profesional ini.

"Kapan aku bisa mengadakan pameran lukis ku sendiri seperti mereka semua?" Laya menghela napas dengan berat. 

Tidak boleh sedih, La!

Oke, Laya melanjutkan lagi langkahnya. 

Ia dengan terpaksa harus meninggalkan salah satu lukisan favoritnya— yang ia inginkan— harganya terlalu mahal untuknya.

Oke, tidak masalah.

Setelah sampai disalah satu ruangan yang bukan berbentuk kubus atau pun persegi panjang, entah kenapa matanya langsung tertuju pada salah satu area sudut ruangan ini.

Lhoo?!

Itu kan?

"Salah lihat tidak sih?" Laya mengucek kedua matanya untuk memperjelas lagi siapa pria yang sedang memakai long coat berwarna abu-abu kehijauan itu. "Eh, tiba-tiba sekali dia ada disini?"

Ya Tuhan! Itu kan Jarvis Isamu!!

Ah, Jarvis Isamu memang malaikat penolongnya Laya Gemina.

"Disaat aku hampir putus dengan semua ini tiba-tiba kau sudah pulang, boss!! Terima kasih ... terima kasih." Laya lagi-lagi hampir berteriak karena bahagia namun dia menutup mulutnya rapat-rapat.

"Bos Jarvis," panggil Laya dengan suara rendah, dia melambaikan tangannya, berharap Jarvis bisa melihat dirinya.

Tapi, sepertinya Jarvis tidak melihatnya atau mendengarnya.

Oke, sekali lagi tidak masalah. Tempat ini memang ramai jadi wajar saja jika Jarvis tidak melihatnya atau mendengarnya.

Laya dengan langkah yang sangat emosional dan begitu bersemangat— berjalan mendekati Jarvis yang sepertinya sedang sangat fokus melihat salah satu lukisan yang memenuhi setengah muka dinding ruangan itu.

"Bos Jarvis." Laya langsung melambaikan tangannya dengan cepat. 

"Bos!!!"

"Bos!!!"

"Bos Jarvis Isamu!!"

Jarvis mengorek telinganya yang mendadak berdengung. Ia sangat kebingungan mencari keberadaan seseorang yang sejak tadi memanggil namanya itu. 

"Bos? Bos? Siapa sih yang memanggilku seperti itu?!" Jarvis mendengus heran. 

Semua orang yang mengenalnya atau tahu siapa dirinya, memanggilnya dengan sebutan "Tuan" … tapi, siapa, ya?! Seingatnya hanya ada satu orang yang memanggilnya "Bos" seperti ini …

"Hei, saya disini, bos Jarvis!! Disini!!" 

Jarvis berbalik badan. "Heuh, siapa, sih? Suaranya tidak asing untukku."

Jujur, dia belum terlalu jelas melihat wajah gadis yang sangat berisik memanggil namanya itu dan karena penerangan di ruangan ini yang memang remang-remang jadi jarak pandang juga terbatas.

"Bos Jarvis kapan pulang?" tanya Laya, sok akrab. Supaya tidak canggung-canggung amat, hehe.

Mata bulat Jarvis berkedip bingung, dahinya mengernyit tipis-tipis. "Ini gadis cantik office girl itu bukan, sih? Kenapa dia bisa ada disini?" tanyanya dalam hatinya. "Ahh, pantas suaranya tidak asing untukku."

"Siapa?" tanya Jarvis menunjuk gadis itu— merujuk pada 'nama'-nya— dengan wajah polos tanpa dosa. 

Ughh, Laya mengeratkan giginya karena terlalu gemas melihat ekspresi wajah Jarvis. Ternyata Jarvis sangat menggemaskan jika dalam mode linglung seperti ini,

"Ini saya, boss." Laya memberikan senyum terbaiknya. "Laya Gemina."

"Heuh?" Jarvis melebarkan daun telinganya. 

Siapa tadi? Kok, nama belakangnya seperti tidak asing?

"Gadis cantik yang satu minggu lalu menghadang pintu lift yang akan Anda naiki. Gadis cantik yang akan meminjam uang 350 juta untuk biaya operasi tunangannya yang sedang sekarat karena kecelakaan mobil. Saya adalah wanita yang akan menawarkan penawaran yang bermanfaat untuk Anda. Ingat? Bos ingat saya, kan?" Jelas Laya panjang lebar mengatakannya dengan detail.

"Ohhhhh." Jarvis ber-oh ria. "Jangan lupakan satu hal, nona …"

"Apa?"

"Kau adalah wanita tercantik yang pernah saya lihat."

"Heuh?" Wajah Laya langsung panas-panas dingin. "Memang aku secantik apa sih dimatamu, bos? Kenapa senang sekali menyebutku sebagai 'wanita cantik', bukankah Padma— sekretaris Anda jauh lebih cantik dariku, ya?" tanyanya dalam hati.

Aneh!

"Tadi siapa namamu?" 

"Laya Gemina."

"Oh, oke." Jarvis mengangguk penuh arti. "Laya Gemina," ucapnya menyebut sekali lagi nama wanita itu supaya tidak lupa.

"Masih ingat dengan saya, kan?" tanya Laya, memastikan sekali lagi. Dia masih bingung dengan situasi ini.

Jarvis mengangguk. "Ingat, mana mungkin saya melupakan wanita secantik dirimu dengan mudah." 

Dia mengedikan bahu dengan malas, bosan juga memuji Laya terus-menerus seperti.

"Huh!" Laya mengerutkan hidungnya dengan gemas.

Mata bulat Jarvis yang berbalut kacamata, yang tadi digunakan untuk menatap mata Laya kini berubah haluan menatap lukisan yang sejak tadi dipandanginya itu.

Ehem, Laya kehabisan kata-kata. Ia benar-benar tersipu malu dengan pujian yang diberikan Jarvis. 

Ternyata, Jarvis mengingatnya, tapi kenapa dia menanyakan ....

"Sebelumnya yang belum saya tahu darimu hanya satu, nona."

"Apa?!"

"Nama …"

"Eh?" Laya menggaruk pelipisnya dengan salah tingkah.

"Kau belum memberitahu namamu pada saya," kata Jarvis tanpa melihat Laya,

"Ah, benarkah?" 

***

Salam

Busa Lin