11/6/22
Happy Reading
***
"Kau belum memberitahu namamu pada saya," kata Jarvis tanpa melihat Laya,
"Ah, benarkah?" Laya nyengir salah tingkah. "Maafkan saya, bos," ucapnya berdehem kikuk. "Saya belum memperkenalkan secara resmi diri saya pada Anda. Saya sangat gugup dan ya … terlalu terburu-buru waktu itu."
Pertemuan pertama yang menegangkan.
"Heum, tidak masalah." Jarvis mengangguk.
"Maafkan saya sekali lagi." Laya mengangguk penuh rasa hormat.
"Nama keluargamu Gemina?"
Laya mengangguk lagi. "Bos tahu? Itu nama keluarga Papa saya.""
Jarvis menggeleng tidak yakin. "Mungkin Papa saya yang tahu," ucapnya mendesah dengan berat. "Harusnya kau beritahu dari awal siapa namamu pada saya waktu itu. Jadi saya bisa bertanya pada Papa saya."
"Hah?"
"Ah, tidak perlu dibahas," kata Jarvis datar. "Yang penting saya sudah tahu namamu," ucapnya sambil menggeser langkahnya untuk melihat lukisan berikutnya.
"Yaa, maaf," kata Laya sekali lagi.
"O-iya, kau bilang tunanganmu di rawat di rumah sakit Fransisco, kan?"
Laya mengangguk dengan cepat. Matanya berbinar senang. "Anda mau bertemu dengannya?"
"Memangnya bisa bicara?"
Laya hampir tertawa untuk pertanyaan yang Jarvis ajukan itu. "Tidak mungkin bisa bicara lah, bos. Kan, tunangan saya koma," ucapnya gemas sendiri. "Kalau kata dokter hanya bisa mendengar dan merasakan."
"Oh, sama saja bicara dengan mayat hidup?"
Laya hanya menarik napasnya panjang-panjang.
Sabar-sabar.
Ia sampai heran sendiri— wajah seimut itu tapi bicaranya menyebalkan sekali mana ekspresinya datar lagi.
Hish!!
"Kalau sudah sadar pasti bisa bicara," kata Laya mendengus kesal.
Jarvis yang kali ini akan tertawa. "Kenapa tidak mati saja?"
"Hish!" Laya mendesis. "Didunia ini saya hanya punya dia, bos. Kalau dia mati—"
"Ikut mati juga?"
Laya mendengus kesal. Tidak mau membalas ucapan Jarvis.
Dasar orang aneh!
Dasar orang menyebalkan!
"Untung kau bosku, kalau bukan, hishh!!" Laya menggerutu dalam hati.
Hening dan tanpa sadar Laya mengikuti kemana Jarvis melangkah. Ia ikut berhenti saat Jarvis berhenti. Ikut berjalan saat Jarvis berjalan. Ikut memperhatikan lukisan saat Jarvis memperhatikan lukisan-lukisan itu.
Kalau lagi diam dan tenang seperti ini, ketampanan Jarvis itu bisa meningkat 1000%, tapi kalau sudah bicara … hem!
O, iya! Masalah penawaran itu, bagaimana?!
Laya melirik Jarvis yang sedang sangat serius, kalau membicarakan masalah ini sekarang, kira-kira Jarvis akan terganggu tidak, ya?!
"Bos?"
"Hem?"
"Anda suka seni lukis?"
Jarvis mengangguk.
"Sering datang ke pameran lukis seperti ini?"
Jarvis menggeleng, yang artinya tidak juga.
Oke!
"Bos suka dengan lukisan itu?" tanya Laya yang tidak mau menyerah membuka pembicaraan. Ia menunjuk pada salah satu lukisan yang sepertinya sejak tadi jadi fokus perhatian Jarvis.
"Sudah kubeli."
"Hah?"
"Ya."
"Waw, luar biasa sekali." Laya bertepuk tangan sekali karena terkejut. "Itu harganya mahal lho, bos."
"Ya, saya tahu," kata Jarvis, berjalan lagi. "Kau mau?"
Laya langsung melihat Jarvis. Kedua matanya berkedip kaget. "Ini …."
Menurut Papa, jika ada seorang pria yang tiba-tiba saja menawarkan sebuah lukisan pada seorang wanita, itu tandanya pria itu tertarik pada si wanita itu sejak lama.
Eh, kepercayaan dari mana itu?
Soalnya, Papanya saat melamar Mamanya— yang diberikan bukan cincin tapi sebuah lukisan buatan Papanya sendiri— yang Papanya tawarkan untuk Mamanya.
Hah, ini pasti kebetulan, kan?
"Anda, mau membelikannya untuk saya?"
"Ya."
"Serius?" tanya Laya yang langsung mensejajari langkah Jarvis.
"Hem."
"Saya sarankan yang itu," kata Jarvis, menunjuk salah satu lukisan yang jadi perhatiannya sejak tadi. "Bunga yang hidup di lumpur. Kamu sama seperti bunga itu."
"Bunga Seroja."
Jarvis mengangguk.
"Hubungannya dengan saya?"
"Tidak ada sih," kata Jarvis mengedikan bahu. "Aku suka saja dengan bunga itu."
Laya mendengus.
Bibir Jarvis berkedut menahan tawa. Jujur, ia sangat suka saat melihat bibir Laya yang berkerut kesal seperti itu. "Kau bisa melihat sesuatu yang spesial dari bunga itu?"
"Tidak," jawab Laya asal.
"Bodoh!"
"Tidak!" Laya berseru gemas.
"Bunga seroja, bukankah melambangkan kekuatan?"
Laya mengangguk.
"Kau bisa lihat walau bunga itu terlihat sangat lemah tapi disisi lain terlihat sangat kuat. Punya jiwa kompetitif yang baik walau hidup didalam lumpur, dan ya … mau berjuang untuk bertahan hidup walau banyak sekali …." Jarvis menunjuk sesuatu, "Disana ada ulat, lebah, lumut, itu … serangga, kan?"
"Iyaa, semacam jentik-jentik nyamuk."
"Jika kau perhatikan lebih teliti— pencahayaan matahari untuk lukisan seindah ini terasa sangat kurang. Harusnya si pelukis bisa memberi warna yang lebih cerah lagi untuk pencahayaannya. Benar tidak?"
Laya jadi memperhatikan detail lukisan itu. Sebagai pelukis 'amatir' setidaknya dia tahu sedikit-sedikit tentang detail lukisan. Biar bagaimanapun darah seni yang kental dari Papanya masih mengalir deras di tubuhnya.
"Ahhh!!" seru Laya, benar-benar terkejut. "Benar!! Cahaya mataharinya kurang tapi bunga seroja ini masih terlihat sangat cantik walau pencahayaannya redup."
Jarvis mengangguk penuh arti. "Kalau dilihat lebih jauh lagi, situasi bertahan hidup dari bunga seroja ini sangatlah berat. Pertama—"
"Tidak dapat cahaya matahari yang cukup …." Laya dengan cepat memotong ucapan Jarvis. Sudah lama sekali dia tidak berdiskusi masalah detail dan filosofi dari lukisan seperti ini.
"... walau terlihat sangat indah tapi sedikit layu, tapi tetap saja kalau dilihat dari sisi manapun masih tampak kuat." Laya mengelap bibirnya dengan salah tingkah.
Kok, bicaranya jadi belepotan seperti ini, sih!
"Pelan-pelan saja," kata Jarvis dengan tenang.
"Yang kedua adalah lumpur, ulat, serangga dan para lebah itu diibaratkan sebagai penguji kesabaran, benar?" Laya melihat Jarvis.
Jarvis mengangguk.
"Penguji kesabaran— sampai dimana bunga seroja itu akan bisa bertahan hidup dan berkembang lebih indah lagi. Benar!"
Jarvis bertepuk tangan.
"Horee!!" Laya berteriak senang.
Sebenarnya Jarvis juga tidak terlalu eksaited dengan penjelasan Laya, tapi demi sebuah kehormatan dan untuk membuat Laya senang.
Okelah!
"Situasi bunga seroja itu sama sepertimu. Kuat dan cantik."
"Hah?" Jujur, Laya benar-benar terkejut dengan apa yang dikatakan Jarvis.
"Mau?" Jarvis mengambil ponselnya di dalam saku coatnya. Ia menghubungi Padma— sekretarisnya untuk mengurus pembelian lukisan itu.
Laya menggeleng dengan sungkan.
"Oke," kata Jarvis saat melihat gelengan kepala Laya. Tidak mau memaksa. Lalu ia berbicara dengan Padma dan memintanya untuk mengirim dua lukisan yang baru dibelinya ke apartemen.
Laya yang tanpa sengaja mendengar pembicaraan itu langsung mendengus.
Oke, artinya tidak masalah. Hih!! Lempeng banget sih! Tidak peka! Kalau tidak ada niat untuk membelikan lukisan itu tidak perlu ditawari!
"Berarti Jarvis tidak tertarik padaku," gumam Laya tanpa sadar di dalam hati. "Dasar manusia aneh!"
"Masih mau disini?" tanya Jarvis.
"Ya," jawab Laya dengan kesewotan yang sesungguhnya. "Saya belum melihat semuanya."
"Saya permisi—"
"Eh, tunggu dulu bos," kata Laya, menghalangi Jarvis pergi.
Tuh, kan sampai lupa tujuan utamanya.
Masalah penawaran yang diminta Jarvis waktu itu, bagaimana?
Laya langsung menelan ludahnya dengan gugup, mendadak debaran jantungnya menjadi cepat jika teringat akan penawaran yang akan dia berikan untuk bosnya itu.
"Ada apa lagi?" Dahi Jarvis mengernyit dalam. "Mau lukisannya?"
Laya menggeleng. "Bos?"
"Hem?"
Laya mendekatkan diri lebih dekat dengan Jarvis. Ia sedikit berjinjit untuk menyamai tinggi badan Jarvis. Mendekatkan bibirnya ke telinga Jarvis.
"Bos tidurlah dengan saya," ucapnya dengan lirih. Matanya melirik sekilas kearah mata bulat Jarvis yang tampak terkejut.
"Tidur bareng." Laya mengulangi ucapannya. "Bercintalah dengan saya."
Jarvis mendecih. "Murahan ternyata." Ia memundurkan satu langkahnya ke belakang, berbalik tanpa melihat Laya dan langsung berlalu meninggalkannya.
Laya menghela napas panjang, menurunkan kakinya yang menjinjit. Responnya tidak sesuai dengan apa yang diharapkannya.
Padahal, ia sudah membuang harga diri dan rasa malunya sejak memutuskan hal ini.
"Bos, tunggu!!"
***
Salam
Busa Lin