Aldi masih membuntuti Putri. Seperti yang dikatakan gadis itu, jalan menuju rumahnya memang terlalu sempit untuk dilalui mobil. Namun, baru saja Aldi berpikir begitu, Putri mendadak berbelok ke jalan besar. Gang yang mereka lewati ternyata hanya penghubung.
"Atau dia tahu dibuntuti?" Aldi bertanya-tanya dalam hati.
Dugaan Aldi tidak terbukti. Putri tidak menyadari sedang dibuntuti. Wajah gadis itu malah tampak semringah. Barang belanjaan setumpuk terlihat ringan saja, seperti hanya mengangkut kapas. Senyuman riang yang tulus menghiasi bibirnya. Aldi bahkan sedikit terpana karena biasanya Putri selalu memasang raut wajah manipulatif dan agak menyebalkan. Saat senyum itu berasal dari hati, dia semakin mirip Wulan.
Aldi gelagapan ketika Putri kembali berbelok. Dia cepat bersembunyi di balik pohon besar. Ternyata, Putri memasuki rumah besar berhalaman luas dengan kebun kecil di kiri kanannya dan taman bermain di halaman depannya. Papan bertuliskan Panti Asuhan Cinta Kasih Ibu memberikan informasi tempat apa yang sedang dimasuki Putri. Aldi tercenung. Kini, dia bisa menduga alasan gadis itu membeli barang dengan berbagai ukuran.
"Kenapa tidak terpikirkan? Gue malah berpikiran negatif," sesal Aldi dalam hati. "Tapi, wajar juga gue mikir negatif, orangnya emang mencurigakan." Ujung-ujungnya dia malah membela diri.
Putri mengucapkan salam dengan lantang. Suara bocah-bocah menyahut serentak. Tak lama kemudian, tubuh-tubuh mungil berhamburan keluar dari rumah. Mereka berebutan memeluk Putri. Celotehan polos anak-anak itu terasa menghangatkan Aldi yang tengah mengintip. Dia mendadak menyesal sudah mengeluh saat membawakan barang belanjaan.
"Hari ini, Kak Putri bawain kue-kue enak lho! Ayo duduk yang rapi, kita bagi kuenya!'
"Siap, Kak!"
Putri terkekeh. Anak-anak sudah duduk di dengan manis di kursi teras. Putri membagikan kue dan barang-barang yang tadi dibelinya. Tawa riang anak-anak berderai. Binar-binar bahagia memancar dari sorot mata mereka. Tak memakan waktu lama, kue-kue itu disantap dengan lahap, menyisakan hiasan di pinggiran bibir dan di ujung hidung. Wajah-wajah polos itu menjadi semakin menggemaskan, membuat Putri mencubiti pipi mereka.
Rasa bahagia menular kepada Aldi. Wajah dinginnya kini dihiasi senyuman kecil. "Hmm ... Robin Hood versi perempuan, ya," gumamnya. "Benar-benar perempuan yang menarik."
Keceriaan di panti semakin bertambah ketika bocah-bocah lainnya berdatangan. Aldi yang tadinya hendak pulang mengurungkan niat. Pasalnya, para gadis kecil itu mengikatkan selendang di pinggang. Mereka semua kompak memanggil Putri dengan sebutan bu guru.
"Ayo Bu Guru! Ayo kita mulai latihan!" seru seorang anak berkucir kuda.
"Tunggu bentar, ya, Sayang. Bu Guru ganti baju dulu."
Putri masuk ke rumah sambil membawa dua kantong belanja. Sekitar 5 menit kemudian, dia keluar mengenakan pakaian yang lebih kasual dengan selendang kuning keemasan melingkar cantik di pinggang. Rambutnya dicepol agar tidak berantakan.
"Kalian sudah siap?"
"Siap, Bu Guru!" Koor para bocah menjawab.
"Oke, hari ini, kita akan belajar Tari Gambyong. Hayoo ada yang tau tari ini asalnya dari mana?"
Putri tersenyum menggoda. Anak-anak ribut, berebutan menjawab. Putri terkekeh. Sementara itu, Aldi tersentak. Gaya mengajar Putri sangat familiar, bahkan dirindukan olehnya, perpaduan dari dua gurunya, Syailendra dan Arunika. Dia juga baru menyadari wajah Putri mirip sekali dengan Arunika.
"Wulan mirip dengan Bu Ika, mungkinkah bisa terjadi kebetulan Putri adalah Wulan? Bukankah nama lengkap Wulan itu Putri Nawang Wulan?"
Aldi menghela napas berat. Meskipun dugaannya mungkin saja benar, dia tak ingin asal berspekulasi. Jika tidak terbukti, hanya akan meninggalkan kekecewaan mendalam. Terlebih, kolom nama di KTP Putri memang cuma terisi satu kata, Putri. Tanggal lahirnya pun berbeda.
"Betul, Tari Gambyong berasal dari Jawa Tengah." Suara riang Putri membuyarkan lamunan Aldi.
Aldi kembali memperhatikan Putri dan para muridnya. Gadis itu tampak menguji pengetahuan anak-anak tentang Tari Gambyong. Seperti sebelumnya, anak-anak berebutan menjawab meskipun banyak yang salah.
Tanpa sadar, bibir Aldi membentuk senyuman kecil. Kerinduannya kepada dua guru yang telah berpulang kepada Tuhan seolah terobati. Aldi masih ingat betul penjelasan Arunika tentang Tari Gambyong saat dia menemani Wulan yang tengah belajar tari tersebut.
Tari gambyong mulanya dilakukan sebagai upacara ritual pertanian untuk kesuburan padi dan perolehan panen yang melimpah. Para penari yang sedang menari menggambarkan Dewi Padi (Dewi Sri). Pakaian yang digunakan juga bernuansa warna kuning dan warna hijau sebagai simbol kemakmuran dan kesuburan.
Dulunya Tari Gambyong dianggap seperti Tari Tayub. Namun, suatu ketika pihak keraton Mangkunegara Surakarta tertarik dengan tarian ini yang dibawakan oleh penari bernama Gambyong. Tarian pun ditata ulang dan dibakukan struktur gerakannya dan diberi nama Tari Gambyong. Zaman sekarang, Tari Gambyong ditampilkan pada resepsi pernikahan dan penyambutan tamu-tamu kehormatan atau kenegaraan.
"Sebagai permulaan, Bu Guru dulu yang akan menari. Setelah itu, barulah kalian. Nanti, Ibu periksa jika ada yang kurang." Suara lantang Putri kembali membuyarkan lamunan Aldi.
Dia pun kembali memandangi Putri dan murid-muridnya.
"Kalian Sudah siap?" tanya Putri.
"Siap, Bu!" jawab anak-anak.
Putri tampak mengutak-atik ponsel, lalu meletakkannya di meja. Tak lama kemudian, terdengarlah suara Gendhing Pangkur. Dia pun mulai menari dengan luwes, kenes, kewes, dan tregel.
"Wulan ...," gumam Aldi tanpa sadar. Ingatan tentang gadis bertubuh mungil dengan gerak-gerik yang mirip menerpa tanpa ampun.
Sementara Aldi sibuk dengan kenangannya bersama Wulan, Putri telah selesai menari. Dia mematikan musik dan berdiri menghadap anak-anak sembari tersenyum hangat.
"Nah, tadi itu contoh Tari Gambyong. Gerakan Tari Gambyong ada tiga bagian. Pertama adalah bagian awal atau bisa disebut juga maju beksan."
Putri memperagakan lagi gerakan maju beksan.
"Selanjutnya, isi atau beksan."
Beksan juga diperagakan kembali dengan apik.
"Terakhir, bagian akhir atau mundur beksan," tutup Putri sembari memperagakan gerakan yang dimaksud. "Bisa dimengerti?"
"Bisa, Buuu!"
"Kita ke bagian selanjutnya, tentang pusat keseluruhan tarian. Jadi, Tari ini berpusat pada gerak kaki, lengan, tubuh, dan juga kepala. Gerakan kepala dan tangan yang khas adalah ciri utama Tari Gambyong. Ingat, gerakan kaki juga harus harmonis," jelas Putri lagi.
Anak-anak tampak kebingungan. Putri memberikan contoh agar semakin jelas. Setelah para muridnya, mulai mengerti barulah dia melanjutkan.
"Hal penting lainnya adalah arah pandangan mata, yaitu selalu mengikuti setiap gerak tangan dengan cara memandang arah jari-jari tangan."
Putri kembali memperagakan apa yang dimaksudkannya.
"Nah, kalian sudah siap untuk menari?"
"Siap, Buuu!"
"Oke, kita mulai."
Putri memutar musik lagi. Dia dan anak-anak mulai menari bersama, diulang hingga tiga kali dengan jeda istirahat setiap tarian selesai. Setelah dirasa sudah cukup banyak latihan bersama, Putri meminta anak-anak menari tanpa panduan darinya. Dia hanya akan mengamati dengan seksama sambil mencatat di buku.
Sementara itu, Aldi berniat mendekat, tetapi urung karena ponselnya berdering. Nama Rama tertera di layar. Dia cepat-cepat menerima panggilan. Tak lama kemudian, wajahnya berubah tegang. Mata sipitnya sampai melotot.
"Apa? Saya segera ke sana."
Aldi mengakhiri panggilan dan bergegas meninggalkan panti asuhan.
***