Chereads / Bidadari Matre / Chapter 40 - Bagian 42

Chapter 40 - Bagian 42

Seorang anak laki-laki melangkah gontai memasuki rumah. Dia baru saja pulang sekolah. Seragam putih merahnya sedikit kusut. Beban psikologis terpancar dari sorot matanya. Tragedi nahas itu masih menjadi mimpi buruk. Jika anak kelas 6 SD lainnya stres karena ujian nasional, maka dia sudah menghadapi trauma kehilangan. Kebakaran hebat telah merenggut nyawa kedua gurunya.

"Apa? Jadi, kamu yang menghasut Abimayu untuk membakar sanggar, hah?!"

Si anak laki-laki tersentak. Dia tak sengaja mendengar suara ayahnya yang meninggi dari ruang kerja. Tanpa pikir panjang, bocah itu segera menguping. Ayahnya membahas kebakaran sanggar milik gurunya. Menurut polisi, kejadian itu disebabkan arus pendek listrik, tetapi ternyata ada konspirasi mengerikan.

"Kamu sudah menyebabkan sahabat baikku meninggal! Mereka itu anak murid kesayangan Mama! Ya ampun! Di mana kau letakkan otakmu?"

Anak laki-laki bermata sipit mencengkeram ujung kemeja putihnya. Bayangan jasad dua guru kesayangan yang habis terbakar menari-nari dalam benak. Air mata lolos begitu saja menuruni pipi. Dari cara ayahnya bicara, dia bisa menebak siapa otak kejahatan tersebut. Sosok yang tak disukainya karena sombong dan serakah.

"Apa? Supaya proyek mal bisa dipercepat!"

Buk!

Si anak laki-laki hampir saja terduduk karena kaget. Ya, ayahnya tengah meninju meja.

"Keterlaluan kamu! Kan, Mas sudah bilang, tunggu instruksi! Proyek ini juga masih lama target waktunya? Kamu jangan lupa prinsip perusahaan! Papa, kan, sudah menegaskan soal itu!"

Anak laki-laki semakin yakin siapa yang sedang bicara dengan ayahnya. Dia menggeram. Sejak dulu orang itu seperti ingin menyingkirkan mereka karena ayahnya yang lebih berprestasi.

Saking marahnya, si anak lelaki tidak menyadari ayahnya telah selesai menelepon. Sang ayah tersentak melihat keberadaan sang putra di depan pintu.

"Ah, Joko? Kamu mendengar yang tadi–"

Joko menatap tajam. "Kenapa, Pa? Kenapa harus mengorbankan Bu Ika dan Pak Lendra?" protesnya.

"Duduklah dulu. Kita harus bicarakan soal ini dengan tenang."

"Tapi, Pa–"

Joko hendak berontak. Namun, sang ayah akhirnya berhasil membujuk. Mereka pun duduk di sofa ruang kerja. Lama keduanya terdiam, hingga ayah Joko menghela napas berat.

"Joko, Papa juga tidak mau seperti itu. Lendra adalah sahabat baik Papa–"

"Tapi, kenapa sampai terjadi, Pa?" potong Joko tak sabaran. "Bu Ika dan Pak Lendra meninggal dengan terbakar hidup-hidup. Wulan juga tak ada kabar setelah dibawa Om Abimanyu. Om Abimanyu, kan, yang bakar sanggar, bagaimana kalo dia mau bunuh Wulan juga?"

Ayah Joko bangkit dari sofa. Dia membuka laci meja kerja dan mengeluarkan map biru. Setelah itu, dia kembali duduk di hadapan Joko dan memperlihatkan isi map, ada beberapa lembar dokumen.

"Coba kamu baca ini."

Joko pun membaca berkas dari ayahnya. Meskipun masih berusia 12 tahun, dia adalah anak yang cerdas. Hanya membaca beberapa bagian dokumen itu saja, Joko bisa mengerti maksud sang ayah.

"Jadi, Papa dan Eyang .....

"Iya, Joko. Rencana Papa dan Eyang Dirja sudah berjalan 10 %, tetapi kamu tahulah siapa yang suka merusak karena ambisinya."

Joko mengepalkan tangan dan menggeram. Dugaannya tak salah. Dia tergagap saat sang ayah menepuk bahunya.

"Tenanglah, kita tidak bisa menghukum seseorang tanpa ada bukti. Papa akan berusaha mengumpulkan buktinya."

"Ah, bukankah Papa dan dia–"

"Hubungan darah dengannya tak sehebat ketulusan Lendra selama ini."

Wajah ayah Joko tiba-tiba berubah sendu.

"Joko, entah kenapa Papa merasakan firasat buruk. Joko, jika Papa tidak bisa mendampingimu lagi, kamu harus menjadi kuat tak tergoyahkan. Jangan sampai perusahaan jatuh ke tangan orang yang zalim."

Joko ingin bertanya maksud perkataan ayahnya. Namun, suara sang ibu memanggil dengan nada tinggi. Dia pun terpaksa meninggalkan ruang kerja tersebut.

...

Aldi tersentak, refleks bangkit dari kasur, tetapi tak lama kemudian oleng dan ambruk ke lantai. Kepalanya terasa berputar-putar. Bangun tidur secara mendadak memang bisa menyebabkan gangguan keseimbangan. Cukup lama dia terkulai di lantai.

Setelah beberapa menit berlalu, kondisi Aldi mulai membaik. Dia mencoba berdiri sambil berpegangan di pinggiran tempat tidur, lalu duduk di kasur pelan-pelan. Aldi mengaturnya napas sejenak sebelum meraih ponsel di nakas. Tampilan jam di layar ponsel membuatnya mendecakkan lidah.

"Sial, sudah jam segini! Mana ada rapat!" gerutu Aldi.

Mimpi semalam membuatnya tidur terlalu lama. Mungkin membicarakan tentang Wulan dengan sang adik membangkitkan kembali ingatan masa lalu. Sayangnya, bukan kenangan manis yang menghampiri, tetapi justru rahasia mengerikan.

Tak ingin membuang waktu, Aldi bergegas ke kamar mandi. Denyut di kepala diabaikan begitu saja. Namun, akibat tergesa-gesa, Aldi tidak memperhatikan langkah. Dia tak sengaja menginjak bagian lantai yang licin dan kehilangan keseimbangan. Tak ayal, wajahnya menubruk dinding kamar mandi.

Aldi meringis. Dia menekan sudut bibir yang terasa perih. Saat dilihat di cermin, bibirnya memang bengkak dan sedikit luka. Namun, Aldi tak bisa berlama-lama mengeluh. Sambil menahan sakit, dia mandi secepat mungkin.

***

Akhirnya rapat yang terasa mencekik selesai. Hampir 2 jam diserang dari berbagai penjuru, Aldi bisa menghadapi dengan manuver menakjubkan. Mereka yang ingin mencopotnya dari posisi penerus kalah telak. Dirja bahkan sempat tersenyum bangga meski hanya sedetik saja. Bukan rahasia lagi tindak-tanduk dan hal-hal kotor yang dilakukan para petinggi korup itu. Sudah lama Dirja dan Aldi ingin menyapu bersih mereka.

Kini, Aldi meninggalkan ruangan dengan langkah elegan dan penuh wibawa, membuat lawan-lawannya hanya bisa menggeram. Mereka menyayangkan kartu AS yang tak bisa terpakai. Ya, mereka ingin memojokkan Aldi dengan isu penyuka sesama jenis. Namun, sejak Aldi punya pacar dan beberapa kali tertangkap kamera pencari berita, strategi itu tak bisa dilakukan.

Akhirnya, mereka hanya menjadi bulan-bulanan di rapat saat mencoba mengkritik kinerja Aldi. Sementara proyek yang digarap Aldi selalu sukses besar. Kritik mereka hanyalah senjata makan tuan.

Aldi sudah sampai di lobi. Dia bermaksud ke luar, tetapi malah dihampiri Gilang. Aldi refleks menghela napas berat. Sejak insiden Rani memfitnah adiknya, dia tidak lagi bisa memercayai Gilang. Tindak-tanduk Gilang cukup mencurigakan. Aldi menduga sepupunya itu juga terlibat.

"Wah, tumben si tuan perfeksionis telat hari ini," ledek Gilang sembari menepuk pelan pundak Aldi.

"Gue tidurnya kemalaman. Pacar baru gue bikin gak bisa tidur," sahut Aldi ringan."

"Hah? Pacar? Bukannya cewek baru lo itu cuman buat pura-pura?" sergah Gilang.

"Gak, kali ini gue serius. Cape juga gue pura-pura."

Aldi memilih merahasiakan kesepakatannya dengan Putri. Gilang terlalu berbahaya untuk memegang rahasia.

"Gak, gak, gak mungkin! Lo, kan, bucin setengah mati sama cinta pertama lo si Bulan?"

"Wulan." Aldi mengoreksi.

"Ah iya, Wulan. Bukannya lo gak mau nikah selain sama dia?" cecar Gilang.

"Detektif yang gue minta nyelidikin udah dapat kabar buruk." Aldi menghela napas. "Gue gak mau bahas soal itu lagi karena rasanya sakit."

"Tapi, tetap aja, Al, aneh kalo lo langsung bisa move on." Gilang masih tak bisa terima.

"Cewek itu ... pacar baru gue mirip Wulan."

"Gila lo, Al. Kesian banget tuh cewek lo jadiin pelarian."

"Dia tau dan gak keberatan."

Gilang membulatkan matanya. "Kok bisa?"

"Dia bilang kapan lagi punya pacar kaya. Cinta gak penting, makan perlu uang, bukan cinta."

"Gila! Gila!" seru Gilang heboh.

"Bukan gila, kami hanya saling membutuhkan dan akhirnya menjalin hubungan saling menguntungkan," ralat Aldi. Dia menyeringai. "Dia juga hebat dalam satu hal," gumamnya sembari menyentuh sudut bibir.

Tak ayal Gilang mengamati bibir yang bengkak. Dia terperangah. Aldi yang selalu menjaga batasan dengan seorang wanita pasti terasa aneh jika sampai melakukan aksi sepanas itu. Gilang menjadi sangat penasaran dengan pacar baru sepupunya. Sementara Aldi meminta maaf kepada Putri dalam hati karena sudah membuat gadis itu seolah-olah menjadi wanita penggoda.

Aldi melirik arlojinya. "Sudah jam segini, gue masih ada rapat lagi."

"Tapi, Al, soal cewek baru lo tadi–"

"Sudahlah, itu juga bukan urusan lo," potong Aldi cepat. "Gue balik duluan ke PT. Karya Abadi," pamitnya sebelum meninggalkan Gilang yang hanya bisa melongo.

***