Ayang Mbeb Tyas Nelepon!
Ayang Mbeb Tyas Nelepon!
Nada dering khusus di ponsel Paijo berbunyi. Aldi urung menyebutkan nama pacarnya. Sementara Paijo permisi untuk menerima panggilan.
"Bang Paijooo! Kok belum dateng, sih? Elo di mana, Bang? Katanya mau bikin rekaman buat channel YouTube!" Suara melengking Tyas langsung menyerbu gendang telinga Paijo begitu panggilan tersambung.
Paijo sampai harus sedikit menjauhkan ponsel dari telinga selama gadis pujaan hatinya itu mengomel. Setelah Tyas kehabisan kata-kata dan hanya terdengar suara napas terengah-engah karena mungkin kecapekan, barulah dia angkat suara.
"Sabar, Ayang Mbeb, sabar."
"Ish! Ayang Mbeb apaan?"
Tyas pun mengomel jilid dua. Paijo dengan sabar mendengarkan hingga gadis itu puas.
"Iya, maaf, maaf, Dek," tutur Paijo mencoba menenangkan Tyas.
"Ya udah, sekarang lo di mana, Bang?"
"Ini masih di rumah temen ada urusan, bentar lagi pulang."
"Cepetan lho, Bang, ntar keburu Magrib lagi ah! Jangan lelet pokoknya!"
Kresek kresek
Paijo mengerutkan kening saat terdengar gemuruh.
"Tyas, Tyas, kamu baik-baik aja?" tanyanya cemas.
"Ini Putri, Bang. Cuman mau bilang, enggak usah buru-buru. Kalo enggak sempat, kita bisa mulai bikin videonya malem aja sekalian."
Samar-samar terdengar suara Tyas protes. Paijo tersenyum kecil. Dia membayangkan betapa imutnya wajah gadis pujaan hati saat sedang merajuk.
"Gitu aja, Bang. Hati-hati di jalan, Bang. Sudah dulu, ya, Bang."
Putri memutuskan panggilan setelah mereka saling mengucapkan salam. Paijo menyimpan ponsel ke saku celana. Dia menghampiri Aldi, tetapi tidak duduk kembali di sofa.
"Sorry, ya, Al. Gue lupa hari ini ada janji sama gebetan, jadi harus cabut," ucap Paijo dengan raut wajah bersalah.
Aldi terkekeh. "Kayak habis berdosa besar aja lo. Ya udah buruan sana, nanti diembat orang," ledeknya.
"Jahat beudh lo!" gerutu Paijo. "Ya udah, gue pulang dulu. Nanti kita bahas lagi cewek baru lo itu."
Aldi mengangguk. Paijo pun meninggalkan rumah sahabatnya. Dia bersyukur menggunakan motor dengan body yang cukup slim hari itu. Meskipun sudah diminta Putri untuk tidak buru-buru dan lebih berhati-hati, Paijo tetap bertekad mengebut dan melewati jalan tikus agar cepat sampai. Titah Tyas tentu jauh lebih prioritas baginya.
Akhirnya, Paijo berhasil tiba di panti hanya dalam 15 menit. Tyas langsung menghampiri lengkap dengan omelan panjang. Sementara Putri yang tengah bersantai di teras sambil menikmati secangkir teh hangat hanya menggeleng pelan melihat kelakuan mereka. Setelah tehnya habis, barulah dia mendatangi duo absurd itu.
"Udah, udah, Tyas. Kasian lho Bang Paijo udah keburu-buru ke sini. Untung, Bang Paijo enggak kenapa-kenapa. Ngebut itu bahaya lho, Bang," tegur Putri.
"Demi Ayang Tyas apa sih yang kagak, Put," gombal Paijo.
"Abang ih!"
Tyas memukul lengan Paijo dengan kesal. Putri menghela napas dan mencoba melerai. Untunglah, Tyas memang mudah dibujuk. Mereka pun bisa segera memulai proses pembuatan video untuk channel YouTube.
"Kalian ganti kostum aja dulu, Abang pulang bentar ngambil peralatan."
Putri dan Tyas kompak mengangguk. Mereka masuk ke panti sementara Paijo menuju rumahnya. Tak lama kemudian, ketiganya kembali berkumpul, lengkap dengan kostum masing-masing.
Paijo segera memasang peralatan untuk merekam sedangkan Putri dan Tyas menata alat musik dan latar untuk pertunjukan. Hari itu, mereka akan menampilkan Tari Jaipong. Putri memilih tarian ini untuk video pertama cukup populer di masyarakat.
"Siap, Gaes?" seru Tyas setelah persiapan selesai.
"Siap!" sahut Paijo.
Dia mulai memainkan kendang. Tyas juga memamerkan keindahan suaranya. Sementara Putri menari dengan gemulai.
Pembuatan video berjalan dengan lancar dan selesai ketika langit dihiasi lembayung senja. Dari menara-menara masjid terdengar suara orang mengaji. Magrib hanya tinggal hitungan menit. Paijo memeriksa hasil rekaman dengan seksama. Jika ada kesalahan, mereka harus mengulang kembali besok.
"Syukurlah, videonya bagus, malah bagus sekali. Nanti tinggal di-edit supaya makin ciamik," komentar Paijo setelah selesai memeriksa. "Oh ya, Put. Tumben kamu gak melatih anak-anak siang tadi?" celetuknya.
"Biasalah Kak Putri lagi kerja jadi pacar pura-pura si cowok es." Tyas yang menyahut sambil memutar bola mata. Dia memang sensian dengan Aldi.
Paijo termangu. Kebetulan yang terjadi kenapa begitu aneh. Sebelumnya, Aldi juga mengatakan jadwal kencannya dari pagi hingga siang tadi. Oleh karena itulah, Paijo sempat menunggu kedatangan sang kawan.
"Put, cowok yang ngasih kamu kerjaan itu–"
Ponsel Paijo menjerit-jerit. Lagi-lagi hal penting tertunda untuk ditanyakan karena panggilan telepon. Paijo segera menerima panggilan begitu melihat kata Emak di layar ponsel.
"Pulang, Jo, sudah mau Magrib!"
Tuuut!
Cuma satu kalimat teriakan dan sang ibu langsung mengakhiri panggilan. Artinya, Paijo tak boleh banyak berkilah. Dia pun segera berpamitan dan lari tunggang langgang menuju rumah.
***
Rani sudah menghela napas sepuluh kali. Minuman rendah kalorinya hampir habis. Dia terus menatap pintu kafe. Namun, Gilang tak jua muncul, padahal telah lewat 20 menit dari waktu janjian.
Tepat saat Rani hendak memutuskan untuk pulang saja, pintu kafe terbuka. Gilang masuk dan melambaikan tangan ke arahnya. Rani mendecakkan lidah dan memasang wajah masam.
"Aduh, maaf telat, gue tiba-tiba dapat tugas dadakan dari Aldi. Sial beudh!" keluh Gilang begitu tiba di hadapan Rani. Dia menarik kursi dan duduk di atasnya.
"Paling enggak kasih kabar, Bang. Bikin gue kek orang-orangan sawah di sini," ketus Rani.
"Beneran gue lupa gara-gara kaget dikasih tugas." Gilang menangkupkan tangan di depan dada.
"Ya udahlah, Bang. Sekarang, mending kita bahas yang lebih penting."
"Oke, oke. Jadi, kenapa lo tiba-tiba minta ketemuan padahal enggak ada angin, enggak ada ujan?"
"Ini soal Bang Aldi sama pacar barunya, Bang."
Rani pun menceritakan peristiwa yang dilihatnya di mal. Wajah Gilang memegang, seperti tengah terancam bahaya. Sebelumnya, dia memang tidak terlalu percaya ucapan Aldi soal pacar yang hebat dan bibir bengkak. Namun, mendengar cerita Rani, hatinya menjadi was-was juga. Jika Aldi benar-benar jatuh cinta, rencana besar bersama sang ayah bisa gagal.
"Beneran, Ran? Jangan-jangan lo salah liat?" tanya Gilang mencoba memikirkan kemungkinan lain.
"Ih, enggak percayaan banget, sih, Bang. Untung, aku sempat rekam.
Rani membuka galeri ponselnya bermaksud menunjukkan video pacar baru Aldi. Gilang mencondongkan badan, ikut menonton sekaligus mencari kesempatan dalam kesempitan. Lumayan, dia bisa menempel pada Rani sebentar.
Namun, baru saja video diputar, amarah merasuki hati Gilang. Dia tak pernah menyangka kalau pacar baru Aldi adalah gadis pengamen incarannya. Wajahnya tanpa sadar berubah masam ketika teringat bibir bengkak Aldi tempo hari. Rasa cemburu berpadu dengan keinginan tak mau kalah memicu dendam. Tangan Gilang pun terkepal kuat.
Perubahan ekspresi Gilang membuat Rani mengerutkan kening. "Kenapa, Bang? Abang kenal cewek ini? Ato jangan-jangan bekas dipake Abang?" tanyanya penuh selidik.
"Enggak kenal, Ran. Tapi, rasanya Abang pernah liat dia mengamen di taman kota," sahut Gilang diplomatis seraya menurunkan amarahnya.
Dia tak boleh menunjukkan ketertarikan berlebihan di hadapan Rani. Bisa-bisa putri Pak Broto itu enggan bekerja sama lagi dengannya. Sebelum Rani menyadari kebohongannya, Gilang cepat mengarang cerita yang menjelek-jelekkan Putri.
"Kayaknya emang dia, Bang. Soalnya, dia sama teman-teman badutnya itu emang suka mangkal di taman kota. Dia juga pernah kerja jadi perawat di rumah Eyang Sulis."
"Hah, kok bisa Eyang Dirja terima? Gimana kalo sampai dia berbuat jahat seperti mencuri misalnya?"
"Tuh, kan, Abang juga sepemikiran. Makanya dia udah aku singkirin."
"Eh? Maksudnya, Ran?"
Rani menyeringai. Dia pun menceritakan kembali kezaliman yang sudah dilakukannya kepada Putri. Gilang sedikit terkejut, tetapi dengan cepat kembali ceria. Partner kerja licik dan bengis seperti Rani memang sangat cocok untuk kerjasama dalam hal-hal jahat.
"Mantap betul!" puji Gilang seraya mengacungkan jempol.
"Rani gitu lho." Rani mengibaskan tangan. "Btw, Abang ada ide enggak soal nih cewek gembel?"
Gilang mengelus dagu. Tak lama kemudian, ide jahat mampir di otaknya. Dia pun menjelaskan rencananya kepada Rani. Mereka segera terlibat obrolan serius. Seringaian licik menghiasi bibir keduanya.
***