Ruang kerja Direktur Keuangan PT. Karya Lestari mendadak terasa mencekam. Dua pria paruh baya menatap lekat wajah pemuda tampan yang tampak dipenuhi kebencian. Mereka adalah Gilang bersama dengan ayahnya dan Broto. Ketiganya tengah membahas cara mendepak Aldi dari calon penerus terkuat.
Ketegangan seketika menyergap saat Gilang menyebutkan kemesraan Aldi dan pacar barunya. Bimasakti, ayah Gilang terus memainkan bolpoin sembari menghela napas berat. Sementara Broto meremas kertas dengan kesal. Dia tengah membayangkan rencana untuk menjodohkan Aldi dan putrinya gagal.
"Jadi, maksud kamu, pacar Aldi yang baru ini bukan pura-pura?" tanya Bimasakti setelah mereka terjebak keheningan selama 5 menit.
Gilang menghela napas. "Iya, Pa. Tadinya, aku juga curiga si Aldi hanya membayar orang untuk berpura-pura seperti saranku dulu. Tapi ...," dia mengetuk-ngetuk permukaan layar ponsel dengan wajah resah sebelum melanjutkan, "setelah melihat kiriman video Rani, aku berubah pikiran."
"Rani ... anak saya?" tanya Broto dengan kening berkerut.
"Iya, Om. Rani enggak sengaja liat mereka, terus direkam sama dia," sahut Gilang meyakinkan.
Broto menggeram. Bisa dilihat tangan gemuknya gemetar. Meskipun culas dan terkenal suka bermain wanita, dia sangat menyayangi dan memanjakan putri semata wayang. Apapun keinginan Rani selalu dipenuhi. Broto bisa memperkirakan seberapa sakit hati putrinya akibat ulah Aldi.
"Pantas saja Rani kelihatan sedih akhir-akhir ini," gumamnya. "Kurang ajar sekali Aldi. Putriku tidak bisa dibandingkan dengan seorang gembel!"
"Pantesan Rani suka ngecap orang gembel, buah gak jatuh jauh dari pohonnya. Sok-sokan lo bilang gembel, Om. Kalo liat tuh cewek, palingan ngiler," gerutu Gilang dalam hati.
Meskipun mengumpat dalam hati, dia tetap berpura-pura mendukung ucapan Broto. Gilang bahkan ikut menghina Putri. Dia dan ayahnya sudah bertahun-tahun bekerja sama dengan Broto. Banyak hal kotor mereka lakukan, sehingga sudah saling menyimpan rahasia masing-masing. Terlalu beresiko jika sampai hubungan mereka merenggang.
"Meskipun gembel seperti yang kau bilang, gadis itu pasti punya keistimewaan sampai Aldi tertarik, Broto." Bimasakti memotong aksi menghina Putri yang dilakukan Broto dan Gilang.
"Ck! Sepertinya, perempuan itu main pelet," tebak Broto.
Bimasakti tampak dongkol. Dia sangat logis dan tak memercayai hal-hal berbau mistis. Ucapan Broto terasa seperti kepasrahan karena tak bisa menemukan jawaban sebenarnya.
"Carilah alasan yang lebih masuk akal," sindir Bimasakti.
Broto mendelik. "Jadi, maksudmu menggunakan pelet itu tidak masuk akal, hah?"
"Ya, ke dukun karena cinta ditolak sangat konyol," sahut Bimasakti tak mau kalah.
"Kau pikir selama ini bagaimana caraku membuat para investor bertekuk lutut hah? Kalau bukan karena jimat dari dukun kepercayaanku, mana bisa berjalan mulus," gerutu Broto.
"Kalo dukunmu itu memang tokcer, kenapa tidak dipelet saja si Aldi?" debat Bimasakti.
"Sudah kulakukan, tapi Aldi sangat hati-hati dan tidak mau memakan makanan ataupun minuman yang diberi Rani. Pelet lewat foto juga tidak mempan," jelas Broto. Entah sudah berapa kali mendecakkan lidah selama mengucapkan kalimat lumayan panjang itu.
Akhirnya, Broto dan Bimasakti terus berdebat. Semakin lama, adu mulut mereka semakin jauh dari pokok bahasan. Gilang memutuskan untuk menengahi.
"Ya mungkin ucapan Om soal pelet bisa saja benar, tapi sepertinya saya tahu alasan yang lebih tepat. Gadis itu memang memiliki sesuatu yang menarik perhatian Aldi."
"Sesuatu? Apa itu?" cecar Bimasakti dan Broto kompak. Perdebatan yang tadinya panas seketika surut.
Gilang mengatur napas sejenak sebelum mulai berbicara, "Gadis itu bukan mengamen biasa. Dia membawakan tari tradisional. Kita tau Aldi menaruh perhatian besar terhadap hal itu bukan?"
Bimasakti mengangguk-angguk. Penjelasan putranya tentu lebih masuk akal daripada dugaan mistis Broto. Sementara itu, Broto terlihat ragu. Mungkin dia lebih percaya Aldi dipelet.
"Rani juga bilang, gadis ini pernah dipekerjakan Eyang Dirja untuk merawat Eyang Sulis."
"Hah? Menarik sekali. Bu Sulis bukannya sensitif terhadap orang asing, ya?"
"Nah itu, Om. Makanya saya pikir gadis ini sangat mencurigakan."
"Apa Bu Sulis juga dipelet?" terka Broto.
Bimasakti mendelik tajam. Dia tak habis pikir, kenapa Broto selalu menghubungkan sesuatu dengan hal mistis. Mereka mungkin saja akan terlibat perdebatan panjang lagi. Beruntung, Gilang cepat bertindak.
"Kalo menurut saya, Om, alasannya sama seperti Aldi, karena tari tradisional," gumam Gilang. Dia tiba-tiba mengibas-ngibaskan tangan. "Toh itu tidak penting lagi. Rani dan Tante Mitha udah berhasil nyingkirin dia."
Broto dan Bimasakti terperangah. Mereka menatap lekat Gilang. Keduanya jelas sangat penasaran. Gilang terkekeh sebelum menceritakan kembali aksi licik dan kejam Rani dan Paramitha. Broto seketika tergelak.
"Ya, ya, istri dan putriku memang sangat cerdik," pujinya setelah selesai tertawa.
"Berarti, sekarang kita harus memikirkan cara menyingkirkan gadis itu dari sisi Aldi," gumam Bimasakti mengembalikan obrolan pada topik semula.
"Sebaiknya, kita tidak bertindak gegabah, Pa. Kita harus tahu semua informasi tentang gadis itu," cetus Gilang.
"Betul kata Gilang. Orangku akan mengintai gadis itu. Kita harus bisa segera menemukan kelemahannya," timpal Broto.
Bimasakti dan Gilang mengangguk-angguk. Selanjutnya, mereka membahas proyek terbaru yang akan ditangani Bimasakti. Seperti biasa, Broto memberikan saran-saran menyesatkan.
Saran Broto memang akan memberikan keuntungan besar bagi perusahaan, tetapi juga mencekik rakyat kecil. Namun, mereka setali tiga uang. Bimasakti menerima usulan tersebut dengan antusias, bahkan menambahkan rencana yang lebih licik dan kejam lagi. Sementara Gilang malah sibuk membalas pesan gundik-gundiknya.
***
Gilang mengawasi Tyas yang baru saja keluar dari toko kue. Gadis itu baru menyelesaikan shift kerjanya. Dia melangkah gontai dengan wajah lelah. Gilang pun mengikuti dalam jarak yang aman
Meskipun Broto telah membayar mata-mata profesional, Gilang tetap mengambil langkah antisipasi. Dia berniat mendekati Tyas untuk mengorek informasi tentang Putri. Pemuda itu memperhitungkan jarak, lalu melangkah cepat dan berpura-pura tidak sengaja menyenggol Tyas.
"Aduh, maaf!" seru Gilang.
"Enggak apa-apa, Bang–" Tyas membulatkan matanya saat melihat wajah tampan Gilang. "Eh, abang tampan yang dulu di taman?" Tyas memukul mulutnya. "Aduh, maaf, Bang! Saya tidak sopan."
Gilang berpura-pura kaget. "Ah, penari yang di taman?"
"Iya, Bang," sahut Tyas malu-malu.
"Saya benar-benar minta maaf tadi sudah menyenggol–"
"Enggak sampai luka juga, Bang," potong Tyas cepat.
"Tetap aja. Hmm ...." Gilang mengelus dagu. "Bagaimana kalau saya traktir sebagai permintaan maaf," tawarnya.
Awalnya, Tyas menolak karena merasa tidak enak. Namun, bujukan Gilang membuatnya luluh. Mereka pun masuk ke sebuah kafe. Sebuah kebetulan, kafe tersebut adalah kafe Paijo. Namun, Paijo yang sibuk di ruangannya mengerjakan pembukuan tidak menyadari kedatangan dua orang itu.
"Makasih, ya, Bang, padahal aku beneran nggak apa-apa kok," celetuk Tyas setelah mereka duduk nyaman di salah satu kursi meja nomor enam.
"Tapi, saya juga serius mau traktir sekalian ngobrol-ngobrol," sahut Gilang sembari memberikan senyuman tebar pesona.
Gadis yang sulit didapatkan memang menantang. Namun, Gilang tidak akan menyia-nyiakan sasaran empuk. Terlebih, Tyas tergolong cantik. Dia biasa menganggap gadis yang menunjukkan ketertarikan besar padanya seolah-olah camilan untuk mengisi kebosanan. Sekali menyelam minum air, mengencani Tyas sekaligus mendapatkan informasi tentang Putri, begitu tujuannya.
"Ayo pesan dulu," cetus Gilang tiba-tiba membuat Tyas gelagapan.
"I-iya, Bang."
Gilang menatap lekat seolah sedang jatuh cinta. Tyas menunduk dengan pipi merona. Setelah dirasa cukup membuat target terjebak, Gilang segera memanggil pelayan kafe. Dia memesan americano. Sementara Tyas membuka buku menu dengan canggung karena grogi, padahal sebenarnya dia sudah hapal dan memiliki menu favorit di kafe milik Paijo itu. Akhirnya, Tyas malah asal menunjuk menu. Pelayan kafe mencatat pesanan dan berlalu dari hadapan mereka.
"Btw, saya tidak pernah lagi liat kalian nari di taman, atau pindah tempat, ya?" Gilang kembali membuka obrolan.
"Kami enggak dibolehin lagi, Bang."
"Lho, siapa yang larang?"
"Satpol PP. Katanya, ada laporan dari pengunjung taman kalo para pengamen menganggu pengunjung. Rese banget deh tuh orang!"
Tyas tanpa sadar menggebu-gebu mencurahkan isi hatinya. Sebenarnya, Gilang tak terlalu tertarik. Namun, demi tujuan jahatnya, dia menanggapi antusias cerita Tyas, bahkan ikut marah dengan si pelapor tersebut.
"Eh? Ya ampun saya malah curhat! Maaf, ya, Bang. Saya kebawa emosi kalo inget kejadian itu."
"Enggak papa, Dek. Saya juga kalo di posisi kamu pasti sama jengkelnya." Gilang tersenyum manis. "Keliatannya kamu benar-benar suka menari, ya?" tanyanya.
"Kalo menari itu lebih ke Kak Putri, sih, Bang. Kemarin itu kebetulan aja saya ikut nari. Biasanya, saya nyanyi, nyinden gitu."
"Pantas suara kamu merdu."
"Abang bisa aja."
Gilang kembali menanyakan berbagai hal. Tyas yang sudah terjerat pesona pemuda itu tanpa sadar memberikan banyak informasi tentang dirinya maupun Putri. Mereka menjadi akrab dalam waktu singkat.
Saat perbincangan keduanya semakin seru, Paijo yang telah selesai dengan pembukuan hendak keluar ruangan. Pemuda itu tercengang sekaligus geram. Dia urung keluar dan mengintip dari balik pintu dengan tangan terkepal kuat.
"Kenapa Tyas bisa kenal dengan predator cewek macam Gilang? Gue harus lakuin sesuatu!"
***