Chereads / Bidadari Matre / Chapter 41 - Bagian 43

Chapter 41 - Bagian 43

"Hatsuyy! Hatsuyy!" Putri mencuci tangannya yang penuh sabun dan mengusap lubang hidung.

Tyas yang tadinya tengah mengelap meja makan menghampiri dengan tatapan cemas. "Kakak baik-baik aja? Kalo sakit, biar aku aja yang nyuci piring nanti. Kakak istirahat aja dulu!" cecarnya.

Putri terkekeh. Tyas memang jauh lebih muda darinya, tetapi lebih keibuan meskipun cepat panik. Beda dengan Putri yang memiliki pembawaan tenang, tetapi agak cuek dengan kesehatan sendiri. Saat Asih tengah masa pemulihan seperti sekarang, mereka seolah-olah menjadi pengganti sosok ibu dan ayah bagi adik-adik di panti.

"Hatsuyy!"

Baru saja menertawakan tingkah lucu Tyas, Putri kembali bersin. Tyas seketika melotot, memaksa untuk beristirahat. Putri menggeleng pelan.

"Aku tidak sakit, Tyas. Mungkin karena debu."

"Mana ada piring kotor berdebu yang ada berminyak kali, Kak!" protes Tyas.

Dia menyentuh kening Putri dengan punggung tangan. Wajah Tyas tampak kebingungan. Suhu tubuh sahabatnya normal-normal saja. Putri kembali terkekeh.

"Nah, enggak demam, 'kan? Hatsuyy!"

"Tapi, masih bersin tuh."

Putri mengelus dagu. "Mungkin ada orang yang sedang membicarakanku?" tebaknya asal.

Tyas seketika mengepalkan tangan dan meninju udara. Sorot matanya tampak seperti akan menerkam orang.

"Siapa, sih, yang berani gosipin Kak Putri? Aku tau! Pasti deh itu si Linda? Ah atau jangan-jangan si Markonah? Mawar? Dea?" serunya dengan berapi-api.

Nama-nama yang disebut Tyas milik para gadis yang tak menyukai Putri. Alasannya sama karena gebetan atau pacar mereka tertarik kepada Putri. Seperti lagu Agnes Monica, cinta memang kadang tak ada logika. Gadis-gadis itu tak bisa berpikir jernih dan menuduh wanita lain sebagai penggoda, padahal pria mereka yang suka bermain mata.

Tyas mengetuk-ngetuk wastafel cuci piring dengan tangan kanan. Sementara tangan kirinya mengelus dagu. Putri susah payah menahan tawa melihat tingkah sang kawan sudah seperti detektif saja.

"Aku tau, Kak!" seru Tyas tiba-tiba. "Bukan Mereka pelakunya, tapi orang kaya sombong itu!" ucapnya dengan yakin.

Tawa Putri seketika pecah. "Hush! Enggak boleh suuzon," tegurnya setelah tawa mereda.

"Yeee, bukannya tadi Kakak yang bilang mungkin dibicarain orang?" protes Tyas.

"Dibicarain itu, kan, belum tentu dihina, bisa aja ada yang bilang Kakak cantik seperti bidadari."

"Kakak ih!"

Bibir Tyas manyun. Putri tergelak. Mengusili Tyas memang menyenangkan, bisa meningkatkan mood dan membuat hati menjadi lebih bersemangat. Sementara Tyas masih bersungut-sungut, Putri kembali mencuci piring. Anehnya, dia tak lagi bersin-bersin.

Beberapa menit kemudian piring kotor telah beres. Putri menggerakkan badan ke kanan dan ke kiri untuk melemaskan otot. Tyas juga sudah selesai membereskan meja makan.

"Libur gini enaknya ngapain, ya, Kak?" celetuk Tyas.

Hari itu, Tyas memang mendapat jatah libur. Sementara Putri belum melamar pekerjaan baru karena kesepakatan dengan Aldi. Dia mendapatkan uang saku tertentu, tetapi harus bisa segera datang saat diminta. Jika memiliki pekerjaan terikat, Putri akan kesulitan memenuhi hal tersebut.

"Nonton TV ajalah," usul Putri.

"Boleh juga. Biasanya jam segini ada infotainment."

"Gosip teros," ledek Putri.

"Biarin aja napa, sih, Kak–" Tyas tersentak. "Lho, Ibu? Ibu mau ngapain?" serunya histeris saat melihat Asih menyapu di ruang nonton TV.

"Nyapulah," sahut Asih ringan sambil mengorek-ngorek lantai di bawah meja.

Putri dan Tyas bertatapan, saling memberi isyarat. Tak lama kemudian, Putri merebut sapu. Sementara Tyas memaksa Asih duduk di sofa, lalu ikut duduk. Setelah mengamankan sapu, Putri juga bergabung. Mereka berdua menatap Asih dengan tatapan penuh selidik.

"Ibu ngapain nyapu segala? Ibu, kan, masih masa pemulihan? Ibu enggak boleh sampai kecapean," cecar Tyas.

"Lantainya juga sudah disapu, Bu," timpal Putri.

Asih menghela napas. "Ibu bosan cuma berbaring. Ibu juga sudah merepotkan kalian," gumamnya dengan nada sendu. Wajah bersahaja dan keibuan itu tampak muram.

"Ibu enggak pernah ngerepotin kami, malahan kami yang lebih sering ngerepotin Ibu," sergah Tyas sembari menggenggam tangan Asih.

"Benar kata Tyas, Bu." Putri tampak menerawang, lalu tersenyum jail. "Jadi ingat pas Tyas masih balita, saking nempelnya ke Ibu, kalo ditinggal, pasti langsung nangis."

Tyas mendelik. "Ih, Kak Putri! Namanya balita, ya, pasti cengeng," protesnya. "Kak Putri juga gitu, kan, Bu?"

"Ibu enggak tau juga," sahut Asih, membuat Tyas mengerutkan kening.

"Kok bisa enggak tau, Bu?" cecarnya.

"Putri datang ke sini sudah umur sekitaran 10 tahun. Waktu itu, Putri enggak ingat apa-apa, cuma nyebut namanya Putri."

Asih menahan diri untuk tidak menceritakan keadaan mengenaskan Putri saat datang ke panti. Hatinya bahkan terasa sesak setiap mengingat hal itu. Dia tak pernah lupa saat bersama mendiang suaminya mengetuk pintu rumah bidan terdekat sambil menggendong bocah yang berdarah-darah. Anehnya, setelah membaik gadis kecil bernama Putri itu hanya membisu. Jika ditanya, jawabannya lebih banyak tidak tahu, cuma ingat nama.

Akhirnya, Asih dan sang suami memutuskan untuk memasukkan Putri ke panti mereka, sekaligus dibuatkan akte kelahiran baru. Oleh karena tidak ada data sebelumnya, tanggal lahir diambil dari tanggal kedatangan ke panti. Tahunnya mengira-ngira dari usia Putri. Nama orang tua menggunakan nama Asih dan suami.

"Bu? Ibu? Kok melamun?" Suara Tyas membuyarkan lamunan Asih.

"Ibu ingat masa kecil kalian. Sama sekali tidak merepotkan lho. Bagi orang yang tidak bisa punya anak kayak Ibu, kalian itu anugerah dari Allah."

"Ibuuu." Tyas tersedu, lalu memeluk Asih.

Putri tak mau kalah, juga ikut berpelukan.

***

"Boleh, Mas?" tanya Putri sambil melirik toko boneka.

Saat melihat toko itu, dia teringat anak termuda di panti. Gadis kecil manis yang tak banyak menuntut. Namun, 2 hari lalu, mendengar sang adik mengigau hendak sebuah boneka seperti milik temannya.

"Ya, boleh," sahut Aldi ringan.

Putri mengerutkan kening. Tak seperti saat kencan terakhir, Aldi tampak tak keberatan. Pemuda itu malah masuk lebih dulu ke toko dan memilah-milah boneka.

Putri pun ikut masuk toko. "Tumben Mas Aldi enggak ngeluh lagi?" tanyanya.

"Karena aku sudah tau alasan seorang Putri belanja gila-gilaan. Ternyata kamu seperti Robin Hood."

"Dari mana Mas tahu–"

"Itu tidak penting, Putri." Aldi berhenti sejenak dari memilih boneka. Dia menatap Putri lembut dan tersenyum hangat. "Saat kamu membuat anak-anak itu senang, senyuman tulusmu sangat indah. Entah kenapa, aku senang kalau bisa melihatmu tersenyum seperti itu."

Putri terdiam. Kata-kata yang mirip pernah diucapkan oleh Joko. Tak ayal, kenangan masa lalu itu menerpanya begitu saja.

...

"Kenapa Mas Joko baik banget sama Wulan, sih?"

"Karena senyuman Wulan indah sekali. Wulan jadi seperti bidadari. Eh, Nawang Wulan, kan, memang bidadari."

Joko menyengir lebar.

"Tapi, Wulan jangan meninggalkan Mas Joko, seperti bidadari Nawang Wulan meninggalkan Joko Tarub, ya?"

"Enggaklah. Wulan mau selalu bersama Mas Joko sama Shinta selamanya."

Joko terkekeh, lalu mengacak-acak rambut Putri.

...

Air mata tanpa sadar menuruni pipi Putri. Kenangan itu terjadi tepat sehari sebelum insiden yang merenggut nyawa orang tuanya. Kata-kata Joko seolah pertanda buruk bahwa mereka benar-benar akan terpisah.

Dulu, Putri hanya menganggap perasaan kepada Joko hanya rasa sayang adik ke kakak. Namun, setelah terpisah dan tumbuh dewasa, dia tahu tak sesederhana itu. Orang bilang, cinta pertama sulit terlupakan meskipun hanya cinta monyet. Namun, rasa untuk Joko lebih dalam lagi. Sialnya, mereka tak akan bisa bersatu karena dendam kesumat dalam dada Putri.

"Putri, ada apa? Kamu baik-baik saja?" Suara cemas Aldi membuyarkan lamunan Putri.

"Maaf, Mas." Putri cepat-cepat menyeka pipinya. "Bisakah aku minta satu hal, Mas?"

Aldi mengerutkan kening. "Ya?"

"Jangan pernah ucapkan lagi kalimat seperti tadi. Itu mengingatkanku dengan cinta pertamaku yang sudah tak bisa lagi kutemui."

Panas, itulah yang dirasakan Aldi dalam hatinya. Dia tak mengerti dengan diri sendiri. Hubungan dengan Putri hanyalah kesepakatan. Dia perlu pacar, sementara Putri perlu uang. Aldi juga merasa bersalah karena seolah-olah mengkhianati Wulan.

"Mas?"

"Ah, i-iya." Aldi mengambil bagian boneka beruang warna pink. "Bagaimana kalo boneka yang ini?"

Putri mengelus dagu. "Hmm ... Lani suka warna pink, kayaknya ini aja, Mas."

Aldi pun segera menuju kasir untuk membayar tagihan. Setelah urusan di toko boneka selesai, mereka masih mengunjungi beberapa toko lagi. Putri sesekali mencandai Aldi, sehingga suasana yang sempat melankolis menjadi lebih ceria.

Tanpa mereka sadari, seorang gadis menatap di kejauhan dengan sorot mata dipenuhi kemarahan. Ya, Rani menyaksikan peristiwa manis itu dengan hati berdarah-darah. Tangannya pun terkepal kuat dengan gigi yang bergemeletuk.

***