Chereads / Bidadari Matre / Chapter 39 - Bagian 41

Chapter 39 - Bagian 41

Sudah 10 menit sejak Aldi meninggalkan panti. Putri masih tampak asyik memberikan latihan menari. Anak-anak menyimak dengan seksama, juga mata berbinar-binar terpana akan keluwesan sang guru saat memberi contoh.

"Nah, setelah Ibu liat-liat lagi, hal lain yang masih kurang adalah posisi badan kalian harus stabil atau mendhak. Coba perhatikan Bu Guru."

Putri menegakkan badan. Punggungnya dibusungkan ke depan. Setelah posisi sudah pas, dia menekuk kedua lutut. Kedua tumit merapat sekitar 45 derajat dengan ujung telapak kaki membuka. Dia mengalihkan pandangan kepada anak-anak.

"Begini posisi mendhak yang ben–"

Putri tersentak. Hampir saja dia terjungkal. Beruntung, anak-anak yang berbaris paling depan memeganginya. Mereka menatap cemas dengan ekspresi seperti hendak menangis.

"Bu Guru kenapa? Bu Guru sakit?"

Putri tersenyum menenangkan. "Enggak, Sayang. Bu Guru cuma kaget baru sadar kalo Shinta absen."

Anak-anak itu kembali riuh. Rupanya, mereka juga baru sadar kalau Shinta tidak ada. Putri segera menenangkan murid-muridnya. Meskipun cemas, dia selalu tahu kapan harus bersikap tenang.

"Shinta mungkin ada urusan penting. Tidak apa, ayo kita lanjutkan lagi saja latihannya."

"Siap, Bu Guruuu!"

"Tadi sampai posisi mendhak, ya. Sekarang, kalian perhatikan baik-baik."

Putri kembali melakukan gerakan mendhak. Anak-anak memperhatikan dengan seksama. Setelah dirasa cukup, Putri meminta para murid untuk mengulang kembali gerakan yang tadi dicontohkannya. Saat anak-anak memperagakan gerakan mendhak, dia berkeliling untuk mengamati apakah sudah dilakukan dengan benar. Jika ada murid dengan gerakan belum tepat Putri akan mengoreksinya.

Ketika hari sudah menjelang senja, Putri mengakhiri latihan menarinya. Meskipun masih tersenyum ramah saat melepas murid-murid berpamitan pulang, dia sangat mencemaskan Shinta. Begitu halaman panti telah sepi, Putri sesegera menghubungi Shinta. Namun, tiga panggilan tak diangkat. Putri mencoba berpikiran positif bahwa Shinta hanya sedang sedang sibuk, sehingga tidak bisa menerima telepon. Akhirnya, dia memutuskan untuk mandi saja terlebih dahulu.

***

"Jadi, gitu Kak, aku tiba-tiba aja demam. Pengen ngehubungin Kak Putri, kepala udah pusing banget," cerocos Shinta. Dia memang baru saja mendapat telepon dari Putri.

"Iya, iya, enggak papa, yang penting kamu istirahat yang cukup, makan yang bergizi sama minum obat teratur," pesan Putri.

"Siap, Bu Guru."

"Duh, malah iseng!"

Mereka tergelak bersama. Selanjutnya, Shinta menceritakan banyak hal dengan nada suara manja. Dia batuk beberapa kali. Rasa sakit yang tadi menyerang terlupakan begitu saja.

"Kita udah lama banget ngobrolnya, Shin. Kapan kamu istirahatnya kalo gini. Udah dulu, ya, Shin."

"Iya, Kak."

Panggilan pun berakhir. Tepat saat itulah, Aldi masuk ke kamar Shinta sembari membawa nampan berisi semangkuk bubur yang masih mengepulkan asap. Dia mengerutkan kening saat melihat sang adik senyum-senyum sendiri. Pasalnya, beberapa menit yang lalu, Shinta hanya menekuk wajah dan terus mengeluhkan nyeri kepalanya.

"Badan kamu udah enakan, Dek?" tanya Aldi seraya meletakkan nampan di nakas.

"Eh, pala Abang copot! Ish! Abang ngagetin aja!" omel Shinta.

Aldi menahan tawa. Shinta mendelik tajam. Seandainya, tidak sedang sakit, dia pasti akan mengomeli sang kakak lebih lama. Namun, apa daya, baru meninggikan suara saja, kepala akan berdenyut-denyut.

"Udah enakan, Shin?" ulang Aldi.

Shinta semakin merengut. "Masih enggak enaklah, Bang. Aduh, Abang jangan bikin tambah pusing deh."

Nyut!

Shinta meringis. Aldi sedikit merasa bersalah. Dia meletakkan punggung tangan di kening adiknya, tidak sepanas sebelumnya, tetapi masih dapat dikatakan dalam kondisi demam.

"Maaf, Abang kira udah enakan. Soalnya, senyam-senyum dari tadi sampai gak nyadar Abang masuk."

"Terus kalo masih sakit, enggak boleh senyum gitu? Mesti cemberut mulu?" sindir Shinta. Bibirnya mencong ke kiri dan ke kanan.

Aldi terkekeh dan mengusap kepala adiknya. "Iya, iya, maaf. Makan dulu, ya, Shin."

"Enggak dulu deh, Bang. Aku enggak selera."

Shinta berbaring lagi dan bergelung dalam selimut. Dia baru saja memejamkan mata. Namun, Aldi mendadak mendekatkan wajah sambi tersenyum jail.

"Kalo enggak mau makan, Abang ganti deh bodyguard buat kamu. Biar Rama jagain Abang, nanti kamu dijaga sama Om Bono," bisiknya.

Shinta langsung duduk. Hampir saja kepalanya menyeruduk muka Aldi. Untunglah, sang kakak memiliki gerak refleks yang bagus, sehingga bisa menghindar tepat waktu.

"Abang apaan, sih? Ogah banget dijagain Om Bono!" protes Shinta.

Bono adalah salah satu pengawal pribadi Aldi. Perawakannya tinggi besar berotot dengan tubuh dipenuhi bekas luka. Wajah yang sangar dikombinasikan dengan codet di pipi membuat Bono sangat disegani. Meskipun tampilannya bengis, lelaki itu justru agak polos dan suka melontarkan lelucon garing. Shinta bisa mati berdiri kalau harus terus bersamanya dan mendengarkan jokes bapack-bapack yang tidak lucu itu.

"Jangan Om Bono, ya, Bang, pliiis .... Tetap Bang Rama aja ...," rengek Shinta.

"Abang akan pertimbangkan, kalo kamu mau makan."

"Iya, nih, aku makan!"

Shinta mengambil nampan dan meletakkannya di pangkuan. Dia mulai menyantap bubur dengan malas. Saat sakit indra perasa dan penciuman berkurang fungsinya, gadis itu merasa semua makanan menjadi pahit. Namun, demi tidak kehilangan waktu bersama Rama, Shinta rela melawan kepahitan itu.

"Oh iya, Dek. Tadi, kenapa kamu senyum-senyum sendiri?" celetuk Aldi memecahkan keheningan.

"Ish, kepo ah!" sungut Shinta.

Aldi menyeringai nakal. Shinta langsung panik. Dia tak mau kalau sang kakak tiba-tiba berpikiran ingin mengganti Rama dengan Bono lagi.

"Iya, iya, aku cerita!" ketusnya.

Shinta pun menceritakan tentang telepon dari guru menarinya. Dia kembali menyampaikan keinginan menjodohkan Aldi dengan sang guru. Namun, Aldi ternyata sudah punya pacar baru. Shinta hampir saja mengambek, tetapi berubah pikiran setelah mendengar dua kalimat dari kakaknya.

"Abang bakal jujur sama kamu, Shin. Baik Rani maupun pacar baru ini sebenarnya cuma pacaran kontrak."

"Hah?"

Shinta ternganga. Hampir saja mulutnya dimasuki seekor nyamuk. Aldi tersenyum hambar. Dia menceritakan permasalahan yang terjadi, mulai dari isu gay, hingga saran Gilang.

Terakhir, Aldi mengatakan alasannya tak bisa berpacaran dengan serius, perasaan kepada Wulan yang begitu besar. Dia pun merasa sangat lega karena sudah jujur kepada Shinta. Sementara itu, Shinta hanya bisa tercengang dalam waktu yang cukup lama.

"Apa Kak Wulan seistimewa itu sampai Abang tak bisa melepas perasaan?" tanyanya hati-hati setelah berhasil lepas dari kekagetan.

Aldi terkekeh. "Dulu, malah kamu yang gak mau berbagi Wulan. Nemplok banget, terus marah kalo Abang mau deket-deket. Kamu selalu bilang, Mbak Wulan milik Shinta."

"Masa sih, Bang?"

"Kamu masih ingat foto di rumah Eyang? Kamu duduk di pangkuan Wulan, 'kan?"

Shinta mengangguk polos. Aldi tiba-tiba berdiri dan keluar kamar. Tak lama kemudian, dia kembali sembari membawa album foto. Shinta mengerutkan kening ketika sang kakak meletakkan album foto di atas kasur dan mulai membukanya.

"Nah, di sini lebih banyak lagi kenangan kita sama Wulan," jelas Aldi. Dia terus membolak-balik album foto sambil menjelaskan momen yang terjadi.

"Kenapa kalian bisa terpisah, Bang?" celetuk Shinta setelah mereka selesai melihat-lihat album.

Aldi mengatur napas. Dia memerlukan energi lebih besar untuk menceritakan kembali kebakaran yang merenggut nyawa gurunya. Shinta sampai menutup mulut dengan mata berkaca-kaca saat mendengarnya. Kisah pilu itu memang sangat mengiris hati. Shinta juga tak menyangka hilangnya kabar dua penari terbaik negeri secara tiba-tiba disebabkan kejadian nahas. Entah bagaimana, berita yang seharusnya menghebohkan jagat dunia tari itu tak pernah naik ke permukaan.

"Begitulah, Wulan dibawa pamannya, padahal Papa dan Mama ingin mengadopsi Wulan. Abang harap bisa menemukannya segera," tutup Aldi.

"Kesian banget, ya, Bang," komentar Shinta sambil menyeka mata yang basah.

"Ya, Shinta, memang malang sekali. Kamu bahkan mungkin akan mengamuk jika tahu konspirasi di balik kejadian itu," gumam Aldi dalam hati.

Shinta mengenggam tangan sang kakak. "Maafin Shinta udah maksa-maksa, ya, Bang. Pokoknya, Shinta doakan Mbak Wulan cepat ketemu."

"Amiin. Jadi, jangan marah lagi kalo Abang tiba-tiba punya pacar. Itu cuma kesepakatan, kecuali emang Abang bisa nemuin Wulan. Oke, deal?"

"Siap, Bang!"

Aldi terkekeh dan mengacak-acak rambut Shinta. Sang adik manyun sambil merapikan rambutnya. Selanjutnya, mereka hanya mengobrol ringan tentang keseharian Shinta atau keseruannya saat berlatih menari di tempat sang guru.

***