"Kalian berdualah yang harus pergi dari sini!" Suara yang halus namun tegas dan berwibawa seketika menghentikan keributan
Rani dan Paramitha terkesiap. Wajah mereka menjadi pucat. Sementara itu, si pemilik suara, Sulistyawati keluar dari kamar dengan tatapan tajam mengancam. Wajah ayunya menunjukkan raut tak suka. Dia mendekat dengan memutar roda. Meskipun menggunakan kursi roda, gerak-geriknya tetap anggun terjaga, membuat duo julid gemetar terintimidasi. Sementara Inem yang tadi membantu sang majikan ganti baju hanya menunduk canggung di depan pintu kamar.
"Bu Sulis, maaf suara kami menganggu istirahat Anda. Kami hanya terkejut ada pengamen ini di sini. Kami khawatir dia bermaksud jahat," cerocos Paramitha.
Sorot mata Sulistyawati malah semakin menajam. Dia mendecakkan lidah, membuat Paramitha dan Rani ketar-ketir. Putri dan Inem hanya bisa saling lirik dengan tatapan bingung.
"Apa kata-kata saya tadi belum jelas? Saya meminta kalian berdua pergi dari sini," tegas Sulistyawati.
"Tapi, Bu Sulis, kami ke sini karena ingin menjenguk–"
"Apa saya perlu mengulangi ucapan saya lagi?" sinis Sulistyawati.
Putri menjadi sedikit gentar. Memori masa kecilnya memang menampilkan sosok Sulistyawati dengan aura ratu yang anggun dan berwibawa. Namun, wanita tua itu lebih sering memperlihatkan sosok nenek penyayang penuh kelembutan. Sulistyawati bahkan lebih menyayanginya dibandingkan cucu sendiri. Hanya gadis kecil bernama Putri Nawang Wulan yang pernah membuat seorang Dirja Angkasa Permana kesepian tanpa pelukan istri di malam dingin.
Sayangnya, aura mengintimidasi Sulistyawati belum cukup untuk Rani dan Paramitha sadar diri. Bukannya pulang dengan santun, mereka malah semakin menjadi-jadi. Rani menunjuk Putri dengan lagak yang congkak.
"Eyang Sulis, kenapa kami yang diusir?" protesnya. "Harusnya Eyang mengusir gembel ini! Dia pasti menyusup ke sini buat mencuri!"
Sulistyawati menggeram dengan dada yang naik turun. Wajahnya merah padam. Tangan yang mulai digayuti keriput. Tuduhan keji Rani kepada Putri tentu membangkitkan amarah wanita tua itu.
Inem memberi isyarat kepada Putri. Sang nyonya bisa terkena struk lagi jika tekanan darahnya tinggi. Putri langsung bersimpuh di depan kursi roda. Dia menggenggam lembut jemari Sulistyawati.
"Ibu, janganlah marah. Ingat tekanan darah Ibu harus terjaga," bujuk Putri.
Sulistyawati menghela napas. "Nak, aku tidak bisa menerima perlakuan kejam mereka padamu." Dia mengalihkan pandangan kepada Inem. "Nem, tolong panggilkan Bejo, seret mereka keluar," titahnya.
"Baik, Nyonya," sahut Inem sigap, lalu tancap gas ke luar rumah. Dia sudah gemas sekali melihat duo julid itu.
"Apa maksud, Eyang? Ini enggak mungkin! Eyang enggak mungkin milih gembel daripada kita, 'kan?" cerocos Rani hampir tanpa jeda.
"Siapa yang mengizinkanmu memanggilku eyang?"
Rani menelan ludah. Tatapan Sulistyawati terasa begitu menusuk.
"Hanya cucuku saja yang boleh memanggilku eyang. Camkan itu!"
"Tapi, Ey–"
Sebelum putrinya semakin dibenci Sulistyawati, Paramitha seketika memelototi Rani. Dia seketika mengubah strategi. Sikap angkuh tak lagi bersisa. Meskipun sesekali matanya melirik sinis, dia meminta maaf telah berbuat kasar kepada Putri, bahkan sok ramah menanyakan status Putri di rumah itu.
"Saya adalah perawat yang akan menjaga Nyonya Besar, Bu," jawab Putri dengan sopan.
"Oh begitu, maaf, maaf, karena kami kira maling, jadi kami ...."
"Tidak apa-apa, Bu," potong Putri cepat. "Kadang kebodohan itu memang membuat seseorang menjadi sangat bersemangat, hingga susah disadarkan," sindirnya.
Sulistyawati susah payah menahan tawa mendengar ucapan pedas Putri. Sementara itu, Paramitha mengepalkan tangan. Amarah terpancar dari sorot matanya. Namun, dia cepat mengubah raut wajah agar terlihat bijaksana.
"Ah, ya, sepertinya Bu Sulis mau berpergian?" tanya Paramitha mencoba mengalihkan pembicaraan.
"Ya, dan kalian menghambat urusan saya," ketus Sulistyawati.
"Aduh, maaf, Bu Sulis. Kalo begitu, kami pamit saja. Ini mohon diterima," ucap Paramitha sembari meletakkan tas berisi aneka kue dan buah-buahan di meja.
Dia berpamitan sekali lagi. Rani sempat protes. Namun, sang ibu menyeretnya paksa keluar. Inem yang baru datang bersama satpam merasa agak kecewa karena gagal menyaksikan adegan pengusiran makhluk-makhluk julid.
Sepeninggal Rani dan Paramitha, amarah Sulistyawati perlahan mereda. Wajah sinisnya kini menjadi semringah. Sorot mata yang tajam melembut.
"Ayo, kita pergi, Nak!" ajaknya.
"Baik, Bu Guru," sahut Putri.
"Aku lebih suka kau panggil eyang dibandingkan Bu Guru," celetuk Sulistyawati tiba-tiba, membuat Putri melongo. "Aku sudah tahu kamu bukan Ika."
Putri seketika bersimpuh. "Maafkan saya, Nyonya."
Sulistyawati terkekeh. "Saat Mas Dirja memperlihatkan video kamu menari padaku, aku sudah tahu. Kemampuanmu masih dua tingkat di bawah Arunika."
"Tapi, kenapa Anda mau berpura-pura tertipu?"
"Anggaplah ini keserakahanku. Aku memang tak bisa tahan melihat anak yang berbakat. Jadi, maukah kamu menjadi muridku juga dan memanggilku eyang?"
"Baik, Eyang."
"Nah, ayo kita pergi! Kalo berangkatnya lambat, nanti pulangnya kesorean."
Putri mengangguk. Dia mendorong kursi roda dengan gamang. Pikirannya terus berkecamuk. Keraguan demi keraguan meracuni hati. Kasih sayang Sulistyawati terasa begitu hangat, hingga membuat rasa tak tega dalam diri. Menghancurkan Dirja yang merupakan suami tercinta Sulistyawati tentu akan memberikan dampak buruk bagi wanita tua itu.
"Tidak! Aku tidak boleh lemah! Kematian Bapak dan Ibu harus dibayarkan dengan penderitaan Dirja dan Om Dirga!" ikrar Putri dalam hati. Dia menampilkan lagi kejadian nahas yang menimpa orang tuanya untuk membangkitkan dendam dalam jiwa.
"Kamu baik-baik saja, Nak? Kalau tidak enak badan, kita bisa menunda jalan-jalannya," tegur Sulistyawati membuyarkan lamunan Putri.
"Saya baik-baik saja, Eyang. Mari, Eyang, saya bantu masuk ke mobil."
Dengan telaten, Putri membantu Sulistyawati masuk ke mobil. Dia juga melipat kursi roda dan memasukkannya ke bagasi, barulah ikut masuk mobil. Setelah mereka duduk dengan nyaman, supir segera menyalakan mesin. Mobil pun meninggalkan kediaman Dirja diiringi tatapan haru Inem.
***
Sebulan berlalu sejak Putri bekerja sebagai perawat. Kondisi Sulistyawati membaik dengan sangat pesat. Dia bahkan sudah bisa berjalan menggunakan tongkat selama beberapa menit.
Kediaman Dirja tak lagi sepi. Tak ada lagi wajah tanpa ekspresi dengan tatapan kosong. Senyum indah yang begitu dikagumi Dirja sudah kembali terbit di bibir istrinya. Pria tua bertangan dingin itu bahkan menaikkan gaji Putri dengan fantastis.
Oleh karena sang nenek sudah pulih, Shinta dan Aldi pun lebih sering berkunjung. Seperti hari ini, mereka tengah menikmati kue buatan Sulistyawati sambil mengobrol santai. Sayangnya, mereka belum bisa bertemu sang perawat luar biasa yang berhasil menyembuhkan luka hati sang nenek. Saat keduanya datang berkunjung, Putri sudah pulang ke rumah atau memang sedang libur.
"Jadi gitu deh, Bang. Pokoknya keren bangetlah, Kak Putri itu!" seru Shinta antusias. Dia memang tengah menceritakan kehebatan Putri kepada Aldi.
"Ya," sahut Aldi singkat.
Shinta sedikit kesal, tetapi dia masih bersemangat untuk bercerita, "Apalagi pas Kak Putri melakukan gerakan melirik. Aku tuh kayak tersedot dalam tatapannya gitu, Bang."
"Ya."
Shinta mendelik.
"Ish! Abang, cuman ya, ya, ya aja dari tadi!"
Aldi menatap Shinta dengan kening berkerut. "Lalu, Abang harus jawab apa?
Shinta mendecakkan lidah.
"Harusnya Abang tuh penasaran, terus kepo gitu mau tau guru aku kayak gimana. Misalnya mau liat rekaman video saat aku latihan," omelnya.
Ald terkekeh. Matanya tinggal segaris tipis. Meskipun saat seperti itu kegantengan sang kakak meningkat tajam, Shinta malah menjadi semakin dongkol. Dia mencubiti lengan Aldi dengan sadis.
"Abang ngetawain Shinta, ya? Jahat ih!"
Sulistyawati yang baru keluar dari kamar mandi menggeleng pelan melihat tingkah cucunya. Baru ditinggal buang air kecil sebentar saja, kakak beradik itu sudah seperti kucing dan tikus. Dia mendekati mereka, lalu mengusap kepala Shinta dengan lembut.
"Cucu Eyang kok galak banget sama Masnya," tegur Sulistyawati.
"Habisnya, Bang Aldi juga, Eyang. Shinta cerita tanggapannya malah kek orang hidup segan mati enggak mau," protes Shinta dengan pipi menggembung.
"Emang Shinta cerita apa?"
Shinta pun menceritakan kembali kehebatan guru menarinya. Sulistyawati mendengarkan dengan antusias. Dia juga meminta agar bisa dipertemukan dengan sang guru.
"Mas Joko-mu ini juga hebat lho soal menari," celetuk Sulistyawati.
"Masa, sih, Eyang?"
Sulistyawati terkekeh. Dia menceritakan prestasi-prestasi Aldi di masa kecil. Mata Shinta seketika berbinar-binar. Tangannya terkepal dan diacungkan ke udara.
"Aku punya ide bagus!"
"Ide apa, Shinta?" tanya Aldi was-was. Saat berkata ada ide, biasanya sang adik sedang berpikiran absurd.
Shinta tersenyum lebar. "Cocok deh kayaknya Abang sama gurunya Shinta, sama-sama pinter nari. Daripada jomblo terus, kenapa enggak coba aja, Bang? Nanti Shinta kenalin."
Aldi menyeringai nakal. "Emangnya Abang masih jomblo?"
"Eh? Abang udah enggak jomblo?"
"Sudah enggaklah!"
"Hah? Kok enggak cerita?"
Shinta terus mencecar Aldi. Sementara itu, Sulistyawati tampak syok. Dia terduduk di sofa dengan wajah sendu. Namun, setelah kesadarannya kembali, Sulistyawati menatap tajam Aldi.
"Apa maksud kamu, Joko? Bukankah kamu hanya mencintai Wulan?" cecarnya.
Aldi menelan ludah. "Soal itu, Eyang, aku ...."
***