Meski saat itu kita memang masih belia
Tak pantas untuk merasa cinta
Namun, percayalah, Kasih
Rasa dalam dada nyata
Semanis senyummu yang debarkan dada
Kini, belasan tahun berlalu
Mimpi tuk mempersuntingmu masih terpatri di kalbu
Meski dipisahkan jarak dan waktu
Hati kita tetap bertemu
Kasih ...
Akankah kau merinduku
Seperti aku yang merindumu
...
Penyanyi tampan di panggung terus melantunkan lagu. Pencahayaan dan desain kafe dirancang sedemikian rupa hingga menggambarkan jiwa muda dimabuk asmara. Para pengunjung memang sebagian besar sepasang kekasih dalam jalinan cinta membara. Hampir setiap meja diisi sejoli yang saling memandang mesra dengan jemari bertautan di meja. Makanan dan minuman yang mereka pesan seolah hanya obat nyamuk semata.
Namun, tak ada suasana seperti itu meja nomor 11. Meskipun dua sosok yang duduk di sana tampak begitu serasi di mata orang lain, kisah mereka hanyalah cinta sepihak. Ya, mereka adalah Rani dan Aldi. Demi mendukung aksi pacaran pura-pura, keduanya memang rutin berkencan dengan jadwal yang telah disusun rapi.
"Aku tuh bener-bener takut banget, Bang. Tiba-tiba lampu sorot jatuh. Untung aja, lawan main aku, Bang Zain langsung nyelamatin," cerocos Rani menceritakan pengalaman berbahaya yang dialaminya saat syuting film bergenre aksi.
Seperti biasa, kencan mereka memang berlangsung seperti timbangan yang berat sebelah. Hanya ada dominasi suara Rani menceritakan berbagai aktivitasnya. Aldi akan menanggapi dengan kaku dan formal. Seandainya, Rani menanyakan tentang keseharian Aldi. Pemuda itu menjawab apa adanya dengan nada datar.
"Tapi, ada sedihnya juga, sih, Bang. Habis kejadian itu, nyebar rumor aku pacaran sama Bang Zain. Gara-gara dia emang sempat suka sama aku, mana didukung penggemar lagi."
Rani sengaja tak melanjutkan ucapan. Dia diam-diam meilirik Aldi. Ada harapan pemuda itu akan cemburu. Seolah harapannya terkabul, Aldi tengah memejamkan dengan dua buliran air mata menuruni pipi. Rani langsung memasang wajah panik.
"Bang? Bang Aldi? Abang baik-baik aja?" cecarnya, padahal tengah berbunga-bunga.
Aldi tergagap. "Ah ya, maaf." Dia cepat menyeka sisa air mata. "Karena lagunya, saya jadi teringat seseorang di masa kecil," jelasnya. Selain karena lagu, entah kenapa Aldi juga merasakan Wulan tengah merindukannya.
Rani seketika mendelik. Perasaan yang tadi berbunga-bunga Rani seketika menjadi badai petir. Tangannya mengepal kuat di bawah meja. Namun, amarah yang membara dengan cepat diredakannya. Dia mencoba mengingat saran-saran Gilang agar berpura-pura bijak dan pengertian.
"Apa seseorang itu cewek yang Abang sayang, tapi belum bisa ketemu lagi?" tanyanya dengan sorot mata pura-pura turut prihatin.
"Iya."
"Aku denger dari Bang Gilang namanya Wulan."
"Iya, Nawang Wulan." Aldi terkekeh, membuat Rani terpesona untuk sesaat. "Dulu, kami sering diledek Joko Tarub dan Nawang Wulan," lanjut pemuda itu. Sorot matanya berubah sendu. "Akhirnya, dia benar-benar menghilang seperti Bidadari Nawang Wulan."
"Yang sabar, ya, Bang. Semoga bisa ketemu lagi cewek itu," hibur Rani, meskipun dalam hati ingin menjambak perempuan yang disukai Aldi.
"Terima kasih, Ran."
Rani mengangguk kecil. Setelah itu, dia cepat mengalihkan pembicaraan. Jika terus membahas cinta masa lalu Aldi, bisa-bisa Rani akhirnya kehilangan kesabaran. Rencana meluluhkan hati Aldi dengan rasa nyaman karena lama bersama akan gagal total. Dia harus terus memasang topeng sebagai wanita kalem, anggun, dan bijaksana.
"Aku denger ada proyek sama Papa lagi, ya, Bang."
"Iya, perumahan di Komplek Asri Permai. Cuma, ya, masih stagnan karena ada beberapa poin yang belum disepakati."
Rani mengangguk-angguk, terdiam sejenak, lalu memasang wajah semringah. Dia pun menawarkan diri untuk membantu membujuk ayahnya agar kesepakatan bisa tercapai. Taktik itu diajarkan Gilang untuk memperlihatkan sisi gadis pengertian dan cerdas.
"Tidak perlu. Saya senang Rani mau membantu, tapi saya cukup percaya diri untuk bisa menyelesaikannya," tolak Aldi halus.
Meskipun tampak melonggarkan pertahanan, kewaspadaannya tetap terjaga. Aldi tahu jika menerima bantuan melebihi kesepakatan awal, maka harus memberi lebih banyak. Dia tak ingin mengambil resiko. Wajah memelas Rani yang sangat antusias membantu tak mempan untuk menggoyahkan pendiriannya.
"Tapi, Bang, proyeknya kan bisa cepat jalan kalau kesepakatannya tercapai. Papa itu enggak bisa nolak kalo aku yang minta–"
Ponsel Aldi berdering. Dia meminta izin untuk menerima panggilan. Wajahnya berubah serius. Rani tanpa sadar mendecakkan lidah. Meskipun suara Aldi tidak terlalu keras, tetapi masih bisa terdengar. Pemuda itu tengah membahas pekerjaan dengan si penelepon.
"Selalu kayak gini! Setiap kencan ada aja urusan kerjaan yang ngeganggu," gerutu Rani dalam hati.
Namun, wajahnya berubah manis saat Aldi selesai menelepon. Dia berpura-pura tengah menikmati smoothies stroberi yang tadi dipesannya. Aldi menyimpan ponsel dan menghela napas.
"Ada urusan yang sangat darurat, jadi saya minta maaf harus pergi dulu. Saya permisi, ya, Rani," pamit Aldi.
Rani mengangguk sembari tersenyum manis meskipun dengan hati terbakar amarah. Kemampuan aktingnya memang patut diacungi jempol. Sementara Aldi langsung meninggalkan kafe dengan tergesa-gesa. Rani mendengkus. Dia mengeluarkan ponsel, lalu mengirimkan pesan kepada Gilang.
"Bang, cepetan ke Kafe Senja, penting!"
Rani menghela napas. Wajah yang tadi semanis bidadari raib entah ke mana, digantikan raut sekelam langit kelabu. Tangan yang terkepal kuat dan sedikit gemetar menunjukkan amarah sudah mencapai batas, siap meledak kapan saja. Sorot matanya memancarkan dendam kesumat pada sosok gadis kecil cinta pertama Aldi. Dia menggigit bibir, hingga terasa sedikit perih. Beberapa pengunjung kafe yang tak sengaja beradu pandang seketika bergidik, lalu mengalihkan pandangan.
Garpu menancap sadis di potongan strawberry short cake. Rani memotong-motong kue kesukaannya itu tanpa ampun sambil membayangkan tengah merusak wajah cinta pertama Aldi. Setelah puas, barulah amarah perlahan mereda. Biar bagaimana pun, dia harus menjaga image. Ketika bertengkar dengan Shinta Putri di taman, Rani terbebas dari masalah karena manajernya cepat bertindak menutup mulut orang-orang yang menjadi saksi kejadian.
Tring! Tring!
Bel di pintu kafe berbunyi. Rani mengalihkan pandangan. Dia merasa sedikit lega melihat Gilang memasuki kafe. Pemuda itu mendekat, menarik kursi dan duduk di hadapannya.
Gilang menyeringai nakal. "Biar gue tebak. Si Aldi bikin lo bete lagi, 'kan? Dia sibuk mikirin kerjaan pas kencan? Ato dia malah bahas Wulan?"
Rani mendelik. Datang-datang Gilang malah menabur garam di luka hatinya, padahal dia berharap mendapatkan solusi. Bukannya menyadari kesalahan, Gilang malah tertawa lepas. Hampir saja Rani, melempar wajah tampan pemuda itu dengan kotak tisu.
"Sabar, Non, sabar. Orang sabar pantatnya lebar."
"Bang Gilang!"
"Iya, iya, maaf. Habisnya muka lo pas bete, ledek-able banget, Ran."
Rani mendengkus. Dia bangkit dari kursi. Rani merasa akan bertindak anarkis jika masih harus berhadapan dengan Gilang. Gadis itu berpikir lebih baik menenangkan diri terlebih dulu, misalnya healing dengan clubbing. Namun, Gilang mendadak memegangi pergelagan tangannya.
"Eits, duduk dulu! Jangan kepikiran buat clubbing," tegur Gilang.
Rani mengerutkan kening. Dia menatap Gilang dengan ngeri, berpikir lelaki itu mungkin saja punya kemampuan spesial seperti membaca pikiran. Gilang terkekeh.
"Gue bukannya bisa baca pikiran, cuman pikiran lo keliatan dari ekspresi wajah lo. Jadi, duduk dulu, Ran."
Rani menghela napas, lalu duduk dengan terpaksa. "Sekarang, napa lagi Abang larang buat clubbing? Rani perlu healing banget, Bang. Pikiran mumet gini emang paling enak clubbing."
"Iya, gue ngerti. Gue juga kayak gitu kalo lagi mumet. Tapi, yang lo mau luluhin, kan, si Aldi. Biar dia enggak alim, tuh anak sensi sama anak-anak clubbing," jelas Gilang.
"Terus, harus gimana dong, Bang?"
"Ya, lo mesti sabarlah. Kalo mau healing, lo liburan aja ato apa kek, yang penting bukan clubbing," cetus Gilang.
Rani menghela napas. "Iya deh, Bang. Gue ke Korea ajalah dulu, nonton konser Lovely Boyfriend," putusnya.
"Bisalah kalo liburan. Dan soal Aldi ... gue ada rencana bagus."
Rani mengerutkan kening. "Rencana apa, Bang?" tanyanya.
Gilang menyeringai. Dia mendekatkan wajah, lalu membisikkan rencananya. Wajah Rani berubah semringah. Mereka saling pandang dan kompak tersenym licik.
***