Rani berkali-kali merapikan bajunya. Setelah pertemuan menegangkan dengan adik Aldi, kini dia harus menghadapi rintangan yang lebih besar, Sulistyawati. Terlebih, Rani dan ibunya pernah diusir karena mencari masalah dengan Putri. Meskipun mereka sudah meminta maaf dan beralasan salah paham, entah kenapa Rani merasa Sulistyawati masih belum benar-benar memberi maaf.
"Ck! Jangan patah semangat dulu, Rani. Lagipula nenek tua itu enggak bisa juga ngadu ke Aldi karena enggak ada bukti," seru Rani dalam hati, mencoba menguatkan tekad.
"Ran? Rani?" Panggilan dari Aldi membuat Rani gelagapan.
Dia hampir saja mengumpat. Untunglah, mulutnya masih bisa ditahan, sehingga isi kebun binatang yang hampir disebut hanya diteriakkan dalam hati. Rani cepat-cepat tersenyum manis, juga menatap Aldi dengan sorot mata polos.
"Iya, Bang? Kenapa?"
"Kamu tidak ingin keluar dari mobil? Kita sudah sampai."
"Eh? Iya, ya. Tadi ngelamun sih he he he."
Rani menyengir lebar. Aldi sudah berada di luar mobil dengan menutup pintu dengan elegan. Rani sempat-sempatnya terpesona. Namun, dia segera mengubah raut wajah, lalu ikut keluar. Pintu mobil ditutupnya dengan anggun.
Aldi berjalan lebih dulu menuju teras. Rani kembali mengumpat dalam hati. Aksi sok anggunnya sama sekali tidak diperhatikan. Dia pun mengekori dengan raut muka masam. Saat Rani berhasil menyusul, Aldi sudah memencet bel.
"Tenang saja, Rani. Eyang tidak akan menerkammu," celetuk Aldi. Rupanya, dia menyadari wajah Rani yang sudah memucat.
"Tetap aja, Bang. Aku gugup banget. Kan, aku udah cerita pernah salah paham gitu pas aku sama Mama ke sini."
"Biarpun Eyang menentang, toh, kita hanya pura-pura, jadi tidak akan masalah. Justru bisa menjadi alasan untuk putus nanti."
Rani mengepalkan tangan. Perih merayapi hati. Jika memperturutkan perasaan, dia pasti sudah histeris merengek-rengek meminta Aldi benar-benar menjadi pacarnya.
Untunglah, pintu segera dibuka dari dalam sehingga Rani tak perlu mendengar kata-kata menyakitkan lainnya. Rani agak kaget saat melihat wajah ramah Shinta yang menyambut mereka. Biasanya, jika dia dan ibunya berkunjung Inem yang akan membukakan pintu.
"Ayo, ayo, masuk, Bang, Kak Rani!" ajak Shinta antusias.
Rani diam-diam menghela napas lega. Beberapa hari lalu, dia memang sudah mengirimkan hadiah untuk Shinta. Semacam sogokan agar calon adik ipar berubah pikiran, tidak lagi membencinya. Sepertinya, tas mahal merek ternama itu menjalankan tugas dengan baik.
Mereka pun memasuki rumah. Aldi berjalan lebih dulu. Shinta mengekori sambil memeluk lengan Rani. Sulistyawati telah menunggu di ruang tamu, duduk dengan anggun di sofa. Kebaya berbahan sutra dan jarik khas melekat pas di tubuhnya yang masih ideal meski sudah termakan usia. Rambut hitam sedikit beruban disanggul rapi dan dihias tusuk konde emas, menambah kesan berwibawa. Rani mendadak merasa bagaikan dayang di depan seorang permaisuri.
"Eyang, sesuai janjiku, ini pacarku Rani," ucap Aldi memecahkan keheningan.
Sorot mata Sulistyawati yang tajam membuat Rani merasa tercekik. Dengan terbata dia memperkenalkan diri.
"Selamat sore, Eyang. Saya Rani, anaknya Pak Broto dan Ibu Mitha. Sebenarnya, Eyang sudah kenal saya juga."
"Ya, ya. Duduklah!" titah Sulistyawati.
Rani menelan ludah. Dia susah payah menyiapkan hati. Namun, belum benar-benar siap, Shinta sudah menariknya dengan antusias menuju sofa. Adik perempuan Aldi itu mengajaknya duduk berhadapan dengan Sulistyawati,. membuat Rani semakin ketar-ketir.
"Ayo, Kak, duduk!" seru Shinta riang.
"Iya, Dek," sahut Rani seraya duduk di sofa.
Bruuut!
Wajah Rani seketika memerah. Dia refleks berdiri. Jika bisa, dia ingin bersembunyi di lapisan ketujuh bumi. Bagaimana tidak? Suara aneh tiba-tiba terdengar dari sofa yang didudukinya.
"Saya tau kentut yang ditahan bisa menjadi masalah kesehatan, tapi paling tidak kamu harusnya sebisa mungkin menjauh untuk sementara," tegur Sulistyawati.
Wajah Rani semakin merah. Dia sama sekali tidak kentut, bahkan tidak ada bau yang tercium. Namun, karena asal suara memang dari arahnya, Sulistyawati mengira Ranilah pelakunya.
"Tapi, saya tidak kentut, Eyang."
"Lalu, tadi bunyi apa?"
"Saya juga tidak tau."
Sulistyawati mengibaskan tangan. "Ck! Sudahlah, tidak perlu berkilah, duduklah lagi. Ada beberapa hal yang perlu dibicarakan."
Rani menurut. Dia merapikan roknya sebentar barulah duduk kembali. Untunglah, tidak ada lagi bunyi aneh yang terdengar.
Baru saja merasa lega, Rani tak sengaja melihat Shinta sedang menahan tawa. Amarah terasa meluap-luap dalam hatinya begitu menyadari sesuatu di saku jaket Shinta, mainan yang menimbulkan bunyi seperti kentut. Dulu, Rani dan gengnya pernah menjaili gadis culun di kampus dengan meletakkan mainan sejenis di kursi gadis itu.
Sekarang, Rani bisa mengerti alasan sikap Shinta mendadak ramah. Rupanya, gadis itu sengaja menggiringnya agar duduk di bagian sofa yang telah diberi mainan. Dalam hati, dia bersumpah akan mengirim Shinta kembali ke luar negeri jika berhasil mendapatkan Aldi.
Sulistyawati berdeham sebelum mulai bicara. Rani menyimak dengan tegang. Shinta tampak berpura-pura polos. Sementara Aldi seperti biasa bersikap tak acuh.
"Apakah kamu sudah diberitahu Joko kalau sebenarnya aku menginginkan Wulan yang menjadi cucu menantu?"
Jleb! Hati Rani serasa ditusuk dengan pisau tumpul, perih sekali.
"Sudah, Eyang. Tapi, rasa sayang saya kepada Aldi, saya harap juga bisa mengetuk hati Eyang."
Sulistyawati tersenyum sinis. "Aku mengalah karena tak ingin memaksakan kehendak, tapi tentu saja kamu harus membuktikan bahwa kamu bisa lebih baik daripada Wulan."
Rani mengepalkan tangannya. "Saya janji akan berusaha semaksimal mungkin, Eyang."
"Aku tidak perlu janji. Tinggal buktikan saja. Oh iya, aku sangat benci orang yang angkuh dan terlalu mendewakan status sosial."
Rani menelan ludah. Sulistyawati jelas-jelas tengah menyindirnya. Belum apa-apa, dia sudah berhadapan dengan tembok tinggi dan kokoh. Namun, Rani tidak akan menyerah.
"Saya akan mengingatnya, Eyang," ucapnya santun meskipun dengan hati penuh badai.
Sulistyawati meraih tongkatnya dan tiba-tiba berdiri. "Pembicaraan sudah selesai, aku ingin beristirahat. Kalian boleh pulang." Dia menoleh kepada Shinta. "Shinta, ikut Eyang ke kamar. Kaki Eyang terasa pegal."
"Siap, Eyang!"
Shinta berdiri dan menghampiri Sulistyawati. Dia membantu sang nenek menuju kamar. Rani dan Aldi sempat terjebak hening untuk beberapa saat.
Aldi menghela napas. "Maaf, Eyang memang sangat menyayangi Wulan."
"Enggak apa-apa, Bang," sahut Rani sok tegar, padahal dalam hatinya hendak menjambak sosok bernama Wulan itu.
Aldi berdiri dan mengeluarkan kunci mobil dari saku celana. "Nah, ayo kuantar pulang."
Rani mengangguk dan berterima kasih meskipun merasa dongkol. Dia sempat berharap diajak jalan-jalan sebelum pulang. Belum reda amarah Rani, Aldi langsung melangkah ke arah pintu. Pemuda itu selalu saja berjalan lebih dulu, membuat Rani semakin kesal saja.
"Lihat saja nanti! Akan kubuat Abang jadi bucin Rani!" tekadnya dalam hati.
***
"Makasih, Eyang, sudah dianterin," ucap Putri begitu mobil Sulistyawati berhenti di depan panti.
Mereka memang baru saja pulang dari jalan-jalan. Oleh karena sudah cukup larut, Sulistyawati memaksa untuk mengantarkan hingga ke panti. Sebelum turun dari mobil, Putri mencium punggung tangan wanita tua itu dengan takzim.
"Hati-hati di jalan, Eyang," pesannya.
Sulistyawati mengangguk sembari tersenyum lembut. Dia melambaikan tangan seiring dengan mobil yang mulai melaju meninggalkan panti. Putri pun bergegas masuk dengan menenteng banyak barang.
Tadi, mereka tidak hanya jalan-jalan, tetapi juga berbelanja. Sulistyawati membelikan banyak barang untuk hadiah anak-anak panti.
"Jam segini, adek-adek pasti sudah tidur, besok sajalah dikasihnya," gumam Putri.
Dia melangkah cepat menuju kamar. Rasa lelah dan bau keringat membuatnya ingin segera mandi, lalu tidur. Namun, langkahnya terhenti saat melihat Asih tengah memijat-mijat kening di dapur. Sang ibu panti tampak mencoret-coret kertas di meja. Setelah meletakkan barang bawaan di ruang tamu, Putri pun mengendap-endap, lalu bersembunyi di sebelah lemari untuk menguping.
"Waduh! Hutang sama Bu Ros hampir jatuh tempo. Seminggu lagi SPP anak-anak juga mesti dibayar. Dari mana aku bisa dapatkan uang sebanyak ini?" gumam Asih sambil menggaruk-garuk kepala.
Putri merasakan nyeri di hatinya. Sosok malaikat yang selama ini telah membesarkan dengan kasih sayang tengah kesulitan. Mana mungkin dia tak tergerak. Meskipun tak sedarah, seseorang yang mampu membuatmu merasa nyaman dan hangat juga bisa disebut keluarga.
Masalah hutang yang menganggu pikiran Asih memang cukup pelik. Dulu, kakak lelaki Asih mencuri sertifikat toko dan menjaminkannya untuk berhutang dengan rentenir. Akhirnya, Asih harus bekerja sangat keras untuk melunasi hutang, tetapi bunganya terus membengkak dan tokonya harus berpindah tangan.
Putri mengepalkan tangan. Dia tak akan membiarkan rentenir merenggut paksa mata pencaharian ibu asuhnya. Putri berhenti menguping, lalu ke luar panti. Dia membuka aplikasi banking untuk memeriksa tabungan. Nominal yang tertera tidak cukup untuk melunasi hutang. Putri menghela napas berat.
"Apa aku harus bertingkah tidak tahu malu meminta bantuan Eyang Sulis?" gumamnya resah.
***