Putri memijat kening yang berdenyut, masih terasa panas. Badannya juga sakit semua seperti habis dipukuli saja. Setelah tak sadarkan diri sepulang dari kediaman Dirja, dia sempat demam tinggi. Asih dan Tyas bergantian menjaganya semalaman. Mereka hampir saja membawa Putri ke rumah sakit jika suhu tubuhnya tidak juga turun.
Putri mencoba duduk. Meskipun sedikit kesulitan, dia berhasil juga. Putri mengalihkan pandangan ke arah jam dinding, sudah pukul delapan pagi. Berarti, ulang tahun Shinta tinggal 2 jam lagi. Putri pun mencondongkan badannya untuk meraih ponsel di nakas, agak susah dan hampir saja terjatuh. Untunglah, sempat ditangkap.
"Semoga Shinta tidak terlalu kecewa," gumamnya seraya mencari nomor kontak Shinta.
Saat menjelajah buku kontak, ponselnya malah berdering. Putri refleks menerima panggilan tanpa melihat nama si penelepon. Namun, tubuhnya seketika membeku saat mendengar suara khas itu.
"Wulan ...."
Ya, Eyang Sulistyawati. Tangan Putri gemetar. Rasa sakit akibat diusir bercampur aduk dengan kerinduan. Terlebih, suara Sulistyawati terdengar bersahaja dan hangat seperti biasa, sangat berbeda dengan saat pengusiran. Akhirnya, Putri hanya bisa menahan tangis dan tak mampu berkata-kata.
"Wulan ... maaf kemarin Eyang harus bersikap jahat seperti itu."
Putri tersentak. Sakit yang bercokol dalam hati mendadak reda. Begitu mudahnya dia luluh hanya dengan satu kata maaf, padahal selama ini Putri dikenal berhati dingin. Sebesar itulah rasa sayangnya untuk Sulistyawati.
"Eyang harus mengamankan kamu dari anak dan istrinya Broto. Kalo Eyag tidak keliatan benci kamu mereka pasti akan melakukan kejahatan-kejahatan yang lebih besar," jelas Sulistyawati panjang lebar.
Putri seketika memahami maksud Sulistyawati. Dia juga merutuki kebodohannya yang tak bisa menangkap rencana wanita tua itu. Ada rasa bersalah karena sempat kecewa kepada beliau.
"Oh iya, soal pekerjaan kamu tenang saja. Tadi ada Eyang kirim nomor sama alamat. Itu teman Eyang, punya toko kue. Orangnya baik dan penyayang. Kamu juga bisa kerja di sana dengan aman. Paramitha dan Rani itu terlalu sombong, jadi tidak akan mau masuk ke toko yang kecil."
Tangis Putri pecah. Rasa haru menyelimuti Sebenarnya, Sulistyawati tidak perlu melakukan sejauh itu. Namun, beliau tetap mencarikan pekerjaan yang aman dan nyaman.
"Wulan? Wulan?"
Isakan Putri malah semakin menjadi. Rasa rindu menggebu. Dia tiba-tiba sangat ingin dipeluk Sulistyawati.
"Wulan kamu baik-baik saja? Wulan kamu nangis? Suara kamu kenapa sengau? Kamu sakit? Eyang ke sana!" cecar Sulistyawati.
"Jangan Eyang!" seru Putri refleks. "Bukannya tadi Eyang bilang bahaya kalo mereka tau Eyang sayang sama Wulan?"
Luapan emosi Putri seketika terkendali. Logikanya sudah kembali berjalan dengan normal. Dia tersenyum meskipun tahu Sulistyawati tidak akan melihat senyum itu.
"Aku cuma kena flu aja, Eyang. Kemarin kehujanan. Sudah minum obat kok," jelas Putri mencoba menenangkan.
Terdengar embusan napas lega dari seberapa sana.
"Ya sudah, pokoknya kalo ada apa-apa kami langsung hubungi, Eyang."
"Iya, Eyang."
"Tapi, kenapa tadi kamu tiba-tiba nangis?"
"Aku lega karena ternyata Eyang enggak benar-benar benci."
"Maafkan Eyang sudah begitu kemarin, ya." Suara Sulistyawati terdengar sendu.
Putri cepat menenangkan. "Aku ngerti, Eyang. Kemarin itu mungkin karena lagi enggak fokus, jadi pas Eyang akting marah, aku malah enggak sadar."
Putri terkekeh.
"Tapi, jadinya malah bagus. Mereka pasti yakin banget Eyang bener-bener marah."
Putri terdiam cukup lama, lalu bergumam lembut, "Terima kasih untuk semua kebaikan Eyang. Aku enggak bakal bisa balas."
Putri menggigit bibirnya saat mengingat rencana balas dendam kepada perusahaan Dirja.
"Aku malah mau hancurian perusahaan–"
"Sudah, sudah, Kalau Mas Dirja memang salah, Eyang rela kamu balas dendam. Tak apa jika harus jatuh, biar tobat. Usaha pribadi Eyang juga cukup untuk kami bertahan hidup."
Putri merasakan dadanya kembali sesak. Dia susah payah menahan air mata yang hendak meluncur di pipi.
"Terima kasih, Eyang. Terima kasih untuk semuanya."
"Iya terima kasih juga untuk lahir ke dunia ini, Wulan. Nah, sekarang kamu istirahat dulu. Nanti, flunya tambah parah."
"Iya, Eyang."
Panggilan pun berakhir. Hati Putri menjadi ringan. Demamnya turun seketika. Tekanan batin memang bisa memperparah penyakit. Meskipun begitu, tubuhnya masih lemas, sehingga tetap tidak mungkin datang ke ulang tahun Shinta. Dia segera mencari nomor kontak Shinta dan menghubungi sang murid kesayangan.
"Kak Putri sakit? Suara Kakak kayak lagi flu?" cecar Shinta begitu Putri selesai mengucap salam saat panggilan tersambung.
Putri terkekeh. "Iya, Shin. Kakak kena flu kemarin kehujanan. Ini makanya nelepon kamu mau bilang enggak bisa datang ke pestamu," jelas Putri.
"Kakak sakitnya parah? Aku mau ke situ! Kita ke rumah sakit!" seru Shinta. Suaranya terdengar panik.
Putri menggeleng pelan. Meskipun suka bermanja-manja dengannya, Shinta terkadang rempongnya melebihi emak-emak. Hal itu mengingatkan Putri kepada Joko di masa lalu. Joko juga sangat cerewet jika sedang khawatir padanya.
"Kak? Kak Putri? Aku ke situ, ya!"
"Iya, nanti kalo ulang tahun kamu udah kelar."
"Tapi, Kak–"
"Kalo kamu ke sini, nanti ulang tahunnya gimana dong? Kakak cuman flu biasa, Shin. Besok juga palingan udah baikan."
"Pokoknya, Kakak istiraha! Jangan lupa makan sama minum obat!"
"Iya, iya."
"Shinta tutup dulu, ya, Kak."
"Iya."
Setelah saling mengucapkan salam, mereka mengakhiri panggilan. Putri menghela napas lega. Dia sempat menatap hadiah yang terbungkus rapi di meja sebelum tertidur. Rupanya, hati yang lebih tenang menyebabkan rasa kantuk.
***
Pesta ulang tahun Shinta berlangsung meriah, digelar di salah satu hotel bintang lima milik PT. Karya Abadi. Tamu yang hadir kebanyakan dari relasi keluarga. Shinta telah lama tinggal di Singapura, sehingga tak banyak temannya di Indonesia.
Namun, sang bintang utama malah berwajah muram. Sejak awal acara, Shinta terlihat gelisah, seperti ingin kabur dari sana. Aldi tak menyadarinya karena sibuk berbincang dengan relasi bisnis. Rama yang menyadari sikap aneh Shinta mendekat.
"Dek, kok mukanya murung gitu?" tegur Rama. "Apa karena Kak Putri tidak datang?" tebaknya.
"Itulah, Bang. Kak Putri sakit, aku cemas, pengen ke sana," keluh Shinta.
Rama menepuk bahu Shinta memberikan ketenangan. Senyuman lembutnya sedikit meredaka keresahan hati Shinta.
"Abang yakin Kak Putri tidak ingin kamu sedih begini di hari bahagia. Apa mau Abang laporin sama Kak Putri kalau kamu–"
"Eh, jangan dong, Bang!" sergah Shinta.
Rama menyengir lebar. Shinta mencubit lengan pemuda itu dengan gemas. Wajahnya menjadi lebih cerah, membuat Rama lega.
Daripada terus bersedih, Shinta pun memutuskan untuk berkeliling. Dia menyapa kerabat dan gadis-gadis anak relasi bisnis. Namun, firasat buruk menyapa saat melihat Rani tampak terduduk lemas di salah satu kursi. Shinta menghampiri pacar sang kakak dengan penuh kewaspadaan meskipun senyuman manis terukir di bibir.
"Kak Rani, baik-baik saja?" tanyanya begitu tiba di hadapan Rani.
"Enggak apa-apa, kok, Dek. Cuma kurang minum jadi lemas. Umm ... bisa tolong ambilin minum?" pinta Rani.
Shinta mengangguk walaupun mulai curiga. Dia merasa Rani menyimpan maksud lain. Jika memang haus, kenapa Rani tidak meminta tolong pelayan yang sedari tadi berlalu-lalang.
Meskipun malas, Shinta menuju meja pantry. Dia mengisi gelas dengan air mineral yang tersedia. Setelah mencomot beberapa kue, barulah Shinta kembali ke tempat Rani duduk.
"Ini, Kak," ucapnya seraya menyodorkan gelas.
"Terima kasih, Dek," sahut Rani.
"Shinta!"
Shinta berbalik. Ternyata, Gilang yang memanggilnya. Pemuda itu mengajak bicara untuk mengalihkan perhatian Shinta. Sementara itu, Rani meminum minumannya hingga seperempat bagian, lalu memasukkan serbuk putih ke dalam gelas.
Begitulah rencana yang dirancang mereka untuk menjebak Shinta. Serbuk putih itu adalah obat pencahar. Rani akan berpura-pura sakit perut, sehingga Shinta akan tertuduh sebagai pelakunya. Obat yang tersisa di minuman bisa menjadi barang bukti.
Gilang memberi isyarat untuk memulai drama. Rani mengangguk kecil.
"Aduh!" jerit Rani sambil memegangi perut.
Para tamu seketika mengalihkan pandangan. Manajer Rani dengan sigap menopang tubuh sang artis yang hampir ambruk ke lantai. Aldi mendengar kehebohan langsung menghampiri. Shinta yang tadi berbicara dengan Gilang menelan ludah, merasa ada hal tak beres. Sementara Gilang sendiri langsung beraksi dengan mengambil gelas berisi setengah yang ada di meja.
"Sepertinya, minuman ini yang bermasalah," celetuk Gilang.
"Bermasalah?"
"Iya, Al. Baunya sedikit aneh. Ada serbuk putih yang belum larut sempurna di dasar gelas," jelas Gilang.
"Shinta, tadi kamu ambilin Kakak minuman dari mana?" gumam Rani dengan suara yang terdengar sangat lemas.
"Dari meja pantry kok," sahut Shinta berpura-pura polos. Meskipun dia mengumpat dalam hati karena merasa sudah masuk dalam jebakan Rani dan Gilang.
Aldi pun menatap sang adik tajam. Dia meminta salah seorang tamu yang berprofesi sebagai dokter untuk menangani kondisi Rani. Aldi sendiri menyeret Shinta keluar dari aula.
"Kali ini, kamu sudah benar-benar keterlaluan, Shinta!" bentak Aldi sembari memijat-mijat keningnya.
"Jadi, Abang nuduh aku masukin sesuatu ke minuman Kak Rani?"
"Kalo mengingat perbuatan-perbuatan kamu sebelumnya–"
"Berarti, Abang mengira aku sejahat itu? Bang, aku tidak mungkin bermain-main dengan nyawa orang sebenci apa pun itu. Sebaiknya, Abang selidiki baik-baik rubah seperti apa yang Abang pacarin."
"Shinta, Abang sudah bilang kalo kamu menjadi nakal begini–"
"Abang mau balikin aku ke Singapura?" Shinta tertawa hambar. "Abang yakin Kak Rani benar-benar baik? Shinta mau denger pendapat Abang setelah nonton video-video yang kukirimkan ke hape Abang."
Aldi mengerutkan kening. Namun, dia tetap mengeluarkan ponsel dan memeriksa pesan masuk dari Shinta, memang ada beberapa video masuk. Meskipun sempat ragu, pemuda itu akhirnya memutar video pertama.
***