Chereads / Bidadari Matre / Chapter 33 - Bagian 35

Chapter 33 - Bagian 35

Suasana di koridor sebuah perusahaan terasa mencekam. Ekspresi serius penuh ketegangan dan persaingan menghiasi wajah orang-orang yang duduk di kursi tunggu, terkecuali Putri. Meskipun lowongan hanya menerima 2 pelamar dari 20 orang yang datang, dia merasa tenang. Rekomendasi dari Sulistyawati sudah dikantongi.

Sebenarnya, Putri memiliki prestasi membanggakan semasa sekolah sampai kuliah. Berbagai soft skill dan pengalaman kerja juga dikantonginya. Namun, dia tahu pada zaman sekarang koneksi dengan orang dalam lebih diperlukan.

Pintu salah satu ruangan terbuka. Seorang gadis berambut sebahu keluar. Suasana di koridor semakin menegang.

"Kepada Bapak Rio silakan masuk!" panggil gadis itu.

Pemuda berambut klimis dan kacamata kekinian berdiri sembari menenteng map berwarna biru. Dia tampak mengatur napas sebelum melangkah maju dengan wajah tegang. Si gadis memasuki ruangan lebih dulu, barulah si pemuda mengekor. Pintu ruangan tertutup perlahan.

Waktu yang berlalu terasa lambat. Beberapa dari pelamar sudah mandi keringat dan berwajah pucat. Terlebih, jika orang yang baru saja keluar dari ruangan HRD memasang raut muka muram.

Kini, tinggal tersisa 7 orang. Berarti, giliran Putri tinggal melewati 1 pelamar lagi. Namun, ponselnya tiba-tiba berdering. Putri cepat menerima panggil begitu melihat nomor kontak Ibu di layar.

Belum sempat Putri bicara, tangisan sudah terdengar. Dia sangat mengenal isakan khas itu, Tyas. Rasa cemas seketika menggayuti hatinya.

"Tyas? Hape Ibu kok ada di kamu? Ada apa, Tyas? Kamu nangis? Kamu di mana?" cecar Putri hampir tanpa jeda.

Tangis Tyas semakin kencang.

"Huaaa Ibu, Kak, Ibu huaaa."

"Ibu kenapa, Tyas!"

Suara Putri meninggi. Enam orang pelamar kerja lain kompak menatapnya tajam. Mungkin dia dianggap menganggu konsentrasi mereka yang tengah mempelajari kiat-kiat sukses wawancara. Putri membungkukkan badan sebagai bentuk permintaan maaf, lalu menuju toilet.

"Tyas, ada apa dengan Ibu?" tanyanya lagi begitu sudah berada di toilet.

Tyas masih terisak. Putri benar-benar kehilangan kesabaran. Dia terus mencecar Tyas, tetapi tidak membuahkan hasil. Tiba-tiba ada bunyi gemerisik.

Tak lama kemudian, suara Paijo terdengar. "Bu Asih masuk rumah sakit, Put. Bu Asih kena tabrak lari."

Tubuh Putri mendadak lemas. Dia hampir saja jatuh seandainya tidak sempat berpegangan di wastafel. Bayangan-bayangan buruk berkelindan, menghantam tiada ampun. Air mata tanpa permisi membasahi pipi. Namun, Putri cepat menguatkan hati. Cukup sekali dia kehilangan seorang ibu, tidak perlu terulang lagi.

"Put? Putri? Kamu baik-baik saja?" Suara Paijo terdengar panik.

"Iya, Mas. Aku baik-baik aja. Aku segera ke sana. Rumah sakit mana, Mas?"

Setelah Paijo menyebutkan nama salah satu rumah sakit, Putri langsung mengakhiri panggilan. Dia cepat menyeka air mata, lalu keluar toilet. Sembari memesan ojek online, gadis itu melangkah cepat di koridor menuju pintu keluar perusahaan, tak peduli tatapan aneh para pelamar kerja lain.

Beruntung, begitu sampai di halaman perusahaan, ojek online yang dipesan kebetulan tiba. Putri segera naik di jok belakang dan meminta agar mengebut. Abang ojek pun melaju dengan kecepatan tinggi. Mereka juga melewati jalan-jalan tikus untuk menghindari kemacetan.

Putri berhasil tiba di rumah sakit dalam waktu setengah jam. Setelah membayar ongkos, dia segera menghubungi nomor Paijo untuk mencari tahu di ruangan mana Asih dirawat. Putri sengaja tidak menelepon Tyas karena jika melakukannya hanya akan terdengar tangisan.

"Bagaimana kondisi Ibu, Mas?" cecar Putri saat bertemu Paijo di depan ruang ICU.

"Tenang dulu, Put. Setahuku, kamu orangnya tenang dan selalu berpikir jernih."

"Bagaimana aku bisa tenang, Mas. Ibu ... cukup sekali aku kehilangan ibu ...."

Paijo menepuk pundak Putri mencoba menenangkan. Dia juga memaksa gadis itu duduk di salah satu bangku. Lama keduanya terjebak hening.

"Maaf aku sudah bersikap seperti tadi, Mas," gumam Putri setelah perasaannya lebih tenang. "Jadi, apa yang terjadi? Bagaimana kondisi Ibu?"

"Seperti yang tadi kukatakan di telepon, Bu Asih jadi korban tabrak lari. Kebetulan, pas aku lewat dan langsung menelpon ambulans." Paijo menghela napas. "Tapi, kondisi beliau kritis."

"Tyas tadi ke mana, Mas?"

"Tyas pingsan, Put. Tadi, ibu sama adikku sudah antar ke rumah. Kasian kalo di sini, bisa histeris lagi liat kondisi Bu Asih."

"Makasih, ya, Mas. Mas Paijo sudah bantu kami."

"Namanya tetangga ya harus saling bantu, Put. Apalagi orang berhati mulia kayak Bu Asih."

"Aku masuk dulu, Mas."

Paijo mengangguk. Putri bangkit dari kursi bermaksud masuk ke ruang ICU. Namun, seorang gadis berseragam perawat menghampiri mereka.

"Keluarga Pasien Kinasih?" Mungkin gadis perawat mengenali Paijo yang telah mengurus administrasi sebelumnya.

"Saya anaknya, Sus," sahut Putri cepat.

"Silakan ikuti saya ke ruangan dokter. Ada beberapa hal penting yang harus disampaikan."

"Baik, Sus."

Perawat berjalan lebih dulu. Putri mengikuti dengan hati resah. Detik-detik yang berjalan hingga mereka tiba di depan ruangan dokter terasa seperti bom waktu. Putri merasakan firasat buruk yang sangat kuat. Namun, dia tahu tak ada gunanya terjebak kegalauan. Masalah seberat apapun akan lebih baik jika dihadapi dengan tegar.

Putri memasuki ruangan dokter setelah mengatur napas. Dokter paruh baya di belakang meja tampak memasang raut wajah serius. Beliau mempersilahkan duduk. Setelah Putri duduk, sang dokter pun mulai menjelaskan kondisi Asih. Terjadi cedera yang cukup parah, sehingga Asih harus segera dioperasi.

"Jadi, begitu, Mbak Putri. Ibu Anda harus menjalani dua kali operasi. Untuk operasi pertama paling lambat dilakukan besok pagi," tutur dokter mengakhiri penjelasannya.

"Setelah dioperasi, apa ibu saya sudah pasti bisa sembuh, Dok?"

"Kepastian kesembuhan dan keselamatan pasien adalah kuasa Tuhan, Mbak. Tapi, kami akan mengupayakan yang terbaik dan melakukan tindakan medis semaksimal mungkin."

"Berapa tingkat keberhasilan operasinya, Dok?"

"Operasi pertama sekitar lima puluh persen. Jika berhasil, untuk operasi berikutnya persentase bisa lebih tinggi. Jika memutuskan untuk menyetujui operasi, Anda bisa menandatangani surat persetujuan ini."

Dokter menunjukkan selembar kertas. Beliau juga menjelaskan berapa biaya yang diperlukan dan hal-hal penting lain. Putri terdiam cukup lama. Tingkat keberhasilan operasi tidak terlalu tinggi, seperti tengah bertaruh. Namun, pada akhirnya dia memutuskan menandatangani surat persetujuan. Bertaruh jauh lebih baik daripada diam saja tak berdaya, begitu pikirnya.

Putri keluar dari ruangan dokter dengan langkah gontai, lalu menghela napas berat. Biaya operasi tentu tidak sedikit, juga tidak dicover BPJS karena merupakan dampak kecelakaan. Operasi pertama masih ditutupi dengan tabungannya, tetapi bagaimana untuk operasi berikutnya.

Sebenarnya, dia bisa saja menghubungi Sulistyawati. Namun, Putri merasa terlalu malu untuk melakukannya. Setelah semua yang terjadi, tak mungkin dia terus merepotkan wanita tua bersahaja itu lagi. Keselamatannya juga bisa terancam kalau sampai ketahuan Paramitha dan Rani.

"Paling tidak aku bayar uang jaminan untuk operasi pertama dulu," gumam Putri sembari menuju ATM di halaman rumah sakit.

Begitu tiba di bilik ATM, dia langsung mengeluarkan kartu ATM dari dompet. Saat itulah selembar kertas jatuh. Putri membungkuk untuk mengambilnya, hanya kartu nama. Namun, dia seketika tersenyum cerah saat mengingat si pemilik kartu nama.

***