Chereads / Bidadari Matre / Chapter 29 - Bagian 31

Chapter 29 - Bagian 31

Kafe Jingga tak terlalu ramai malam itu. Hanya ada tiga meja yang terisi, salah satunya ditempati oleh Aldi, Shinta, dan Rani. Awalnya, suasana terasa canggung. Ketiganya hanya diam sembari menikmati minuman dan camilan di meja.

Shinta terlihat gelisah. Dia terus mengaduk-aduk jus stroberi. Aldi melirik curiga, khawatir adiknya akan berbuat usil lagi. Sementara Rani tampak waspada.

"Kak Rani ...," gumam Shinta tiba-tiba.

Kebekuan di antara mereka sedikit mencair. Nada suara Shinta yang terdengar memelas membuat Aldi merasa agak tenang. Rani juga melonggarkan kewaspadaan, tetapi masih mengantisipasi kemungkinan serangan dadakan. Dia tentu tidak lupa bagaimana Shinta tiba-tiba bersikap manis, lalu dengan jahat mempermalukannya di depan Sulistyawati dengan mainan seperti suara kentut.

Wajah Shinta semakin memelas. Dia tampak menelan ludah beberapa kali sebelum berbicara, "Aku minta ketemu Kakak karena ...."

Shinta mendadak terdiam. Dia menyeruput jus stroberi sembari melirik ke arah Rani, tampak membaca ekspresi lawan bicara. Rani menjadi kembali waspada, tetapi berusaha memasang raut wajah ramah dan kalem.

"Sebenarnya, aku mau minta maaf, Kak. Apa yang aku lakuin kemarin-kemarin itu emang kekanak-kanakan banget," gumam Shinta lirih.

Aldi menghela napas lega. Dia sempat merasa bersalah karena bersikap agak keras kepada Shinta. Biasanya, sang adik akan mengambek sampai seminggu. Namun, kali ini berbeda, besok paginya Shinta meminta untuk bertemu Rani agar bisa menyampaikan maaf.

Awalnya, Aldi sedikit curiga kalau-kalau Shinta akan berbuat ulah lagi. Namun, kecemasannya tak terbukti. Shinta tampak benar-benar tulus meminta maaf.

"Saya juga minta maaf, ya, Rani. Saya gagal mendidik adik saya," timpal Aldi.

Rani berpura-pura tersenyum meskipun ingin sekali memaki. Dia menggenggam tangan Shinta dengan lembut. Sorot matanya diatur sedemikian rupa agar terlihat hangat dan penuh kasih sayang seperti ibu peri.

"Hal yang sudah berlalu biarlah berlalu. Yang paling penting kamu sudah menyadari kesalahan dan mau meminta maaf. Hal itu butuh keberanian besar lho."

Shinta membalas genggaman tangan Rani. Dia juga menatap penuh haru, meskipun hanya akting. Putri mengajarkannya agar menggunakan cara halus jika ingin menjebak seseorang yang picik.

"Terima kasih, Kak. Aku tuh sebenernya cuma cemburu."

Rani mengerutkan kening. "Cemburu?"

"Iya, Kak. Biasalah adik perempuan itu rasanya bakal kayak kehilangan gitu pas kakaknya punya pacar. Kayak enggak mau perhatian terbagi," jelas Shinta dengan gaya sok malu-malu.

Rani terkekeh. "Ya, ya, sekarang Kakak ngerti. Kakak juga pernah gitu sih."

Rani pun menceritakan kalau dia pernah mengambek selama seminggu ketika kakak laki-lakinya memiliki pacar. Shinta ikut tertawa saat dirasa ada bagian yang lucu. Sementara Aldi memilih untuk diam saja, lalu sibuk sendiri dengan pekerjaannya.

"Jadi, gitu deh, Dek. Abangku bingung sendiri dan akhirnya nyogok pake tiket konser nonton ke Korea."

"Menang banyak ih, Kak Rani."

"Kadang, ya, kita harus ngambil kesempatan dalam kesempitan he he he."

Shinta terkekeh. "Kalo gitu harusnya, aku masih ngambek dong, ya, biar Bang Aldi nyogok pake apa gitu."

Aldi mendelik. "Kamu mau dikirim lagi ke Singapura?" ancamnya.

"Jahat ih, Abang. Orang cuma becanda juga," keluh Shinta. Dia tiba-tiba pindah tempat duduk dan memeluk lengan Rani. "Liat tuh, Kak. Bang Aldi jahat beudh, mending Kakak cari cogan yang lebih baik akhlaknya."

Aldi menjadi gemas dan refleks mencubit pipi Shinta. "Jangan usil lagi!"

Shinta mengerucutkan bibirnya. "Iya, iya."

Aldi menggeleng pelan, lalu kembali melanjutkan memeriksa pesan masuk. Shinta juga kembali ke kursinya dan menyantap lahap kue stoberi. Kakak beradik itu tak menyadari seringaian tipis di bibir Rani.

"Nanti datang, ya, Kak."

Rani tergagap. "Eh iya, iya, apa?"

Shinta "Ih, Kak Rani ngelamun, ya. Jangan sering ngelamun, Kak, bahaya."

"Iya, tadi kamu mau ngomong apa, Dek?"

"Ulang tahun aku, Kak. Nanti datang, ya." Shinta mengedipkan mata. "Bawa hadiah yang banyak, ya."

"Shinta ...," tegur Aldi.

Shinta tergelak. "Aku cuma becanda, Kak. Pokoknya, Kakak datang aja aku udah senang."

"Kakak pasti datang, Dek," sahut Rani.

Mereka pun lanjut mengobrol. Dua gadis itu asyik membicarakan drama Korea terbaru. Aldi menghela napas lega, lalu kembali memeriksa dokumen yang masuk ke email.

***

Tiana sedikit risih dengan tatapan Gilang. Namun, dia berusaha bertahan hanya demi Rani. Mereka memang diundang Rani ke apartemennya. Jadilah, Tiana harus berdiri sangat dekat di samping Gilang sementara menunggu Rani membukakan pintu.

"Aduh, si Rani lama banget, sih! Bisa-bisa gue disambar nih buaya lagi ah!" keluh Tiana dalam hati.

Baru saja dipikirkannya, Gilang sudah memajang senyuman tebar pesona. Bukannya terjerat, Tiana malah merasa mual. Dia memang memiliki trauma terhadap para, playboy sehingga akan mengalami gangguan kecemasan setiap berdekatan dengan pria sejenis itu.

Untunglah, sebelum Gilang bersuara, pintu sudah dibuka. Rani menyambut mereka dengan penampilan yang lumayan aduhai. Gaun rumahan seksi melekat ketat di tubuh semampainya, begitu menggoda karena ditambah rambut setengah basah. Gilang sampai menelan ludah, tetapi dia cepat menenangkan diri.

Rani bukan tipikal yang bisa dijadikan mainan. Sementara Gilang tak suka terikat dalam suatu hubungan. Habis pakai, buang adalah moto pacarannya. Rani memiliki uang dan kekuasaan. Melukainya bisa menjadi ancaman besar.

"Maaf lama. Tadi di kamar mandi," ucap Rani seraya mengajak Gilang dan Tiana masuk, juga mempersilakan duduk.

"Jadi, ada masalah lagi soal hubungan kontrak lo sama Aldi, Ran?" tanya Gilang setelah mereka duduk dengan nyaman.

Rani menghela napas. Gilang mencomot kue di toples, tampak sudah siap mendengar cerita sambil mengemil. Sementara Tiana menunggu dengan wajah cemas. Dia memang tidak terlalu setuju dengan rencana Rani dan Gilang, tetapi tak berani mengungkapkan pendapat. Menurutnya, cinta tak seharusnya dipaksakan. Jika sudah tahu bertepuk sebelah tangan, sebaiknya segeralah mengikhlaskan.

"Bang Aldi emang kadang bikin gedek kalo sibuk kerja pas kencan atau malah keceplosan ngomongin cinta pertamanya itu, tapi ada yang lebih nyebelin tau."

"Shinta?" tebak Gilang.

"Apa Abang sekarang jadi peramal?"

Gilang tergelak. "Jangankan elo, Ran. Gue juga sering dibikin kesel sama Shinta." Dia menyeringai. "Jadi, apa yang dilakuin Shinta ke elo?"

Rani mengepalkan tangan saat mengingat kejadian yang sudah-sudah. Dia begitu antusias menceritakan semuanya sambil meluapkan amarah. Sempat-sempatnya Gilang tertawa, membuat Rani melempar bantal sofa ke wajah tampan itu.

Tiana hanya bisa menggeleng pelan melihat kelakuan keduanya. Jauh di lubuk hati, dia menilai Rani juga ikut andil. Kenakalan Shinta memang salah, tetapi cara Rani merendahkan orang hanya dari penampilan juga berpengaruh besar. Cukup wajar jika Shinta tak merestui hubungan Rani dengan kakaknya. Namun, lagi-lagi Tiana hanya bisa menyimpan pemikiran tersebut dalam benak.

"Jadi, lo mau ngejauhin Shinta dari Aldi?" Suara Gilang membuyarkan lamunan Tiana.

Dia tersentak. Terlebih, saat Rani mengangguk membenarkan ucapan Gilang. Tiana menjadi semakin terjebak dilema.

"Sebenarnya, Bang Aldi ngancem Shinta kalo nakal lagi bakal dibalikin ke Singapura. Tapi, Shinta malah enggak ada bikin ulah sama sekali," keluh Rani.

"Mungkin dia udah benar-benar sadar, Ran. Namanya juga adek perempuan kadang bisa cemburu gitu. Lo dulu juga perasan gitu," sahut Tiana berusaha mendinginkan suasana.

"Tapi, mau sampai kapan gue mesti harap-harap cemas, Tiana. Bisa aja suatu saat dia cemburu lagi terus bikin ulah," ketus Rani.

"Gimana kalo lo provokasi aja?" usul Gilang.

Rani mendengkus. "Udah kali, Bang. Udah dipanas-panasin, tapi enggak ada reaksi dianya."

Gilang tiba-tiba menyeringai. "Kalo sudah begitu, kita jebak saja."

Dia pun menceritakan rencana untuk menjebak Shinta. Rani menanggapi dengan antusias. Gadis itu terlihat tak sabar hendak menyingkirkan Shinta ke luar negeri. Sementara Tiana hanya bisa menatap sendu sahabatnya yang telah tersesat semakin jauh.

Setelah rencana dirasa sempurna, Gilang pamit. Awalnya, Tiana hendak menginap, tetapi urung. Ibunya menelepon meminta pulang karena urusan darurat. Meskipun agak khawatir kepada Rani, dia terpaksa meninggalkan sang sahabat.

Akhirnya, Rani kembali sendiri. Rasa sepi terasa mencekik. Namun, dia berusaha tegar dan berpura-pura baik-baik saja.

Drrt drrt

Suara ponsel membuyarkan lamunan. Rani memeriksa notifikasi yang masuk. Ternyata, pesan dari ibunya.

["Rencana kita bisa dijalankan besok. Kita bikin si gembel diusir dari Kediaman Permana."]

Rani menyeringai, lalu bergumam, "Sekali tepuk dua nyamuk mati. Dua orang sial*n ini bakal hilang dari hidup gue."

***