Sulistyawati mendekat dengan sedikit kesusahan. Kakinya memang belum pulih sepenuhnya. Jarak di antara dua wanita berbeda usia itu semakin sempit. Putri menelan ludah saat Sulistyawati sudah berdiri tepat di depannya. Dia semakin panik saat timer berbunyi. CCTV yang diretas sudah kembali berfungsi.
"Eyang, saya ...."
Sulistyawati tersenyum hangat. "Tenanglah, CCTV-nya sudah Eyang matikan, Wulan," ucapnya lembut.
Putri terperangah. Dia hanya bisa terpaku untuk beberapa saat. Berbagai macam prasangka saling bersahutan dalam benak. Sementara itu, Sulistyawati meraih tangannya dan menggenggam erat.
"Mari kita duduk dulu, Wulan. Eyang akan jelaskan semuanya."
Putri masih belum pulih dari rasa syok. Namun, dia menurut saat dibawa ke luar ruang kerja menuju kamar tidur. Setelah menyalakan kembali CCTV dengan remote control, Sulistyawati mengajak gadis itu duduk di sofa kamarnya. Lama mereka terjebak hening, hingga Putri bisa kembali menguasai diri.
"Eyang sudah tau dari awal?"
Sulistyawati mengangguk pelan. "Tapi, karena Wulan tampak ingin menyembunyikannya, Eyang jadi diam saja. Eyang menunggu sampai kamu mengatakannya sendiri."
Sulistyawati pun menjelaskan bagaimana dia mengetahui identitas asli Putri. Ternyata, dia bahkan sudah menyadarinya sejak awal mereka bertemu. Pertahanan Putri runtuh, lalu memeluk Sulistyawati sambil sesenggukan.
"Menangislah, Nak, menangislah jika itu membuatmu lega," hibur Sulistyawati sembari mengusap lembut punggung Putri.
Cukup lama Putri larut dalam haru, melepas sesaknya beban hidup dan kerinduan. Setelah tangisnya reda, dia melepas pelukan dan menyeka sisa-sisa air mata. Tekad kembali goyah ketika melihat senyuman hangat Sulistyawati.
Akankah dia tega menghancurkan hati sang nenek baik hati? Lalu, apa bedanya dengan Dirja?
"Bagaimana kabarmu, Nak? Bagaimana kamu tumbuh selama ini?" tanya Sulistyawati membuyarkan lamunan Putri.
"Saya tinggal di pantai asuhan ...."
Putri memulai cerita hidupnya yang pilu. Sulistyawati beberapa kali memeluknya, juga menyeka air mata yang tak henti menuruni pipinya. Dia menyesal tak bisa menemukan gadis itu lebih cepat.
"Tinggallah di sini, Wulan. Tinggal bersama Eyang," bujuk Sulistyawati. Besar harapannya bisa membahagiakan Putri, menebus penderitaan-penderitaan yang sudah dialami gadis itu.
Putri menggigit bibirnya. Sorot mata yang hangat, juga senyuman lembut Sulistyawati membuat gamang. Tekad balas dendam pun berperang dengan kerinduan akan kasih sayang. Namun, pada akhirnya, teriakan kesakitan ibunya di malam nahas itu seolah menggema, membuat kebencian yang sempat surut kembali berkobar. Dia memeluk Sulistyawati, lalu menggumamkan kata maaf dengan suara bergetar.
Lama mereka dalam keadaan itu. Sulistyawati melepaskan pelukan. Dia menyentuh pipi Putri dengan lembut.
"Kenapa kamu terus meminta maaf?" tanyanya.
Putri hanya bisa menunduk.
"Apa karena tadi kamu ketahuan ada di ruang kerja Mas Dirja?"
"Itu ...."
"Eyang tahu kamu lagi mencari kelemahan PT. Karya Lestari bukan?"
Putri menelan ludah. Tangannya sedikit gemetar. Dia bertanya-tanya, apa tindakan Sulistyawati setelah membaca situasi. Apakah wanita tua itu akan mengusirnya atau bahkan lebih parah melaporkan ke polisi. Namun, Putri juga tahu kasih sayang Sulistyawati terlalu besar.
"Eyang mengerti perasaanmu, Wulan."
"Eh?"
"Eyang juga merasa kejadian nahas itu bukan kecelakaan, tapi disengaja. Kamu pasti dendam dengan perusahaan keluarga ini, 'kan?"
Putri lagi-lagi tak bisa menyahut. Sementara Sulistyawati menatapnya dengan sorot mata sendu. Hening terasa mencekik, hingga Sulistyawati tersenyum, lalu mengusap lembut rambut Putri.
"Tapi, ingat satu hal, Wulan. Apa yang terlihat di permukaan, belum tentu kejadian sebenarnya. Carilah sebanyak mungkin informasi."
Sulistyawati mengatur napas sejenak.
"Setahu Eyang, Mas Dirja bukanlah pengusaha yang menggunakan cara-cara kotor. Tapi, jika memang dia melakukannya, tak apa jika kamu memang ingin menghancurkan semuanya."
Sulistyawati tersenyum lembut.
"Karena Eyang tidak sudi diberi makan dengan uang haram."
Putri tak tahu harus berkata apa. Dia hanya bisa menunduk dengan jemari saling bertautan. Mereka pun kembali terjebak kebisuan.
"Oh iya, bagaimana perasaanmu sekarang pada Joko?" celetuk Sulistyawati tiba-tiba.
Putri tergagap. Namun, dia cepat memperbaiki raut wajahnya. Kerinduan pada cinta pertama memang kadang menyeruak saat nama itu disebut.
"Itu masa lalu, Eyang. Apa yang kurasakan bersama Joko hanyalah cinta monyet. Sekarang, kami sudah memiliki kehidupan masing-masing," kilah Putri.
Sulistyawati tersenyum lembut. "Baiklah, Eyang mengerti. Meskipun akan lebih baik, jika rasa itu masih ada. Eyang bisa melihat kalian menikah dan punya anak-anak yang lucu," gumamnya seraya mengusap-usap rambut Putri.
Putri menunduk, berusaha menyembunyikan matanya yang mendadak sendu. "Maaf, Eyang ...," lirihnya.
"Tak apa, Wulan. Eyang sudah senang bisa melihat kamu lagi."
Putri memeluk Sulistyawati dengan erat. "Terima kasih, Eyang," bisiknya.
***
["Shinta, hari ini Abang bawa pacar Abang ke rumah supaya kalian bisa saling mengenal."]
Pesan masuk dari Aldi membuat Shinta menghela napas berat. Perasaannya yang tadinya berbunga-bunga karena mendapat pujian dari Putri mendadak suram. Jauh di lubuk hati, dia memang masih berharap sang kakak akan berjodoh dengan guru menarinya. Namun, Shinta juga tak ingin memaksakan kehendak meskipun entah kenapa ada firasat tak enak mengenai pacar baru kakaknya.
Suara bel membuyarkan lamunan Shinta. Dia menyimpan ponsel ke dalam saku. Setelah mengatur napas sejenak, Shinta bangkit dari sofa, melangkah ke ruang depan untuk membukakan pintu.
"Tunggu bentar!" seru Shinta seraya memutar kunci.
Namun, begitu pintu terbuka, Shinta terbelalak. Hal sama juga terjadi pada Rani yang berdiri di samping Aldi. Keduanya terpaku, saling tatap dengan sorot mata sulit diartikan.
"Rani, ini Shinta adik saya. Dan Shinta ini Rani pacar Abang." Suara Aldi memecah keheningan, tetapi kedua gadis itu masih membisu.
Shinta mengepalkan tangan. Amarah begitu meluap dalam dada. Emosi yang membeludak membuatnya bahkan tak bisa mengucapkan sepatah kata pun.
Sementara itu, Rani merutuki kecerobohan saat di taman tempo hari. Dia terlalu menilai seseorang dari penampilan. Gadis yang disangka gembel ternyata adik gebetannya. Rani segera memutar otak. Wajah terkejutnya berubah dengan cepat menjadi ramah.
"Halo, Shinta, saya Rani, semoga kita cepat akrab, ya," sapanya dengan lembut dan kalem.
Shinta menggemeletukkan gigi. Sikap Rani yang berubah menjadi penjilat terasa menjijikkan baginya. Dia sampai kehilangan kata-kata. Sementara Aldi mengerutkan kening melihat tingkah tak biasa adiknya. Belum sempat di bertanya, Rani tiba-tiba memasang raut wajah kaget.
"Ya ampun, kita pernah ketemu di taman, 'kan?" serunya. "Soal yang dulu itu saya benar-benar minta maaf, ya," lanjutnya dengan suara yang terdengar begitu tulus.
"Kalian sudah saling kenal?" tanya Aldi.
Rani seketika memasang raut wajah bersalah. "Kami sempat agak clash waktu itu, Bang ...."
Dia pun menceritakan kejadian di taman. Tentu saja, ada bagian yang dikurangi. Dalam cerita Rani, mereka bertabrakan tak sengaja, sehingga menimbulkan kesalahpahaman. Masalah penghinaan tak dibahas sama sekali.
"Saya minta maaf sekali lagi, ya, Dek," ucap Rani dengan setengah memelas.
Shinta susah payah meredam amarah. Dia dengan sangat terpaksa mengangguk dan juga ikut meminta maaf. Rani sudah terlanjur angkat bicara lebih dulu. Jika Shinta tiba-tiba menyanggah, Aldi bisa saja malah menganggapnya hanya ingin mencari gara-gara. Terlebih, sebelumnya dia terang-terangan ingin menjodohkan Aldi dengan guru menarinya.
"Masalahnya sudah selesai. Ayo kita masuk!" cetus Aldi.
Shinta sebenarnya enggan menerima manusia sombong sebagai tamu. Namun, dia terpaksa bersikap menjadi adik manis. Saat Aldi lengah, matanya melirik sinis Rani untuk mengintimidasi gadis itu. Usaha Shinta membuahkan hasil.
Belum juga duduk di sofa ruang tamu, Rani tiba-tiba berseru, "Aduh!"
Aldi mengerutkan kening. "Kenapa, Ran?"
"Kebiasaan nih staf suka ngasih jadwal syuting dadakan," keluh Rani sambil mengutak-atik ponsel, seperti sedang membalas pesan, padahal hanya pura-pura.
Aldi menghela napas. "Ya sudah. Saya akan antar kamu ke sana," tawarnya.
"Padahal masih pengen ngobrol sama Dek Shinta."
"Ya mau gimana lagi. Namanya juga kerjaan. Ayo kita berangkat," cetus Aldi.
"Aku telepon manajer aja, Bang. Enggak enak ngerepotin ...," tolak Rani. Dia tak mungkin membawa Aldi ke tempat syuting yang sedang libur.
"Saya sudah tidak jadwal setelah ini. Jadi, tidak apa-apa," sahut Aldi.
Rani sempat kebingungan. Namun, dia segera mendapatkan ide bagus. Sebuah pesan WA dikirimkan kepada manajer untuk membantu kebohongannya.
"Rani?"
"Ah iya, Bang. Terima kasih banyak."
Aldi hanya mengangguk kecil, lalu mengalihkan pandangan kepada Shinta. "Shin, Abang pergi antarin Rani dulu," pamitnya.
Shinta mengangguk malas. Aldi dan Rani pun meninggalkan rumah dengan tergesa-gesa. Shinta menatap kepergian mereka dengan tangan terkepal kuat. Seringaian aneh terukir di sudut bibirnya.
"Tunggulah cewek sok kecantikan, gue bakal kasih lo hadiah yang manis," gumamnya.
***