Chereads / Bidadari Matre / Chapter 21 - Bagian 23

Chapter 21 - Bagian 23

Putri terlambat menghindar. Untunglah, pengemudi mobil berhasil mengerem dengan cepat. Putri hanya tersenggol dan terduduk di aspal dengan barang bawaan berhamburan. Lututnya sedikit lecet, tetapi tak sampai berdarah. Namun, ketika melihat mobil yang menabraknya tergolong mewah, dia pun mendapat ide nakal.

"Aduh! Aduh! Sakit sekali!" jeritmya histeris sambil memegangi kaki.

Erangan Putri membuat si pengemudi mobil keluar. Sungguh suatu kebetulan yang "manis", pemilik mobil ternyata Aldi. Entah kenapa hari itu dia tidak membawa sopir dan mengemudi sendiri. Putri masih ingat wajah si pria kaya mabuk yang ditolongnya tempo hari, lalu berpura-pura semakin kesakitan.

Sementara itu. Aldi mendekat dengan wajah kebingungan. Dia tak menyangka gadis yang ditabrak terluka parah. Seingatnya, rem berhasil diinjak tepat waktu, paling tidak hanya akan terserempet dan mengalami luka ringan.

"Mbak? Mbak, baik-baik saja?" tanya Aldi seraya mengulurkan tangan bermaksud membantu Putri berdiri.

Bukannya menyambut uluran tangan Aldi, Putri malah mendelik tajam. "Baik-baik saja apanya? Mas enggak liat saya kesakitan!' ketusnya.

Aldi mendadak kesal. Dilihat dari situasi, jelas Putri yang salah karena berlari ke tengah jalan tanpa memperhatikan lalu lintas. Senadainya, Aldi menuntut, pasti akan menang, terlebih jika CCTV di sekitar lokasi kejadian diperiksa. Hampir saja dia balas memarahi Putri, tetapi urung saat melihat pakaian gadis itu.

Aldi memiliki kecintaan besar terhadap kesenian tradisional terutama seni tari. Dia bisa mengenali pakaian Putri adalah kostum untuk Tari Gandrung. Atas rasa hormat terhadap orang-orang yang melestarikan tarian daerah, Aldi pun memilih untuk berdamai saja.

"Saya benar-benar minta maaf, Mbak. Mari saya bantu," ucapnya berusaha ramah meskipun dengan wajah datar yang sama sekali tidak mendukung.

Kali ini, Putri tidak lagi mengomel. Dia menyambut uluran tangan Aldi dan berdiri dengan susah payah meskipun hanya sandiwara. Demi menambah efek dramatis, Putri bahkan berpura-pura terpincang-pincang dan limbung. Aldi refleks menangkapnya, hingga keduanya tak sengaja saling menatap. Dua pasang mata saling terkunci, menimbulkan desiran halus dalam dada, juga meningkatkan ritme jantung. Meskipun fisik jauh berubah, waktu dan jarak sempat memisahkan, naluri bisa saling mengenali.

"Kak Putriii! Heh, Abang tampan yang mukanya kek kanebo kering! Lo apain Kak Putri, hah!"

Bentakan Tyas membuyarkan suana romantis nan melankolis. Putri dan Aldi yang sempat terhanyut refleks saling mundur dengan canggung. Ada semburat merah tersisa di pipi keduanya. Aldi berdeham beberapa kali untuk menenangkan debaran jantungnya.

"Kenapa aku merasa tidak asing dengan gadis ini, seperti merindukannya? Apakah karena gadis ini mirip Wulan?" gumam Aldi dalam hati.

Aldi sibuk dengan hatinya yang galau. Sementara Putri sendiri mengatur napas. Pipi yang terasa panas membuatnya tak nyaman dan gelisah. Saat bertemu pertama kali, Aldi dalam keadaan mabuk, sehingga memejamkan mata. Meskipun Putri merasa pemuda itu mirip Joko sang cinta pertama, tetapi tidak sampai membuat jantungnya berdisko.

Namun, Tyas lagi-lagi merusak suasana. "Eh, Bang, tanggung jawab dong! Ini teman gue sampai pincang-pincang. Dia penari lho. Kalo enggak bisa nari lagi, gimana coba?" cecarnya berapi-api.

Aldi segera tersadar.

"Ah i-iya, Mbak. Saya benar-benar minta maaf. Anda berdua bisa ikut di mobil saya. Kita ke klinik agar luka temennya Mbak bisa segera diobati."

"Tidak perlu sampai serepot itu, Mas. Tolong berikan kompensasi biaya pengobatan saja. Saya liat Mas lagi terburu-buru. Saya tidak enak kalo membuang-buang waktu Anda, sergah Putri cepat. Aktingnya bisa ketahuan kalau diperiksa di klinik.

Tyas mengerutkan kening. Dia tentu memprotes keputusan Putri. Bahkan Aldi sendiri ikut bingung. Namun, pemuda itu segera menyadari apa yang terjadi. Meskipun akting Putri sangat rapi, Aldi mendadak teringat saat mereka refleks mundur setelah tak sengaja berpelukan. Saat itu, kaki Putri tidak pincang dan tampak baik-baik saja.

Aldi bisa saja menuntut atas tuduhan penipuan. Namun, dia tak melakukannya. Entah karena kemiripan dengan Wulan, hatinya menjadi tertarik dan berpikir untuk mengikuti permainan gadis itu. Toh, mengeluarkan sedikit uang dari rekening pribadinya tidak akan membuatnya jatuh miskin seketika. Anggap saja sebagai apresisai kepada penari tradisional.

"Baiklah, saya mengerti," tukas Aldi. "Tapi, saya tidak membawa uang cash, apa saya bisa minta nomor rekening Anda?"

"Tentu saja, Mas. Terima kasih atas pengertiannya."

Aldi mengeluarkan ponsel membuka aplikasi internet banking. Putri pun menyebutkan nomor rekeningnya. Aldi segera memproses transaksi. Tak lama kemudian, masuk notifikasi di ponsel Putri, pemberitahuan masuknya sejumlah uang ke rekeningnya. Tyas yang berdiri di samping Putri sampai gemetaran saat melihat nominalnya.

"Sudah masuk, Mas. Terima kasih."

"Sama-sama. Oh iya, jika ada akibat lebih serius pada Anda, bisa hubungi saya. Saya akan bertanggung jawab sebisa mungkin."

Aldi menyerahkan selembar kartu nama. Putri menerimanya dengan senang hati. Setelah itu, Aldi pun permisi dan segera meninggalkan lokasi.

Setelah memastikan mobil Aldi sudah jauh, Putri membereskan barangnya yang berhamburan, lalu melangkah santai ke pinggir jalan. Tyas melongo dibuatnya, hingga suara klakson terdengar nyaring. Tyas terbirit-birit lari ke arah trotoar. Hampir saja dia terjerembab. Untung saja, Putri sempat menangkap tepat waktu.

"Ayo, Tyas!" ajak Putri sembari berjalan di trotoar.

"Tunggu, Kak! Tunggu!" Tyas tergesa-gesa mengejar langkah Putri. "Kak Putri jalannya kok enggak pincang-pincang lagi?" tanyanya begitu langkah mereka sejajar.

Putri terkekeh. "Tadi itu hanya improvisasi biar bisa dapat ganti rugi lebih besar," sahutnya ringan.

Tyas ternganga, tetapi tidak lama. Seekor lalat hampir saja mampir ke mulutnya. "Ih, berarti Kakak nipu Abang ganteng tadi dong? Tega banget ih Kak Putri," protesnya.

"Enggak nipu, kok. Kakiku emang luka," kilah Putri sembari menunjuk lecet kecil di lututnya.

"Ish! Luka segitu sih perlu obat merah sama plester luka aja, enggak nyampe sepuluh ribu. Si abang tadi, kan, transfer ampe jutaan." Tyas masih tidak terima.

Putri tergelak, membuat Tyas bersungut-sungut.

"Kamu ingat aku cerita pernah nolong orang mabuk?"

"Iya, inget."

"Nah, laki-laki tadi orangnya. Waktu mau masukin dia ke hotel, aku buka dompetnya buat bayar administrasi. Nah, di situ aku liat dia punya black card. Uang yang tadi dia transfer sih enggak ada apa-apanya buat orang kayak gitu."

"Tapi, Kak–"

"Udah, udah, anggap aja tuh orang sedekah sama anak yatim. Yok kita ke pasar, bahan-bahan makanan di panti pada mau habis, 'kan?"

Sebenarnya, Tyas masih ingin protes. Jiwa keadilannya sempat terluka. Namun, begitu Putri mengajak untuk membeli barang yang sudah lama diidamkannya, Tyas ikut menjadi gelap mata.

Mereka pun pergi berbelanja. Selain bahan pokok, Putri juga membelikan beberapa barang untuk anak-anak panti. Beberapa anak memang mengeluhkan barang yang rusak atau tidak muat lagi, entah tas, baju, atau sepatu. Usai berbelanja mereka pulang ke panti menggunakan taksi.

"Ini beneran buat kita-kita, Kak?" tanya adik-adik panti dengan mata berbinar begitu Putri dan Tyas datang bersama barang-barang belanjaan.

"Iya, dong," sahut Putri mantap.

"Sayang, Kak Putri."

Mereka berebutan memeluk Putri. Namun, keceriaan itu tak berlangsung lama. Asih yang sedari tadi terus memperhatikan menatap Putri dengan sorot mata curiga. Dia tentu khawatir salah satu anak asuhnya sampai menjual diri.

"Kamu belanja sebanyak ini dapat uang dari mana, Put?" cecarnya.

"Dapat sumbangan, Bu," jawab Putri tenang.

Awalnya, Asih terlihat masih belum percaya. Namun, Putri terus meyakinkan hingga berhasil mengusir keraguan sang ibu panti.

***

Sorenya, Putri mengajar tari seperti biasa. Anak-anak muridnya tampak antusias. Tentu saja, Shinta yang paling bersemangat. Dia bahkan sudah datang 1 jam sebelum pelajaran dimulai. Putri menepuk tangan dua kali. Para murid yang sedari tadi riuh seketika hening. Perhatian mereka langsung beralih kepada sang guru.

"Seperti yang Ibu sudah beritahukan minggu lalu, hari ini, kita tidak latihan, tetapi ujian. Satu per satu kalian akan membawakan tari yang telah Ibu ajarkan. Masing-masing dari kalian akan memilih undian, barulah membawakan tarian sesuai yang tertulis di kertas undian. Apakah sudah jelas?"

"Jelas, Buuu!"

"Sudah siap?"

"Siaaap!"

"Oke, kalo begitu, giliran pertama, Kia!"

Anak yang bernama Kia mengambil undian. Dia membukanya dengan gugup. Tertulis "Tari Jaipong" di kertas. Setelah Putri memberi aba-aba, Kia pun mulai menari dengan luwes. Ketika Tarian telah selesai, Putri memberikan evaluasi, pujian dan saran tentang apa saja yang perlu diperbaiki.

Ujian terus berlangsung. Satu per satu anak didik menyelesaikannya dengan baik. Beberapa anak membawakan tarian dengan kurang baik karena gugup. Namun, Putri dengan sabar membantunya. Akhirnya, tibalah giliran Shinta.

"Terakhir, Shinta, silakan ambil undiannya."

Shinta pun mengambil kertas undian. Dia mendapatkan tugas membawakan Tari Serimpi. Shinta merasakan jantungnya berdegup kencang. Tari Serimpi identik dengan kesakralan, bahkan dulunya hanya dipentaskan dalam keraton. Tari ini baru diperkenalkan ke masyarakat umum setelah masa kemerdekaan. Shinta sangat cemas tak bisa menampilkan keanggunan, kecantikan, serta kesopanan yang menjadi nilai estetika Tari Serimpi.

"Kamu sudah siap, Shinta?"

"Siap, Kak!"

"Baik, kita mulai."

Putri memberi isyarat kepada Paijo untuk memainkan alat musik. Irama gending Jawa terdengar asri nan damai. Shinta segera berjalan ke posisi tengah. Gerakannya begitu anggun. Meskipun hanya berada di halaman panti, tetapi dia memberi kesan seperti penari yang tengah memasuki panggung pertunjukkan nan megah. Selanjutnya, Shinta berbelok ke kiri dan ke kanan dengan pola lantai yang khas, lalu ditutup dengan duduk. Gerakan pembuka dalam Tari Serimpi ini disebut maju gawang atau kapang-kapang.

Selanjutnya, Shinta memasuki gerakan pokok yang merupakan inti tarian. Dia memilih cerita Mahabarata untuk dibawakan. Gerakannya luwes nan gemulai, tetapi bisa berubah tangkas dan terasa gagah saat menampilkan adegan perang. Shinta menggunakan batang kayu sebagai pengganti properti senjata yang biasa dibawa penari dalam Tari Serimpi untuk menyesuaikan dengan cerita pertempuran.

Irama gending yang dimainkan Paijo mulai memasuki fase akhir. Shinta pun melakukan gerakan mundur gawang. Dia meninggalkan posisi di tengah tadi dengan pola lantai yang indah dan menawan.

Putri tersenyum bangga melihat perkembangan pesat gadis itu. Dia segera memberikan penilaian. Shinta tersenyum malu-malu ketika mendapat pujian dan menyimak dengan seksama saat mendapat kritikan.

Setelah semua murid mendapatkan penilaian, latihan menari diakhiri. Para murid pun berpamitan pulang. Kini, tinggallah, Putri, Tyas, dan Paijo. Mereka mengobrol ringan sambil menyantap camilan buatan ibu Paijo yang dibawa pemuda itu.

"Eh, Kak, Inget enggak Abang yang tadi muji pertunjukan. Ganteng banget, ya, Kak. Aku tuh terngiang-ngiang senyumannya," celetuk Tyas tiba-tiba.

Paijo mendelik. "Siapa, Tyas?" cecarnya.

"Bukan urusan Abang juga."

Akhirnya, mereka pun bertengkar. Putri hanya menggeleng pelan. Meskipun Tyas dan Paijo selalu bertengkar, dia tahu sebenarnya mereka saling memendam rasa. Ada bahasa cinta tak biasa di antara keributan itu. Putri menghela napas, lalu menatap langit senja. Senyuman khas Joko seolah terlukis di sana.

"Mas, seandainya tidak ada insiden itu, apakah saat ini kita bisa juga mengecap manisnya cinta?" lirihnya.

***