Chereads / Bidadari Matre / Chapter 20 - Bagian 22

Chapter 20 - Bagian 22

Aldi tersentak. Dia tahu sang nenek sangat menyayangi Wulan. Namun, Aldi tak menyangka Sulistyawati mengetahui perasaan yang dipendamnya sejak lama. Neneknya itu bahkan langsung memasang wajah penuh permusuhan saat mendengar Aldi memiliki pacar.

Kini, Aldi terjebak dilema. Apakah dia harus berkata jujur soal pacaran kontrak? Ataukah kebohongan lebih baik dengan berpura-pura sudah move on dari Wulan? Aldi harus mempertimbangkan resiko mana yang lebih kecil.

"Soal Wulan, aku ingin memulai kehidupan yang baru Eyang. Aku tidak bisa terus terjebak kenangan masa lalu."

Akhirnya, Aldi memilih untuk berbohong. Dia memang bisa melihat amarah bergolak dalm sorot mata neneknya. Namun, jujur tengah mempermainkan sebuah hubungan menurutnya akan lebih membuat kecewa sang nenek. Toh, jika masalah gosip terselesaikan, Aldi akan putus dengan Rani dan bisa melanjutkan pencarian Wulan.

"Maksudmu melupakan Wulan?" cecar Sulistyawati dengan nada suara agak tinggi.

Aldi menelan ludah. Meskipun sudah menyiapkan hati, suara ketus neneknya tetap terasa menorehkan perih. Dia mengepalkan tangan agar bisa berbohong dengan lebih sempurna.

"Sepuluh tahun, Eyang. Sepuluh tahun aku mencarinya,.tapi tidak membuahkan hasil. Apa salah jika aku lelah?"

"Benarkah seperti itu? Eyang masih melihat sorot mata penuh cinta saat kamu menyebut nama Wulan."

"Itu hanya perasaan Eyang saja," kilah Aldi. Dia menunduk, menghindari tatapan tajam sang nenek.

"Begitukah? Bagaimana jika Wulan tiba-tiba muncul di hadapan kamu? Apa pacarmu akan kamu buang?"

Aldi menelan ludah. Jawaban dari pertanyaan neneknya sudah jelas. Dia akan mengakhiri perjanjian dengan Rani, lalu berlari memeluk gadis pujaan hati.

Sulistyawati menyadari gelagat cucunya. Dia semakin mencecar Aldi. Sementara itu, Shinta yang sedari tadi dicueki dan hanya bisa melongo karena tak mengerti arah pembicaraan langsung menyela.

"Tunggu dulu. Eyang, Bang Aldi! Wulan itu siapa? Ini tadi bahas pacarnya Bang Aldi terus kok malah debat soal Wulan?" cerocos Shinta menggebu-gebu.

Sebenernya, saat mendengar nama Wulan ada sesuatu yang berdesir dalam dada. Shinta juga tak mengerti, hanya seperti kehangatan yang dirindukan. Nama itu serasa tak asing. Namun, seberapa kuat dia mencoba mengingat tetap tak membuahkan hasil.

Wajah kesal Sulistyawati sedikit melunak. Dia mengusap rambut Shinta dengan lembut.

"Waktu itu, Shinta masih umur 2 tahun, ya. Kamu jadi lupa tentang Wulan. Padahal, dulu kamu suka sekali menempel dengan Wulan, sampai tidak mau pulang ke rumah sendiri maunya ikut Wulan."

Sulistyawati mengambil album foto yang tersimpan di bawah meja ruang tamu. Dia membukanya perlahan. Satu demi satu lembaran album dibalik, hingga berhenti pada satu bagian.

"Ini Wulan," ucapannya sembari menunjuk gadis kecil berpipi tembem tengah memangku Shinta saat berusia 2 tahun.

Shinta membelalak. Namun, bukan gadis bernama Wulan itu yang mengejutkannya, tetapi dua orang dewasa yang mengapit Wulan. Tak ada penari yang tak mengenal sosok-sosok itu.

"Eyang, ini Ibu Arunika Saraswati dan Pak Syailendra Bagaskara, 'kan?" serunya antusias.

"Iya, mereka adalah orang tua Wulan, sekaligus muridku dan guru menari Joko."

"Ya ampun! Ya ampun! Ya ampun! Abang kok enggak bilang-bilang jadi muridnya Pak Syailendra dan Ibu Arunika?"

"Kamu, kan, tidak pernah bertanya, Shinta?"

Shinta menghela napas. "Iya, sih, aku bahkan enggak tau Abang pinter nari." Dia terdiam sejenak seperti mengingat sesuatu, lalu memukuli lengan Aldi. "Ish! Berarti kalo dari debat Abang sama Eyang tadi, Abang mau mengkhianati Mbak Wulan ini dong? Abang kok tega banget! Abang enggak boleh gitu!" cecarnya membabi buta.

"Dia hilang, Shinta. Sepuluh tahun aku mencarinya, tak pernah melirik wanita lain, apa yang kudapat? Isu gay?" Aldi memijat keningnya. "Eyang, Shinta, aku lelah. Apa tidak boleh aku memiliki hidup baru tanpa terikat masa lalu?"

Ruangan seketika menjadi hening. Shinta menunduk, mencoba mengerti keputusan kakaknya. Sementara itu, Aldi meminta maaf berkali-kali kepada Wulan dalam hati.

Sulistyawati menghela napas berat. "Baiklah, jika keputusanmu sudah bulat, Joko. Tapi, sebelum hubungan kamu lebih jauh dengan perempuan itu, bawa dia ke sini. Eyang ingin lihat sehebat apa perempuan yang mencoba menggeser posisi Wulan," titahnya tegas membuat Aldi sedikit gentar.

Dia tak berani menjamin sosok Rani akan disukai sang nenek. Namun, Aldi hanya bisa mengangguk takzim dan berdoa masalah bisa selesai tanpa harus mempertemukan mereka. Sulistyawati tiba-tiba bangkit dari sofa. Sorot matanya terasa seperti tusukan pedang bagi Aldi.

"Eyang lelah. Sebaiknya kalian pulang saja," ketus Sulistyawati. Dia mengambil tongkat dan melenggang ke dalam kamar.

***

Kadang, ada masa membosankan dalam hidup. Itulah yang dialami Gilang. Biasanya, dia akan berfoya-foya di akhir pekan bersama teman-temannya. Namun, entah kenapa pemuda itu mendadak ingin menikmati hari dengan lari pagi sendiri di taman.

Setelah lari lima putaran, Gilang memutuskan istirahat sebentar di bangku taman. Dia membeli sebotol air mineral dan menenggaknya hingga habis. Beberapa orang gadis menatap dengan malu-malu. Penampilan Gilang tentu menarik perhatian, pemuda tampan banjir keringat hingga menampakkan lekuk tubuh atletisnya tengah minum dengan seksi.

"Gua berdosa banget terlahir setampan ini," gumam Gilang sembari menyugar rambut, membuat para gadis di taman semakin klepek-klepek.

Dia memang sangat menikmati saat menjadi pusat perhatian. Namun, obrolan dua orang pemuda menarik perhatiannya.

"Ayo, ayo cepat ke sana! Mereka mau mulai pertunjukkan."

"Iya, bentar. Gua enggak sabar mau liat penari cantik itu."

"Kalo gua demen sama penyanyinya yang imut-imut."

Gilang seketika bersemangat saat mendengar tentang gadis-gadis yang memesona. Dia segera mengikuti dua pemuda tadi. Ternyata, tempat yang mereka tuju sudah dipenuhi orang-orang. Sementara itu, di tengah-tengah tampaklah dua gadis muda dengan pakaian tradisional. Ya, gadis-gadis itu adalah Putri dan Tyas. Paijo tak ikut serta hari itu karena harus mengurus pasokan bahan makanan untuk kafenya. Kedua gadis itu tampak anggun dalam balutan kostum yang terbuat dari beludru hitam dengan hiasan ornamen dan aksesoris pada bagian leher, dada, maupun lengan. Mereka juga mengenakan mahkota yang diberi ornamen berwarna emas dan merah serta diberi ornamen tokoh Antasena.

"Gila, ini berlian di dalam lumpur namanya!" gumam Gilang tanpa sadar saat menatap Putri.

Dia telah banyak bermain dengan wanita. Sebenarnya, gadis-gadis malang itu jauh lebih cantik dari Putri. Namun, pesona Putri memang bukan hanya soal jelitanya wajah, tetapi aura yang memancar dari dalam dirinya.

Tyas menyalakan musik. Meskipun tak seapik permainan Paijo, tetapi lumayan membantu. Para penonton termasuk Gilang tak sabar menunggu. Kali ini, Tyas tidak hanya akan bernyanyi, dia juga ikut menari bersama Putri. Keduanya pun bersiap.

Kali ini, mereka akan membawakan Tari Gandrung, khas Banyuwangi yang merupakan kebudayaan dari Suku Osing. Tarian ini umumnya dibawakan sebagai perwujudan rasa syukur masa panen. Meskipun biasanya dipentaskan berpasangan antara perempuan dan laki-laki, Putri dan Tyas tidak melakukannya.

Kedua gadis itu mulai menari dengan indah. Gerakan dalam Tari Gandrung ada tiga tahapan, yaitu jejer, maju, dan seblag subuh. Putri dan Tyas menyanyikan beberapa lagu sembari menari untuk tahapan jejer. Ketika sampai pada tahapan gerakan maju, mereka melakukan modifikasi.

Sebenarnya, pada tahapan maju para penari gandrung akan mendatangi tamu laki-laki dengan gerakan-gerakan menggoda sembari memberikan selendangnya, lalu menari bersama. Oleh karena itulah, sebagian orang menilai negatif para penari Gandrung. Demi menghindari pandangan tak baik, Putri pun melakukan berbagai kreasi agar gerakan tetap indah meskipun tidak menggoda seperti esensi Tari Gandrung.

Akhirnya, Putri dan Tyas sampai pada tahapan terakhir, seblag subuh. Mereka memulai gerakan perlahan dan penuh penghayatan, sambil membawa kipas yang dikibas-kibaskan menurut irama dan menyanyikan beberapa lagu bertema sedih. Suasana mistis pun terasa, hingga tarian selesai.

Putri dan Tyas membungkukkan badan layaknya para seniman setelah melakukan pertunjukan. Tepuk tangan bersahutan seiring kotak mengamen yang mulai terisi uang. Seperti biasa, Putri dan Tyas akan beristirahat dulu. Para penonton membubarkan diri.

"Gadis itu ... benar-benar menarik. Hmm ... pasti menyenangkan kalau bisa memilikinya," gumam Gilang dengan seringaian di sudut bibir, lalu mendekat dengan senyuman mautnya.

Gilang menamai senjata adalannya itu senyuman 3 detik. Tak sembarangan nama tersebut didapat. Sesuai dengan namanya, senyuman Gilang bisa menaklukan hati gadis normal dalam 3 detik.

Terbukti, belum apa-apa Tyas sudah menjadi korbannya. Gadis itu menunduk dengan pipi merona. Dia memilin-milin ujung selendang. Namun, sasaran Gilang justru tak terpengaruh sama sekali. Putri malah sibuk melemaskan otot, juga menghilangkan dahaga dengan air mineralnya.

"Selamat pagi, Mbak," sapanya ramah dengan senyuman tebar pesona yang tak lepas dari bibir.

"Pagi, Mas. Ada yang bisa kami bantu?" sahut Putri dengan senyum dipaksakan.

Gadis normal kebanyakan akan mudah terperangkap rayuan manis Gilang. Namun, seperti halnya manajer pemasaran di perusahaan Aldi, Putri telah banyak melalui kepahitan hidup. Luka batin yang tertoreh telah membuat hati membatu, membentuk tembok kokoh, sehingga tak mudah diterobos begitu saja. Radarnya terhadap pria-pria buaya lebih kuat dibandingkan gadis biasa.

"Enggak ada apa-apa, kok, Mbak. Saya hanya terpesona dengan pertunjukan kalian tadi. Ini pertama kalinya saya melihat tarian seindah itu."

Gilang terus melontarkan pujian selangit. Putri menanggapi dengan santai, tetapi tetap sopan dan menunjukkan rasa terima kasihnya. Sementara Tyas sudah hampir pingsan karena terpesona.

Setelah mengobrol cukup lama, Gilang merasa saatnya menggunakan jurus andalan lain. Dia mengeluarkan ponsel. "Saya punya kenalan yang sangat mengapresiasi kesenian tradisional. Siapa tau saya bisa bantu hubungkan dengan beliau. Jadi, apa saya bisa minta nomor kontak–"

"Tyas, ayo kabur!" seru Putri.

Tyas awalnya kebingungan, tetapi segera mengerti. Mereka pun membereskan perlengkapan pertunjukan secepat mungkin. Hanya dalam waktu singkat, semuanya telah terbungkus rapi. Keduanya segera berlari tunggang langgang sambil mengangkut barang masing-masing.

Gilang hanya bisa melongo. Dia sempat berpikir apakah ada yang salah dengan tindakannya sehingga dua gadis itu ketakutan. Namun, kebingungan Gilang segera terjawab dengan larinya beberapa pengamen dan penjual jajanan, lalu disusul datangnya beberapa pria berseragam satpol PP.

"Ck! Belum sempat gua minta nomor hapenya. Dahlah, pulang aja!" keluh Gilang seraya menuju parkiran.

Sementara itu, Putri dan Tyas telah berhasil keluar dari kawasan taman dan lari arah ke jalan raya. Takdir tak dapat ditolak, saat bersamaan, sebuah mobil melintas. Putri mencoba menyelamatkan Tyas dengan mendorongnya ke arah trotoar.

Tiiin! Ckiiit!

***