Chereads / Bidadari Matre / Chapter 16 - Bagian 18

Chapter 16 - Bagian 18

Aldi baru saja menyelesaikan shalat Maghrib ketika pesan Rani masuk. Dia sedikit lega karena gadis itu tampak tidak terburu-buru. Berarti, Aldi bisa mengobrol cukup lama dengan detektif yang dipekerjakannya. Suasana mushola mal juga mendukung karena tidak terlalu ramai.

Dia memilih sudut yang agak terlindung sebelum menelepon. Beberapa kali melakukan panggilan belum tersambung. Akhirnya, sang detektif mengangkat telepon pada panggilan ke delapan.

"Ah, maaf, Pak Aldi. Tadi, saya shalat dulu."

"Ya, tidak apa-apa. Jadi, informasi terbaru apa yang Anda dapatkan?"

"Seperti yang Bapak minta saya mencoba melacak keberadaan gadis kecil itu dan pamannya. Saya tanya semua tetangganya, hingga ada satu orang yang memberi informasi kalo Mbak Wulan ini dibawa oleh pamannya tengah malam."

Aldi menggemeletukkan gigi. Amarah menguasai hati. Dia mulai membayangkan hal-hal nahas menimpa Wulan. Aldi memang pernah mendengar percakapan tak mengenakkan ayahnya tentang Paman Wulan tersebut. Jika benar Wulan dibawa, nasib buruk mungkin saja menghampiri gadis itu.

"Ke mana mereka membawanya pergi? Kenapa harus tengah malam?" cecarnya tak sabar.

"Setelah mendapatkan informasi tadi, saya menduga Pak Abimanyu ingin membawa ke luar kota. Saya pun mencoba mencari lagi informasi mobil yang lewat jalan tol pada tahun itu, tapi nihil."

"Menurut Anda informasi ini sangat penting?"

"Saya belum selesai, Pak. Saya malah tak sengaja mendapatkan informasi tambahan saat melepas lelah di warung pinggir jalan. Pak Abimanyu dan kekasihnya sudah meninggal karena kecelakaan."

"Apa? Lalu, bagaimana dengan Wulan? Apa dia ...."

"Tidak ada gadis kecil di tempat kejadian, hanya ada sepasang sandal mungil yang putus, begitu jawaban orang-orang di warung saat saya menanyakan hal itu."

Aldi merasa gamang. Satu sisi dia lega Wulan tidak ikut menjadi korban kecelakaan. Namun, di sisi lain, ada kemungkinan sahabat masa kecil sekaligus cinta pertamanya itu terlunta-lunta sendirian, bahkan bisa saja bertemu orang jahat.

"Pak Aldi?"

"Iya, lanjutkan hasil investigasi Anda."

"Saya sedang mengajukan izin untuk melihat CCTV di tempat kejadian. Mungkin harapannya kecil karena sudah 20 tahunan. Jadi, saya juga akan mencoba menanyakan kepada warga sekitar. Semoga saja Mbak Wulan ini ditemukan orang baik waktu itu. Itu saja dari saya, Pak," tutup sang detektif.

"Terima kasih laporannya. Saya tunggu hasil penyelidikan selanjutnya."

Panggilan diakhiri. Aldi mengatur napas sejenak. Dia harus segera kembali menemui Rani yang membuatnya sesak dan tertekan. Ya, meskipun gadis itu tampak berubah, entah kenapa Aldi masih terganggu dengan keberadaannya, mungkin semacam trauma.

Setelah bertanya dengan satpam, Aldi berhasil menemukan Toko Kue Mommy Love. Dia bisa melihat Rani tengah asyik memilih kue. Aldi pun segera menghampiri gadis itu.

"Maaf, saya lama, kebetulan mendapat telepon penting," kilah Aldi begitu bertemu Rani di toko kue.

"Enggak papa, Bang. Ini juga Rani baru selesai milih kuenya," sahut Rani sembari tersenyum manis.

Mereka pun segera menuju kasir. Aldi membayarkan. Awalnya, Rani menolak, tetapi karena dipaksa, dia mengucapkan terima kasih dengan senyuman malu-malu. Tentu saja, semua itu hanya akting. Dalam hati, Rani bersorak gembira ditraktir Aldi.

"Manajer kamu sudah dihubungi?" tanya Aldi saat mereka keluar dari toko kue.

Sudah menjadi rahasia umum, sorang artis seperti Rani biasa bepergian dengan manajer. Oleh karena itulah, Aldi menanyakannya, memastikan Rani akan sampai rumah dengan aman. Meskipun pernah benci, dia tetap merasa memiliki tanggung jawab terhadap keselamatan gadis itu karena telah mengajak bertemu.

Sebenarnya, Rani kesal karena berharap Aldi menawarkan diri untuk mengantar pulang. Namun, dia berusaha menutupi kedongkolannya dengan tertawa kecil.

"Dia, sih, orang sigap. Sudah ada di parkiran malah," sahutnya.

"Syukurlah, kalau begitu."

Setelah itu, tak ada obrolan lagi, hingga mereka tiba di pintu masuk mal. Rani menelepon manajernya. Tak lama kemudian, sebuah mobil mewah berhenti di titik penjemputan. Seorang gadis kurus tinggi keluar dan membukakan pintu.

"Rani duluan, ya, Bang," pamit Rani.

Aldi mengangguk kecil. Rani segera masuk ke mobil. Manajernya menutupkan pintu, lalu bergegas ke jok depan. Tak lama hingga mobil Rani meninggalkan mal. Aldi menghela napas lega.

***

Putri melangkah gontai memasuki halaman panti asuhan. Dia menghela napas berat dengan wajah lesu dan kedua bahu turun. Lelah fisik dan hati menguras tenaga hingga hampir tak bersisa. Namun, dia juga tak bisa seenaknya bermalas-malasan dan harus segera mencari pekerjaan baru.

Putri tahu akhir-akhir ini usaha kerajinan tangan Asih sepi pembeli. Dia juga pernah tak sengaja memergoki sang ibu panti tak bisa tidur karena memikirkan tunggakan SPP. Beliau berniat menggadaikan cincin kawin. Untunglah, secara kebetulan Putri mendapat bonus, sehingga masalah bisa teratasi.

"Tumben pulang cepat, Put?" tegur Asih, membuat Putri gelagapan.

"Jalanannya enggak terlalu macet tadi, Bu," sahut Putri.

Dia memilih berbohong karena tak ingin menambah beban pikiran ibu panti. Asih mengangguk-angguk, lalu kembali melanjutkan aktivitasnya membuat tas kerajinan dari anyaman bambu. Putri diam-diam menghela napas lega dan langsung permisi ke kamar untuk beristirahat.

Sesampainya di kamar, Putri menggantung tas, lalu melemparkan diri ke tempat tidur. Pelukan hangat kasur empuk, tubuh yang serasa remuk, dan lelah batin membuat rasa kantuk menjadi-jadi. Tak lama setelah mencium aroma bantal, dia langsung terlelap.

Lama Putri tertidur, hingga alarm berterik-teriak membangunkannya. Waktu latihan menari anak-anak tinggal 15 menit lagi. Setelah sedikit melemaskan otot, dia bangkit dari tempat tidur dan ke luar kamar, lalu pergi ke kamar mandi untuk mencuci muka.

"Bu Guru! Bu Guru!" Baru saja Putri mengelap muka sudah terdengar riuh suara anak-anak di halaman.

"Iya, tunggu sebentar," sahut Putri.

Dia berganti pakaian secepat mungkin. Putri tentu tak ingin anak-anak didiknya sampai bosan menunggu. Setelah menyampirkan selendang di bahu, dia segera ke luar rumah. Bocah-bocah manis telah bergerombol. Mereka saling bercanda, lalu tertawa bersama. Kehangatan terasa menjalar dalam dada Putri.

"Selamat sore, Anak-anak!" sapa Putri riang.

Anak-anak yang tadi ribut sendiri seketika berbaris rapi dan kompak menjawab, "Sore, Bu Guruuu!"

"Apa kabar kalian hari ini?"

"Sehat, semangat!"

Putri hendak berbicara lagi. Namun, sebuah mobil merah berhenti di depan gerbang panti. Anak-anak heboh memandangi kendaraan mewah itu. Tak lama kemudian, seorang gadis cantik keluar dengan wajah kebingungan. Shinta benar-benar datang untuk ikut latihan menari.

"Wah, teman baru kalian sudah datang!" seru Putri. Dia mendatangi Shinta dan mengajaknya ke depan anak-anak lain. "Anak-anak, ini Kak Shinta. Kak Shinta akan ikut latihan menari bersama kalian. Kak Shinta ini sebenarnya sudah sering memenangkan lomba, tapi dia tidak sombong dan masih ingin terus belajar. Siapa yang mau jadi hebat kayak Kak Shinta?"

Anak-anak berebutan mengacungkan tangan. Shinta tersenyum malu. Meskipun namanya sering dielu-elukan saat lomba dulu, entah kenapa dia merasa lebih bangga menjadi pusat perhatian bocah-bocah polos itu.

"Saya, Bu!" seru seorang anak.

"Ih, kamu tuh enggak cocok. Kan, suka males latihan. Aku lebih cocok!" protes teman di sebelahnya.

"Pas males-malesan aja nilai aku lebih baik dari kamu!"

"Dasar sombong ih!"

"Emang kenapa?"

Putri berdeham membuat keduanya seketika terdiam. "Sudah, sudah, kok malah gelut," tegur Putri.

Kedua anak yang tadi bertengkar menunduk. "Maaf, Bu ...," gumam mereka kompak.

"Oke, sekarang kalian bisa saling kenalan dulu dengan Kak Shinta. Ibu kasih waktu 10 menit, habis itu kita mulai latihan."

Anak-anak menyapa Shinta dengan antusias. Mereka memuji kecantikan sang kakak baru. Shinta dengan cepat menjadi akrab. Waktu 10 menit telah selesai. Putri memberi isyarat kepada para muridnya agar kembali berbaris rapi. Dia akan segera memulai pelajaran.

"Hari ini, kita akan mempelajari Tari Ketuk Tilu. Tari ini berasal dari Jawa Barat dan merupakan cikal bakal Tari Jaipong."

Putri juga menjelaskan tentang sejarah dan makna dari Tari Ketuk Tilu. Tari Ketuk Tilu awalnya dipentaskan dalam perayaan panen sebagai rasa syukur. Namun, pada perkembangnnya, tarian ini ditampilkan sebagai hiburan dalam berbagai acara seperti pernikahan, pageralan masyarakat, khitanan dan lain-lain. Nama ketuk tilu sendiri berasal dari alat musik pengiringnya yang terdiri dari 3 ketuk atau bonang yang bisa mengeluarkan suara pola rebab, kendang indung, kendang kulanter. Kadang, gong dan kecrek juga digunakan untuk menambah kemeriahan. Tari Ketuk Tilu memiliki makna tersirat yaitu kegembiraan.

"Nah, sekarang kita masuk ke gerakan. Ada tiga istilah 3 G dalam tari ini, yaitu Geol, Gitek, dan Goyang yang melambangkan kesuburan. Untuk gerakannya ada Gerakan Bayang Kehidupan Wayang, Emprak, Depok, Pling atau Gibas, Gentus, Jaga Diri Irama, Ketangkasan Kehidupan, dan Tutup," tambah Putri.

Selanjutnya, dia langsung memperagakan gerakan yang telah disebutkan, juga makna dari tiap gerakan. Terakhir, Putri menampilkan tarian secara menyeluruh. Seperti biasa, anak-anak akan mengikuti di sesi berikutnya. Latihan akan diulang, sampai waktu pembelajaran selesai.

Waktu berlalu. Latihan menari sudah selesai. Anak-anak didik Putri satu per satu pulang. Awalnya, Shinta masih ingin tinggal sampai malam. Namun, telepon dari kakaknya membuat gadis cantik itu terpaksa ikut pamit pulang meskipun dengan wajah cemberut. Halaman panti yang tadinya ramai pun terasa sunyi. Putri berniat masuk ke rumah ketika orang suruhan Dirja mendekat.

"Permisi, benar dengan Mbak Putri?"

"Iya, benar. Ada yang bisa saya bantu?"

"Terlebih dulu, perkenalkan saya Rinto. Kedatangan saya ke sini atas suruhan bos saya. Ada hal penting yang harus saya sampaikan."

Putri mengerutkan kening. Dia terdiam untuk beberapa saat sebelum mengajak pria asing itu duduk di kursi teras. Tak lupa pula, Putri menyajikan dua cangkir teh di meja.

"Jadi, ada keperluan apa, ya, Pak Rinto dengan saya?"

***