"Saya menemui Mbak Putri untuk menyampaikan tawaran pekerjaan dari bos saya."
"Tawaran pekerjaan?"
Putri menatap curiga. Tawaran pekerjaan yang tiba-tiba datang dari orang asing setelah dipecat tentu menimbulkan prasangka. Sosok di hadapannya ini seolah-olah telah menunggu dan maju di saat yang tepat.
"Pekerjaan seperti apa yang Anda tawarkan? Dan sepertinya, Anda memata-matai saya, sehingga tahu kalau saya sedang memerlukan pekerjaan. Bukankah begitu, Pak Rinto?" tanya Putri lagi dengan sorot mata menodong.
Rinto menelan ludah. Biasanya, dia merasakan ancaman hanya di depan Dirja ataupun Aldi. Rinto tak menyangka akan terdesak oleh seorang gadis muda yang terlihat lemah. Ada aura dan wibawa seorang ratu dirasakannya terpancar dari diri Putri.
"Pak Rinto?"
"Maaf soal itu. Awalnya, saya melihat saat Anda menari dan merasa Anda orang yang tepat. Lalu, saya melihat Anda mendapat masalah di toko sepatu, sehingga tahu Anda memerlukan pekerjaan baru."
Rinto mengatur napas sejenak. Entah kenapa wajah dingin dan sorot mata tajam Putri terasa mencekik dan menguras energinya.
"Dan juga soal tawaran dari bos saya, Anda tenang saja. Ini bukan pekerjaan kotor, pekerja halal. Bos saya hanya memerlukan seseorang untuk merawat istrinya yang sakit."
Tatapan Putri malah semakin menodong. Tingkat kecurigaannya tampak meningkat. Rinto menjadi serba salah.
"Saya kira orang sakit lebih baik dirawat oleh perawat bersertifikasi. Saya seorang lulusan manajemen, bukan perawat," cecar Putri.
Rinto mengatur napas sejenak sebelum menyahut, "Istri bos saya sensitif terhadap orang asing."
Putri tertawa sinis. "Lalu, saya bukan orang asing?" tanyanya sarkastik.
Sebenarnya, Rinto terbiasa menghadapi berbagai jenis orang. Terkadang, dia bahkan harus menggunakan cara-cara yang terdengar kejam untuk mendesak. Tak ada satu pun target seberani Putri. Rinto segera menyadari gadis di hadapannya memiliki luka dalam di hati, juga pasti pernah mengalami kerasnya kehidupan. Dia menjadi sedikit heran dengan sikap tunduk dan patuh Putri saat bekerja di toko sepatu.
"Sepertinya, Anda kaget dengan sikap saya berbeda saat di toko sepatu, Pak Rinto. Kadang, demi menghadapi kerasnya dunia, kita memang perlu memiliki banyak wajah," tukas Putri tiba-tiba seolah bisa membaca pikiran Rinto.
"Ya, saya mengerti," sahut Rinto tanggap. Dia segera mengembalikan alur pembicaraan tentang tawaran pekerjaan dari Dirja. "Anda memang orang asing bagi Nyonya Besar, tapi wajah Anda sangat mirip dengan seseorang yang disayangi beliau. Kemampuan menari Anda pun mirip sekali."
Putri tercenung. Wajah sinisnya sedikit melunak, berubah sendu. Jika disebut mirip seseorang, yang terpikir olehnya hanya sang ibu, Arunika Saraswati. Ibu dan ayahnya memang pernah menjadi primadona di dunia seni. Dia pun berpikir istri bos Rinto salah seorang penggemar mereka.
Dehaman Rinto membuyarkan lamunan Putri. Wajah sendu berubah dingin dan penuh waspada kembali. Dia mengernyitkan dahi saat Rinto mengeluarkan map biru.
"Mungkin tawaran dari bos saya terasa mencurigakan. Saya mengerti kewaspadaan Anda. Oleh karena itu, saya sudah mempersiapkan ini."
Rinto meletakkan map biru di meja. Kerutan di kening Putri bertambah. Dia lalu membuka map perlahan. Sorot matanya masih menunjukkan kewaspadaan. Dia mulai membaca isi dokumen.
Lembar pertama berisi bayaran yang bisa didapatkan dari pekerjaan. Gaji, bonus, dan fasilitasnya cukup menggiurkan. Putri mulai mempertimbangkan tawaran mencurigakan itu.
Selanjutnya, dia membuka lembar kedua. Bagian tersebut berisi daftar tugas selama menjadi perawat sang nyonya. Tak ada yang aneh, benar-benar sangat profesional dan memang seharusnya diserahkan kepada seorang perawat. Putri tak ambil pusing karena ada poin pelatihan sebelum melakukan pekerjaan. Artinya, dia tak akan langsung dilepas tanpa keterampilan.
Namun, Putri tercekat saat membuka lembar terakhir. Ya, nama yang tertera sebagai pihak pertama atau bos Rinto membuat amarah mengumpul dalam dada. Dirja Angkasa Permana jelas tertulis di bawah tanda tangan yang juga Putri kenali, pemilik PT. Karya Lestari, sumber penderitaan selama ini.
Kebencian terasa membakar. Sorot mata yang dingin menjadi sangat menyeramkan, hingga sosok sekelas Rinto tanpa sadar menenggak teh panas sampai habis. Namun, Putri mendadak tercenung. Dia mengingat pekerjaan yang ditawarkan adalah merawat istri Dirja. Benaknya segera terkenang dengan wanita tua penyayang yang dulu begitu memanjakannya.
"Eyang Sulis ...," lirih Putri tanpa sadar.
Rinto tersentak. Rasa terancam mendadak sirna saat sorot mata Putri berubah sendu dan memancarkan kerinduan mendalam. Namun, dia sedikit bingung karena seperti mendengar Putri menyebut nama istri bosnya dengan akrab.
"Ya, ada apa, Mbak Putri?" tanyanya.
"Bukan apa-apa. Saya sedang membaca nama nenek yang harus dirawat, Sulistyawati. Nama beliau indah," kilah Putri.
Rinto mengangguk-angguk. "Iya, Nyonya juga cantik dan baik hati. Jadi, Mbak Putri tidak perlu khawatir. Nyonya tidak seperti atasan Anda di toko sepatu dulu."
Putri diam-diam mengepalkan tangan di bawah meja sembari mengatur raut wajahnya agar tidak menimbulkan kecurigaan. Job desk yang tertera di dokumen seperti perawatan pasien lumpuh akibat struk. Dia tentu tak sampai hati membayangkan wanita tua bak peri itu dalam keadaan memprihatinkan.
Setelah menenangkan hati dengan susah payah, barulah Putri kembali bicara. "Beliau sakit apa, Pak? Kalo dilihat dari job desk yang harus dikerjakan, seperti penyakit yang parah."
"Mohon maaf, Mbak Putri. Saya tidak bisa memberitahukan hal tersebut sebelum Anda menandatangani kontrak kerja," sahut Rinto diplomatis.
Putri terdiam. Sebenarnya, menerima tawaran pekerjaan adalah jalan terbaik untuk menggali informasi tentang Dirja dan PT. Karya Lestari. Seingat Putri, Dirja memiliki ruang kerja khusus di rumahnya. Kemungkinan besar data-data penting bisa ditemukan di sana. Kesempatan semacam itu tidak akan datang dua kali. Namun, dia khawatir akan goyah jika nantinya berhadapan dengan Sulistyawati.
"Jadi bagaimana, Mbak Putri?" Suara Rinto membuyarkan lamunan Putri.
"Baiklah, saya akan menerima tawaran bos Anda."
Putri telah membuat keputusan. Dia tak ingin menyia-nyiakan peluang besar menghancurkan Dirja. Rinto tampak tersenyum puas mendengar jawaban Putri.
"Terima kasih, Mbak Putri. Anda bisa tanda tangan surat kontraknya."
Rinto meletakkan pulpen di meja. Putri mengambilnya dan membubuhkan tanda tangan di tempat yang tersedia. Sekarang, dia telah resmi menjadi perawat Sulistyawati. Rinto pun menjelaskan keadaan depresi dan kelumpuhan sang nyonya setelah musibah yang menimpa murid kesayangan.
Putri menggigit bibir. Jika memperturutkan perasaan, dia pasti akan memaksa Rinto agar segera membawanya ke kediaman Dirja. Kerinduan kepada Sulistyawati bercampur aduk dengan rasa cemas. Namun, Putri tahu tindakan seperti itu akan mengundang kecurigaan. Dia hanya bisa menahan semuanya dan berusaha keras memasang raut wajah profesional.
"Jadi, kapan saya akan mulai bekerja?" tanyanya setelah berhasil menguasai emosi.
"Anda akan mendapat pelatihan selama seminggu mulai besok. Setelah itu, Anda bisa mulai bekerja," jelas Rinto.
Dia juga memberikan jadwal pelatihan secara terperinci. Setelah penjelasan dirasa cukup Rinto pun berpamitan. Putri mengantarkan lelaki paruh baya itu hingga meninggalkan gerbang panti asuhan.
***