Aldi segera mengirimkan pesan kepada Shinta.
["Shinta, maaf Abang tidak jemput karena ada urusan penting. Nanti Abang suruh Rama jemput."]
["Ah, oke, Bang."]
Aldi merasa lega, tetapi sedikit jengkel. Lega karena ternyata Shinta tidak keberatan permintaannya ditolak, padahal biasanya bisa mengambek berhari-hari. Namun, dia juga agak cemburu karena sang adik seolah-olah lebih senang jika Rama yang menjemput. Seorang kakak overprotektif memang seringkali tak rela ketika adik mulai jatuh cinta.
Setelah mendapat pesan balasan dari Shinta, Aldi segera menghubungi Rama. Dia meminta pemuda itu untuk menjemput adiknya. Urusan Shinta telah beres, barulah dia membalas pesan Rani.
["Iya, Rani. Saya bisa setelah jam pulang kantor, mungkin jam 5. kita ketemu di mana?"]
Tak ada balasan. Aldi berpikiran positif bahwa Rani sedang sibuk. Menurut Gilang, sejak setahun terakhir, karir Rani sedang berada di puncak. Tawaran film dan iklan seperti tak ada habisnya. Wajar jika gadis itu sekedar terlambat membalas pesan.
Aldi pun kembali menggarap pekerjaannya. Ada sekitar sepuluh berkas kontrak kerja sama yang harus diperiksa. Dia tak mau asal tanda tangan. Setiap dokumen akan dibaca dengan seksama. Tak peduli relasi dari perusahaan besar, jika terdapat celah, Aldi tak akan meloloskannya dengan mudah.
Drrrt drrt
Tepat 2 jam setelah Aldi berjibaku dengan berkas-berkas, ponsel kembali bergetar. Sebuah pesan balasan dari Rani. Aldi meletakkan pena dan menutup dokumen yang ketujuh, untuk membuka pesan.
["Di mall yang dekat kantor Abang aja. Sekalian Rani mau coba menu di resto punya temen, Bang."]
["Oke."]
Aldi menyimpan ponsel dan mengambil pena. Dia kembali larut dalam pekerjaan.
***
Sesuai janji, Aldi bertemu Rani di salah satu resto dalam mal yang tak jauh dari kantornya. Seperti pertemuan pertama, mereka awali dengan basa-basi bertukar kabar, lalu hening. Keduanya lebih memilih menyantap hidangan di meja meskipun Rani hanya makan setengahnya dengan alasan diet.
Usai makan, mereka kembali terjebak hening hingga Rani buka suara. Dia memberikan jawaban mengenai permintaan Aldi beberapa hari yang lalu. Meskipun sempat berbelit-belit, tetapi intinya Rani mau menjadi pacar pura-pura.
"Jadi, kamu setuju? Apa kamu benar-benar yakin?" tukas Aldi mencoba memastikan.
"Iya, Bang. Awalnya, Rani ragu, tapi kepikiran kesian juga Abang," sahut Rani dengan tatapan iba, seolah-olah ikut prihatin dengan hal buruk yang menimpa Aldi.
"Terima kasih, Rani."
"Sama-sama, Bang."
Keduanya lagi-lagi terjebak keheningan. Namun, Rani tampak gelisah. Dia seperti ingin bicara, tapi tak enak hati. Aldi yang tadi sempat sibuk membalas pesan dari bawahannya mengalihkan pandangan.
"Ada apa, Rani? Ada yang ingin kamu sampaikan?"
"Umm anu ... ah enggak usah aja, Bang."
"Bilang aja, Ran. Gak usah sungkan. Kamu juga sudah bantu saya."
Rani tampak gugup meskipun hanya akting. Sesuai nasihat Gilang, dia akan menampilkan kesan gadis kalem dan pemalu. Rani harus menunjukkan kalau dirinya menyesali kekonyolan di masa lalu dan berubah menjadi lebih dewasa.
Gadis itu bahkan menghitung sampai 30 dalam hati, sebelum melanjutkan ucapannya. "Bang, Rani boleh minta tolong juga?"
Aldi mengerutkan kening. "Ya?"
"Kalo Abang enggak sibuk atau ngerasa repot aja sih. Rani minta ditemani belanja sebentar. Minggu depan Tiana ulang tahun, mau nyari kado gitu. Kalo belanja sendiri rasanya aneh aja."
"Ya, boleh. Asal jangan sampai kemalaman. Bahaya kalo kamu pulang kemalaman."
"Terima kasih, Bang," ucap Rani dengan pipi bersemu.
Kali ini, dia tidak sedang berakting. Rani memang merasa tersanjung karena Aldi tampak mencemaskannya. Namun, sebenarnya, Aldi hanya berkilah saja, padahal tak ingin berlama-lama bersama gadis itu.
Setelah Aldi menyelesaikan pembayaran, mereka pun keluar dari restoran. Rani memilih beberapa toko. Dia sengaja terlihat kebingungan agar bisa beralasan belanja lebih lama. Sudah dua kali mereka memutari mal. Wajah Aldi mulai menunjukkan rasa jengah. Rani menyadarinya dan segera bertindak.
"Kayaknya sepatu aja deh, Bang. Itu butik sepatu langganan aku," celetuk Rani sembari menunjuk butik tempat kerja Putri.
Aldi sedikit terkejut. Butik tersebut adalah milik neneknya. Memang tidak banyak orang tahu karena Sulistyawati ingin usahanya itu maju tanpa mendompleng nama sang suami. Namun, setelah mengalami depresi, dia tak memungkinkan lagi mengurus butik, sehingga dipercayakan kepada tangan kanannya.
Tinggal sepuluh langkah menuju butik, ponsel Aldi bergetar. Wajah pemuda itu seketika semringah saat melihat nama pengirim pesan. Ya, detektif yang dibayarnya untuk penyelidikan Wulan meminta untuk ditelepon karena ingin memberikan informasi terbaru.
Aldi tak mungkin membicarakan Wulan di sekitar Rani. Meskipun Rani tampak berubah, dia belum percaya sepenuhnya. Aldi berpikir keras hingga sebuah ide melintas.
"Ran, kamu masuk saja duluan, saya mau ke toilet," kilahnya.
"Iya, Bang."
Aldi bergegas menuju toilet. Rani mendecakkan lidah. Sebenarnya, dia sempat mengintip pesan detektif itu. Tentunya, Rani merasa cemburu kepada sosok Wulan. Seandainya menurutkan emosi, dia ingin merebut ponsel Aldi dan memblokir nomor detektif. Namun, pesan Gilang untuk bersikap kalem selalu terngiang-ngiang.
Saat melihat Putri tengah menata sepatu di etalase, timbullah ide gila dalam pikiran Rani. Dia berniat melampiaskan amarahnya. Rani tak perlu khawatir ketahuan Aldi karena kedatangan pemuda itu akan langsung terlihat, sehingga akting menjadi peri baik hati bisa cepat dilakukan.
Rani menyeringai saat memasuki toko. Putri segera menghampiri dan menyambut dengan ramah meskipun hati waspada. Seperti sebelumnya, Rani tetap bersikap angkuh. Dia meminta dipasangkan sepatu. Saat Putri sedikit lengah, dia melepaskan peniti di brosnya, lalu memasukkannya ke sepatu.
"Aduh, sakit!" seru Rani tiba-tiba. Dia merenggut sepatu dan mengeluarkan peniti. "Ada peniti di sini! Kamu sengaja, ya! Kamu dendam padaku, 'kan?" tuduhnya bertubi-tubi.
"Tapi, Kak, tadi sudah saya periksa, tidak ada apa-apa didalam sepatunya." Putri mencoba membela diri.
Namun, manajer tiba-tiba menghampiri mereka. Putri sudah bisa merasakan firasat buruk saat melihat wajah sinis wanita parah baya galak itu. Sementara Rani membuat ekspresi seolah-olah paling teraniaya sedunia.
"Saya mendengar teriakan kesakitan Nona Rani. Apa yang terjadi, Nona?" tanya si manajer dengan raut muka sok perhatian.
"Dasar penjilat!" umpat Putri dalam hati.
"Karyawan ini lagi-lagi membuat masalah. Dia memasukkan peniti ke dalam sepatu yang akan saya coba. Sepertinya, dia dendam sama saya karena kejadian kemarin itu."
"Saya tidak melakukannya, Bu Manajer. Kalau Anda tidak percaya bisa periksa CCTV tok—"
"Diam kamu, Putri. Ayo minta maaf!" bentak manajer.
Putri merasa sangat dongkol, sehingga timbul keinginan untuk mengerjai si manajer. "Diam atau minta maaf, Bu?" tanyanya dengan pura-pura polos.
"Minta maaf, bod*h!"
Putri membungkukkan badan sedikit di hadapan Rani. "Saya minta maaf, Kak," ucapnya dengan tak ikhlas.
Rani mengibaskan tangan. "Menyingkirlah, saya enek liat muka kamu!"
"Putri, bereskan gudang sana!" perintah manajer.
"Baik, Bu."
Putri pun segera menuju gudan. Sebenarnya, dia pun sudah muak melihat wajah angkuh Rani. Sementara itu, manajer bermanis-manis, berusaha menjilat sang nona kaya agar menghabiskan banyak uangnya di toko. Usahanya berhasil. Rani membeli tiga buah sepatu sekaligus.
Setelah menyelesaikan pembayaran, Rani ke luar toko. Dia juga mengirimkan pesan kepada Aldi.
["Bang, aku udah selesai di butik tadi, kita ketemunya ke toko kue Mommy Love aja."]
***
Putri diam-diam menghela napas berat. Sebenarnya, dia sudah menduga sejak gadis sombong kaya itu membuat masalah lagi. Namun, ketika berhadapan dengan ancaman pemecatan tetap terasa menyakitkan. Ya, kini dia tengah diadili secara tidak adil oleh manajer.
"Saya sudah peringatkan sebelum-sebelumnya. Kesempatan kamu hanya tinggal sekali, tapi ternyata memang bebal," omel si manajer.
Putri tak menyahut. Dia cukup cerdas untuk tidak menambah masalah baru. Ketika berhadapan dengan kekuasaan, lebih baik jangan banyak tingkah. Begitulah prinsip hidupnya.
"Jadi, seperti yang sudah saya katakan di peringatan terakhir, kamu sudah tidak bisa bekerja di sini. Kami harus menjaga kualitas karyawan," jelas manajer dengan nada angkuh.
"Ck! Justru modelan kayak Anda itu yang merusak performa toko!" umpat Putri, tentu hanya dalam hati.
"Baik, Bu. Saya mengerti."
Manajer menyodorkan amplop. "Nah, ini gaji kamu bulan ini dihitung dari hari kamu sudah kerja. Tentunya dipotong untuk mengganti kerugian akibat keluhan konsumen."
"Terima kasih, Bu," sahut Putri seraya menerima amplop. "Jika sudah tidak ada yang dibicarakan lagi, saya permisi," pamitnya.
Putri ke luar dari ruangan manajer. Rekan kerjanya segera menghampiri. Dia menatap iba dengan mata berkaca-kaca. Meskipun mulut Putri kadang pedas, hampir semua rekan kerja menyukainya kecuali si manajer dan antek-anteknya. Putri adalah pekerja keras, berdedikasi tinggi, dan pandai menarik minat pembeli. Jika Putri menawarkan produk, sangat jarang gagal transaksi.
"Put, kamu baik-baik aja?" Sang kawan menepuk bahu Putri dengan lembut.
Putri tertawa hambar. "Ya mana mungkin baik-baik aja. Ya, tapi apa boleh buat. Kita, kan, tidak bisa melawan kekuatan duit dan kekuasaan. Aku pamit, ya."
"Putri ...." Sang kawan memeluk Putri erat.
Sementara itu, orang kepercayaan Dirja menyimak dengan seksama. Dia memang ditugaskan untuk memata-matai Putri agar mendapatkan celah. Hari ini, kesempatan itu telah tiba. Dia pun segera mengirim pesan kepada Dirja.
["Tuan Besar, kita sudah mendapatkan celah. Gadis itu dipecat secara tidak adil dari salah satu butik milik Nyonya. Kita bisa menawarinya pekerjaan."]
Pesan balasan Dirja masuk.
["Baiklah, jalankan rencana selanjutnya."]
["Apa maksudmu dengan tidak adil?"]
Mata-mata berpikir sejenak sebelum mengirmkan pesan lagi.
["Putri Pak Broto membuat keributan, tetapi yang disalahkan tetap gadis penari itu. Sepertinya, laporan kinerja buruk manajer di sini memang benar, Tuan."]
Tak lama kemudian, Dirja membalas pesan.
[Aku akan mengusutnya nanti."]
***