Chereads / Bidadari Matre / Chapter 14 - Bagian 16

Chapter 14 - Bagian 16

"Lo Aldi, 'kan? Renaldi Joko Permana?"

Aldi mengerutkan kening dan memicingkan mata. Dia mencoba mengenali sosok yang tadi menepuk bahunya. Wajah persegi berahang kokoh itu terasa familiar. Namun, otak Aldi tak bisa mengingat kenalan dengan tampilan seperti itu, pemuda bekulit eksotis yang sebenarnya lumayan tampan, tetapi tertutupi oleh model rambut jabrik bercat pirang yang tak cocok dengan garis wajahnya.

"Ini gue, Al, Paijo. Paijo Wiryawan, si cupu."

Aldi langsung teringat dengan satu-satunya teman yang dimiliki setelah ulah Rani. Sosok berkacamata tebal dengan rambut belah tengah dan ke mana-mana membawa buku telah berubah begitu rupa. Jangankan Aldi, saat Paijo memutuskan berganti gaya, ibunya sendiri hampir mengira maling masuk rumah. Namun, bukannya instropeksi diri, dia malah semakin percaya diri.

Meskipun sempat syok dengan penampilan baru sahabatnya, Aldi dengan cepat menguasai diri. Biar bagaimanapun tampilan barunya, dia bisa melihat ketulusan masih terpancar dari sorot mata Paijo.

"Ah lo, Jo? Sorry, gue pangling. Lo banyak berubah dari yang dulu," ucap Aldi diplomatis untuk tidak mengatakan penampilan Paijo aneh.

"Ya jelas lo pangling. Gue jadi keren gila, kan, sekarang," cerocos Paijo sambil membusungkan dada.

Aldi seketika tersedak. Paijo tampak kebingungan, tetapi tak lama. Dia dengan sigap menyodorkan botol air mineral dengan tatapan khawatir. Kebaikan-kebaikan penuh ketulusan semacam itulah yang membuat Aldi dulu betah berteman dengan Paijo.

"Terima kasih, Jo. Tapi tenggorokan gue udah enakan."

Paijo menyimpan kembali botol air mineral di tas. "Gua ke sini ziarah ke makam Bapak. Kalo lo, ziarah ke makam siapa, Al? Bapak sama ibu lo?" tanyanya.

"Bukan, Ini makam guru tari gue," sahut Aldi.

Paijo mengangguk-angguk. Kemudian, dia ikut duduk di samping makam dan mengajak Aldi berdoa bersama. Mereka terjebak hening untuk beberapa saat. Angin semilir berembus, menjatuhkan kembali bunga kamboja.

"Hari ini, lo sibuk, Al?" tanya Paijo memecahkan keheningan.

"Lumayan luang, kenapa, Jo?"

"Kita, kan, udah lama gak ketemu, ngobrol-ngobrol dulu yok," ajak Paijo.

"Bolehlah."

Akhirnya, Paijo mengajak Aldi ke kafe buku miliknya. Begitu memasuki pintu dengan desain mirip sampul buku, mereka disambut aroma lezat kue yang berpadu dengan bau khas perpustakaan. Rak-rak buku model estetik berdiri kokoh dengan susunan unik. Aneka buku mulai dari tema berat seperti ilmu filsafat hingga novel remaja yang ringan tersedia.

"Benar-benar khas Paijo," gumam Aldi dalam hati.

Paijo mengajak Aldi duduk di meja nomor empat. Dia juga meminta karyawannya untuk menyediakan menu unggulan kafe. Sembari menunggu mereka mengobrol, mulai dari bertanya kabar hingga nostalgia masa lalu.

Tak terasa hidangan telah datang. Dua gelas teh tarik dan sepiring kue dengan berbagai varian. Paijo mempersilakan Aldi untuk menikmatinya. Aldi berterima kasih, lalu mencicipi kue. Dia sedikit terkejut.

"Kue ini mirip rasanya kayak katering langganan gue, Jo," komentarnya.

"Apa nama kateringnya? Kok bisa-bisanya mau nyamain kue emak gue?" Paijo emosi.

"Katering Emak Paijo—" Aldi tersentak. "Eh? Jangan-jangan katering emak lo, Jo?"

Paijo menepuk kening. "Lah, itu emang katering emak gue."

Mereka berdua tergelak. Beberapa gadis pengunjung kafe seketika mengalihkan pandangan. Saat tertawa lepas, ketampanan Aldi memang meningkat berkali lipat.

"Terakhir, gue pesan buat pembukaan Hotel Diamon Inn."

Paijo kembali menepuk kening. "Lah, pas orderan ke situ, malah gue yang nganterin."

"Sayangnya, kita lost contact jadi sama-sama enggak tau, padahal bisa ketemu," timpal Aldi.

"Ya, ya, tapi pasti kalo ada acara resmi begitu lo juga sibuk. Syukurlah kita kebetulan ketemu hari ini."

Selanjutnya, mereka hanya mengobrol ringan. Sesekali Aldi tertawa saat Paijo melemparkan lelucon garingnya. Persahabatan mereka memang unik. Meskipun begitu tetap membuat Aldi merasa nyaman. Dia yang biasanya dingin, kaku, dan menyebalkan saat bersama Paijo bisa lebih ceria, melepaskan beban.

"Jadi, gitulah, Al. Gebetan gue kayak risih gitu," keluh Paijo saat menceritakan Tyas.

"Lo mau gue jujur, enggak? Tapi, jangan tersinggung."

"Jujur ajalah, Al."

"Kayaknya gue ngerti kenapa gebetan lo menghindar. Gue tau, lo ngerasa keren sama penampilan sekarang, tapi lo akan lebih baik kalo model rambut lo diganti model cepak ala army, lebih cocok sama bentuk wajah lo," cetus Aldi hati-hati.

Bukannya tersinggung, Paijo malah menunjukkan ekspresi kagum. "Kok bisa samaan, Al?"

Aldi mengerutkan kening. "Apanya yang sama, Jo?"

"Pendapat lo sama kayak yang diomongin sahabat gebetan gue. Jangan-jangan kalian jodoh?" canda Paijo.

Aldi tampak kesal. "Lo tau, kan, cuma Wulan yang ada di hati gue."

"Iya, iya, maap." Paijo menyengir lebar. "Ngomong-ngomong soal cinta pertama lo itu, sudah sampai mana pencariannya? Apa mulai ada titik terang?"

Aldi menggeleng lemah. Dia juga menceritakan rumor buruk yang tengah dihadapi dan kesepakan konyol dengan Rani. Paijo tampak kurang setuju karena tak percaya Rani benar-benar berubah. Terlebih, ketika mengingat gadis sombong bernama Rani di taman. Wajahnya memang berbeda, tetapi masih memiliki sedikit kemiripan terutama bagian mata. Namun, pada akhirnya Paijo berusaha menghargai keputusan Aldi.

***

Ruangan presiden direktur PT. Karya Abadi terasa mencekam. Dua orang pria berbeda usia duduk berhadapan dengan wajah muram. Pria yang lebih tua menunduk. Sementara pria lebih muda mengetuk-ngetuk meja.

Direktur personalia baru saja memberikan laporan kepada Aldi mengenai bonus yang belum bisa dicairkan oleh bagian keuangan. Akibatnya, terjadi kegaduhan di antara para karyawan. Hal seperti itu memang bisa menyebabkan tingkat kepercayaan terhadap pimpinan perusahaan menurun. Jika kondisi tersebut dibiarkan, kinerja juga akan menurun, lebih parah lagi perusahaan akan kehilangan karyawan-karyawan kompeten.

"Jadi, apa kita buat pengumuman penundaan bonus, Pak? Saya akan mencoba membuat alasan yang logis. Paling tidak, kita bisa menenangkan karyawan untuk sementara sampai keuangan bisa dipulihkan kembali," usul direktur personalia.

"Tidak bisa. Hal itu terlalu beresiko, bisa memicu kegaduhan yang lebih besar," tolak Aldi. Dia menghela napas berat. "Saya memang sudah mengumpulkan bukti untuk mendepak tikus-tikus busuk itu dari bagian keuangan, tapi memerlukan waktu lama untuk memulihkan akibat perbuatan mereka."

"Jadi, apa yang harus kita lakukan, Pak?"

"Turunkan bonusnya besok!"

"Eh, ya?"

"Berikan bonus kepada karyawan besok!" ulang Aldi.

"Jika uang sebanyak itu, dikeluarkan paksa saat keuangan perusahaan sedang guncang seperti saat ini, perusahaan bisa-bisa jatuh, Pak."

"Bukan uang perusahaan maksud saya," tukas Aldi.

Direktur personalia mengerutkan kening. Sementara itu, Aldi membuka laci dan mengeluarkan buku cek. Dia merobek selembar dan menuliskan beberapa digit angka. Direktur personalia terperangah.

"Pak Aldi, itu uang pribadi Anda, 'kan?"

"Ya." Aldi telah selesai menulis. Dia menyerahkan cek kepada direktur personalia yang menerimanya dengan canggung.

"Tapi, Pak Aldi ...."

"Tidak perlu cemas. Uang bisa dicari, tapi karyawan yang berdedikasi dan kompeten memerlukan waktu tak sebentar untuk melatihnya. Kita tidak boleh kehilangan mereka."

Mata direktur personalia tampak berkaca-kaca. Tatapannya persis seorang ayah yang bangga terhadapa kedewasaan anaknya. Dia memang teman ayah Aldi dan menganggap Aldi seperti anak sendiri.

"Anda benar-benar mirip Pak Dirga. Selalu mengutamakan karyawan, memikirkan nasib orang kecil."

"Tidak ada orang kecil. Perusahaan sebesar apa pun tidak akan bisa berdiri kokoh tanpa karyawan dengan kompetensi mumpuni."

Direktur personalia tampak semakin haru. Aldi tak suka suasana melankolis, terlebih jika itu harus membangkitkan kembali luka masa lalunya.

"Pokoknya Bapak lakukan saja seperti instruksi saya tadi. Anda bisa kembali ke ruangan Anda. Terima kasih sudah bekerja dengan sangat baik, Pak Dion."

"Terima kasih kembali, Pak Aldi. Saya permisi dulu."

Direktur personalia pun ke luar ruangan. Begitu pintu tertutup sempat, Aldi seketika menghela napas berat. Dia memejamkan mata sejenak sembari memijat kening.

Kadang, Aldi ingin melepaskan saja semuanya. Toh, dia tidak akan mati jika turun jabatan atau bahkan didepak dari perusahaan sekalipun. Aldi hanya perlu pergi ke luar negeri, lalu melamar pekerjaan di sana. Relasinya cukup banyak dan takkan menolak mengingat kompetensinya tak main-main.

Namun, Aldi tak bisa hanya menyelamatkan diri sendiri. Ada kehidupan ribuan karyawan menjadi taruhan. Dia tahu kandidat penerus perusahaan keluarga yang lain tak kompeten dan serakah. Sekarang saja ketika kakeknya masih berkuasa, orang-orang itu sudah mulai menggembosi dengan nepotisme tinggi di perusahaan utama. Karyawan kompeten jika tak pandai menjilat akan mendapat ketidakadilan. Aldi bisa membayangkan masa depan suram perusahaan dan para karyawan jika mereka benar-benar berkuasa.

Drrt drrt

Getaran ponsel membuyarkan lamunan Aldi. Dia mengambil ponsel dengan malas. Ada notifikasi dua pesan masuk melalui WA, satu dari Shinta, sedangkan yang lainnya dari Rani. Aldi membuka pesan.

[Shinta: "Bang, nanti kalo pulang kerja bisa jemput Shinta enggak? Shinta lagi latihan nari. Nanti alamatnya di-shareloc.]

[Rani: "Bang, mohon maaf menganggu. Apa sore ini bisa ketemu? Rani mau ngasih jawaban soal yang kemarin.]

Aldi mendecakkan lidah. Dia terjebak dilema. Shinta bisa mengambek kalau tidak dijemput. Tetapi, dia juga takut Rani akan berubah pikiran kalau pertemuan ditunda. Setelah berpikir cukup lama, Aldi pun membuat keputusan.

***