Chereads / Bidadari Matre / Chapter 13 - Bagian 15

Chapter 13 - Bagian 15

Dua anak tengah menyantap hidangan dengan lahap. Mereka sedang menghadiri upacara pernikahan bibi dari si anak lelaki. Usai makan, anak perempuan menatap lama ke panggung di mana kedua mempelai tengah menyalami tamu.

"Kenapa, Lan?"

"Enggak apa-apa, Mas. Aku cuma seneng aja liat Bibi Cici cantik banget pake baju penganten."

"Wulan pasti lebih cantik kalo pake baju penganten."

Anak perempuan terkekeh. "Aku, kan, masih kecil."

"Iya, nanti kalo sudah besar. Wulan jadi pengantinnya Mas Joko," ucap si anak lelaki mantap.

Namun, wajah penuh keyakinannya berubah menjadi penuh kesakitan. Ya, telinga si anak lelaki tengah dijewer oleh ibunya.

"Masih kecil sudah ngomong nikah-nikah, belajar dulu yang benar, kumpulin banyak duit baru kamu boleh menikahi Wulan yang imut," omel sang ibu.

"Aduh, Ma! Mama itu mamanya Wulan atau mamaku?"

"Mama kamu, tapi lebih sayang Wulan karena lebih manis."

...

Alarm membangunkan Putri. Dia mendecakkan lidah begitu menyadari ada yang terasa basah di sudut mata. Kebencian yang selalu dipertahankan ternyata tak cukup untuk menghapus kerinduan kepada sosok Joko. Bahkan di mimpi kali ini ibunya Joko juga muncul. Wanita yang selalu galak pada Joko, tetapi sangat memanjakan Wulan.

Kadang, Putri juga goyah jika teringat Joko, Shinta, ibu, dan nenek mereka yang tak bersalah. Bukankah sumber kebenciannya adalah ayah dan kakek Joko? Jika rasa gelisah itu datang, dia mendadak hendak mengurungkan balas dendamnya. Namun, kilas balik insiden mengerikan seolah menampar, membangkitkan kembali kebencian dalam benak.

"Argggh! Aku tidak boleh goyah! Aku harus menghancurkan PT. Karya Lestari. Mas Joko dan Shinta toh tidak akan mati meskipun perusahaan itu bangkrut!"

Putri mengepalkan tangan dengan kuat.

"Aku akan menghancurkan perusahaan kalian, Eyang Dirja ... sampai tak bersisa!" serunya berapi-api.

Sebenarnya, Putri sudah sering memasukkan surat lamaran ketika PT. Karya Lestari membuka lowongan pekerjaan. Dia bertekad untuk menghancurkan dari dalam

Namun, usahanya tersebut belum membuahkan hasil karena selalu kalah dengan pesaing yang menggunakan orang dalam. Kadang, dia berpikir bisa saja perusahaan malah runtuh dengan sendirinya jika nepotisme macam itu terus berulang.

Alarm berbunyi lagi. Hari itu, Putri mendapatkan shift pagi. Dia harus segera berpisah dari kasur dan bersiap-siap untuk bekerja. Namun, hati masih digayuti kegelisahan.

Putri memejamkan mata sejenak. Dia menarik napas dalam-dalam dan mengembuskannya perlahan. Setelah mengulang pengaturan napas hingga 10 kali, perasaanya menjadi tenang. Dia pun segera bangkit dari tempat tidur, meninggalkan Tyas yang masih mendengkur sambil menggaruk pantat.

***

Putri merapatkan sweater yang dikenakannya. Semakin larut, angin malam memang semakin menusuk, terlebih di malam suram tanpa sinar rembulan. Penghuni panti sudah terlelap di kamar masing-masing. Namun, Putri masih betah duduk di teras menikmati kesunyian malam hanya dengan ditemani secangkir kopi hitam.

Kerinduan pada kenangan manis masa lalu, kebencian karena dendam kesumat, dan rasa lelah akibat ketidakadilan di tempat kerja bercampur aduk. Menatap langit malam sedikit meredakan kegelisahan jiwanya. Putri juga masih enggan tidur karena khawatir akan memimpikan lagi kejadian masa lalu bersama Joko.

"Kamu baik-baik saja, Nak?"

Suara lembut yang familiar membuat Putri tersentak. Dia berbalik. Asih, ibu panti menatapnya cemas.

"Eh, Ibu," ucap Putri canggung.

Asih menghampiri Putri, lalu duduk di samping gadis itu. Beliau menatap lembut, seolah sedang meminta Putri untuk berbagi cerita. Namun, gadis itu hanya membisu, tak ingin menceritakan lukanya. Akhirnya, mereka terjebak kesunyian.

Waktu berlalu. Putri menjadi merasa bersalah. Seharusnya, ibu panti sudah tidur dan beristirahat, tetapi malah menemaninya di sini.

"Ibu masuklah, nanti masuk angin. Aku masih ingin menghabiskan kopi ini. Sebentar lagi juga masuk," celetuk Putri setelah memikirkan kata-kata yang tepat untuk meminta Asih agar beristirahat.

"Ibu mana yang tega membiarkan putrinya bersedih."

Putri terkekeh canggung. "Sedih apanya, Bu. Aku enggak papa kok."

"Put ...," Asih terdiam sejenak, "Kamu keliatan lagi banyak pikiran. Kalo ada masalah, kamu bisa cerita sama Ibu. Kalo bisa, insyaallah, Ibu bantu," lanjutnya dengan tatapan lembut dan hangat yang selalu mampu meluluhkan hati Putri.

"Entahlah, Bu. Apakah ini bisa disebut masalah atau tidak. Akhir-akhir ini aku selalu bermimpi. Mimpi-mimpi itu sangat mengangguku."

"Apakah kamu mimpi buruk, Nak? Kadang, kita bisa mimpi buruk jika terlalu lelah. Ibu lihat kamu memang bekerja sangat keras. Kerja di toko, melatih menari, kadang ikut kerja paruh waktu jangka pendek."

"Bukan, Bu." Putri terdiam sejenak. Senyuman Joko dan tawa polos Shinta membayang, membuat matanya terasa panas. "Itu ... justru mimpi yang indah."

Asih menjadi keheranan. Putri tersenyum hambar sebelum menceritakan apa yang dialaminya akhir-akhir ini. Masalah di tempat kerja berujung dengan menyelamatkan orang mabuk. Asih langsung memasang raut wajah cemas mendengar kata mabuk.

"Tenang saja, Bu. Pemuda itu tidak berbuat jahat, dia hanya berteriak-teriak tak jelas saja."

Setelah memastikan Asih sudah terlihat tenang, Putri melanjutkan ceritanya.

"Mungkin karena garis wajah pemuda itu sedikit mirip dengan teman di masa kecil, aku jadi sering memimpikan kembali kenangan-kenangan indah kami di masa lalu."

"Jika itu mimpi yang indah, kenapa malah membuatmu bersedih?"

"Entahlah, Bu," sahut Putri mengambang.

Sebenarnya, dia tahu jelas jawabannya. Mengingat masa-masa indah membuat kebenciannya bisa saja memudar. Hal itu tentu bisa menganggu rencana balas dendam yang telah dirancang bertahun-tahun. Namun, Putri tak mungkin mengatakan alasan tersebut kepada ibu panti yang berhati mulia dan hangat. Beliau pasti akan berusaha mencegahnya.

"Ibu ..."

"Ya, Put?"

"Ini mungkin sedikit kekanak-kanakan, tapi bolehkan aku memeluk Ibu?"

Asih terkekeh, lalu menarik Putri ke dalam dekapannya. "Seorang anak akan selalu menjadi anak-anak di mata seorang ibu," bisiknya lembut.

Putri memejamkan mata. Usapan tangan hangat dan aroma lembut dari tubuh Asih membuatnya sangat nyaman. Bahkan suara detak jantung teratur wanita bersahaja itu terdengar seperti lagu pengantar tidur yang indah bagi Putri. Meskipun begitu, kerinduannya kepada orang tua kandung tetap belum terpuaskan. Akhirnya, Putri berniat untuk mengunjungi makam orang tuanya besok.

***

Aldi memasuki komplek Pemakaman Rumah Abadi. Kakinya terasa berat, tetapi tetap dipaksa untuk melangkah. Aroma daun pandan bercampur melati menyegarkan penciuman meskipun kadang juga bisa meremangkan bulu kuduk.

Hari itu, pemakaman yang biasanya sunyi agak ramai. Sekumpulan orang dengan wajah muram berkerumun mengelilingi gundukan tanah merah. Beberapa dari mereka tak kuasa menahan isak tangis, sementara sebagian besar lebih memilih membacakan ayat suci. Rupanya, ada satu nyawa lagi yang kembali pada Tuhannya, meninggalkan keluarga, kerabat, kawan dalam duka.

Suasana itu mengingatkan Aldi dengan dua kejadian nahas dalam hidupnya, kematian orang tua dan dua guru tarinya. Bahkan, mungkin lebih menyayat, mengingat kepergian mereka terjadi secara mendadak dalam insiden mengerikan. Akhirnya, Aldi menjadi tidak fokus berjalan dan tak sengaja menyenggol seorang gadis berkerudung hitam dan wajah tertutup masker.

Deg!

Aldi terkesiap saat menyadari jantungnya berdesir. Entah bagaimana dia merasakan chemsitry tak biasa dari gadis bermasker. Aldi bahkan lupa untuk meminta maaf dan hanya terpaku menatap si gadis yang mulai risih.

"Tunggu, Mbak! Tunggu!"

Sayangnya, gadis itu terus melangkah dengan cepat. Mungkin dia berpikir Aldi penjahat mesum yang hendak berbuat jahat. Aldi berusaha mengejar. Jarak mereka semakin menyempit. Namun, rombongan berpakaian serba hitam masuk serentak menghalangi pandangan untuk waktu yang cukup lama, membuat jejak gadis bermasker menghilang.

Aldi berusaha mencari gadis yang entah kenapa dipercayanya sebagai Wulan. Dia mengedarkan pandangan ke sekeliling. Namun, gadis itu sudah tak tampak, hanya para pelayat yang baru saja memakamkan jenazah tadi.

Tak ingin menyerah, dia terus berkeliling di area dalam maupun luar pemakaman. Hasilnya tetap sama, nihil. Akhirnya, Aldi menyerah dan kembali ke area makam untuk memenuhi tujuan awalnya, mengunjungi makam sang guru.

Setelah melewati sepuluh nisan, Aldi bersimpuh di samping dua makam yang berdampingan. Nama Syailendra Bagaskara dan Arunika Saraswati terukir di permukaan nisan. Ada taburan bunga segar di atas makam, membuatnya semakin yakin gadis bermasker tadi benar-benar Wulan.

"Pak Lendra, Bu Ika, maaf saya tidak bisa menjaga Wulan dengan baik."

Aldi terdiam, lalu memejamkan mata sejenak untuk menenangkan sesak dalam benak.

"Maaf saya belum bisa menemukan Wulan. Saya malah membuat kesepakatan konyol dengan gadis yang–"

Sekuntum bunga kamboja jatuh ke pangkuan Aldi. Dia mengambilnya, lalu menghidu aromanya. Wulan sangat menyukai bunga kamboja. Meskipun beberapa orang menganggap seram karena identik dengan kuburan, tetapi bagi gadis kecil itu, bunga kamboja memiliki pesona tersendiri.

"Pak Lendra, Bu Ika, tenang saja, saya tidak akan mengkhianati Wulan. Saya pasti akan menemukannya."

Aldi menghela napas berat. Tangannya terkepal kuat.

"Seandainya, musibah itu tidak terjadi, kita pasti masih akan tertawa bersama. Saya dan Wulan mungkin sudah memenangkan kejuaraan internasional, menikah, dan memberikan Anda cucu-cucu yang lucu."

Aldi terlarut dalam duka hingga seseorang menepuk bahunya. Dia tersentak, lalu berbalik.

***