Chereads / Bidadari Matre / Chapter 12 - Bagian 14

Chapter 12 - Bagian 14

Aldi mondar-mandir di ruang kerjanya. Sudah 2 jam sejak terakhir dia menghubungi Shinta di bandara. Namun, sang adik ataupun Rama belum menelepon lagi untuk mengabarkan mereka sudah sampai apartemen. Aldi sudah melakukan panggilan hingga puluhan kali.

Kasus bullying yang dahulu dialami Shinta membuat Aldi sedikit trauma. Dia tak akan bisa tenang kalau kehilangan kontak tanpa alasan jelas meskipun hanya sebentar. Bibi mereka sampai meledeknya lebih overprotektif dibandingkan emak-emak berdaster.

Namun, Aldi tidak peduli. Orang tua mereka sudah tiada. Saat ini, hanya Shinta yang dimilikinya sebagai keluarga inti. Jika terjadi hal buruk juga kepada sang adik, dia tak tahu bagaimana lagi harus menjalani hidup.

"Angkat Rama ... Ck!"

Aldi melirik arloji di pergelangan tangan. Dia harus segera menghadiri rapat bersama dewan direksi 10 menit lagi. Saat rasa putus asa semakin menghantui, telepon tersambung tepat di panggilan ke-41.

"Assalamualaikum, halo, Pak Aldi."

"Waalaikum salam. Kenapa baru diangkat? Saya sudah menghubungi dari tadi," cecar Aldi.

"Maaf, Pak, tadi ...." Suara Rama terdengar gemetaran.

"Shinta pasti maksa kelayapan lagi, 'kan?" tebak Aldi.

"Maafkan saya tidak bekerja dengan baik, Pak."

Aldi menghela napas. Dia tahu tak seharusnya menyalahkan Rama. Pemuda itu pasti hanya menjadi korban rengekan Shinta. Aldi pun sering kali luluh dengan tatapan memelas adiknya.

"Ya sudahlah. Saya mengerti, Shinta pasti yang memaksa. Yang penting sudah sampai rumah, 'kan?" Aldi menurunkan nada suaranya.

"Iya, Pak. Non Shinta sudah istirahat di kamarnya," sahut Rama. Suaranya sudah tidak segugup sebelumnya.

"Bagus. Kamu jaga dia dengan baik."

"Siap, Pak!"

Aldi mengakhiri panggilan dan menghela napas lega. Masih tersisa waktu 5 menit untuk bersiap-siap rapat. Dia memasukkan ponsel ke saku, merapikan jas yang agak berantakan, lalu segera menuju ruang rapat.

Suasana ruang rapat terasa kurang nyaman begitu Aldi masuk. Suara obrolan yang sebelumnya terdengar dari luar terhenti mendadak. Para direktur tiap bagian itu juga tampak terlihat canggung.

Aldi bisa menebak rumor menjadi penyebabnya. Saat berada di luar, dia sedikit mendengar obrolan mereka. Direktur keuangan yang memulai bergosip sementara direktur pemasaran dan personalia mencoba membela Aldi.

"Rumor sial*n itu ada hikmahnya juga. Aku jadi bisa melihat mana musuh mana teman," gumam Aldi dalam hati.

Wajahnya tetap datar dengan pembawaan tenang seperti biasa . Dia berpura-pura seolah tak mendengar pembicaraan apa pun. Aldi bisa melihat direktur keuangan diam-diam menghela napas lega. Serigala tua itu menjadi lengah dan berpeluang besar untuk dimasukkan dalam perangkap.

"Baik, karena semua dewan direksi sudah berkumpul, kita bisa memulai rapatnya," ucap Aldi seraya duduk di kursi.

Dia mulai membuka berkas-berkas yang telah disiapkan sektretaris. Mengawali rapat, para direktur melaporkan kinerja bagian mereka satu per satu. Jika ada masalah, maka mereka akan mendiskusikan solusinya. Untunglah, pada evaluasi hari itu, tidak ditemukan masalah besar, hanya sedikit pembengkakkan biaya bagian pemasaran. Itu pun akibat tindakan semena-mena PT. Indah Permai Jaya saat pembukaan Hotel Diamond Inn.

Sebenarnya, Aldi tahu ada masalah di bagian keuangan. Data-data yang dimanipulasi si direktur culas sudah menimbulkan kerugian. Namun, dia masih memerlukan beberapa bukti lagi untuk mendepak si serigala tua sekaligus bersama kroni-kroninya.

Rapat berjalan hanya 1 jam. Aldi segera mengakhiri rapat dan kembali ke ruangannya. Tumpukan dokumen sudah menunggu untuk diperiksa. Dia pun larut dalam pekerjaan.

"Ah, sudah jam segini!" seru Aldi saat arlojinya menunjukkan pukul 16.35 WIB.

Artinya, sudah lewat 5 menit dari jam pulang kantor. Aldi segera membereskan dokumen dan memasukkan beberapa ke tas kerja. Dia akan menyelesaikannya di rumah.

Jika hari biasanya, Aldi akan memilih lembur, tetapi dia sudah terlanjur membuat janji dengan Rani jam 5. Untunglah, Kafe Bunga bisa ditempuh dalam waktu 10 menit dengan berjalan kaki dari perusahaan. Paling tidak, Aldi bisa datang tepat waktu.

***

Bel di pintu kafe berbunyi saat Aldi masuk. Dia menghela napas lega karena Rani belum datang. Sungguh tak enak hati jika sampai seorang gadis yang menunggu.

Aldi memilih meja nomor 3. Baru saja duduk, pintu kafe terbuka lagi. Rani masuk seperti kebingungan, lalu tersenyum manis saat melihat Aldi. Dia segera menghampiri dan duduk berhadapan dengan pemuda itu.

Mereka pun segera memesan minuman. Aldi dengan secangkir teh mint dan Rani memilih ice cappucino. Keduanya sempat tersenyum canggung, saling menanyakan kabar lalu terjebak kebisuan.

Sebenarnya, Rani ingin sekali berceloteh. Namun, dia selalu mengingat pesan Gilang untuk bersikap kalem. Bahkan gaun baby pink yang dipakainya juga dipilihkan oleh sepupu Aldi itu. Menurut Gilang, warna yang lembut akan meninggalkan kesan manis dan polos. Jika didukung akting malu-malu, akan sangat sempurna.

Sesuai instruksi Gilang, jika terjadi kebekuan, Rani harus menghitung sampai 50 dalam hati. Seandainya, Aldi tidak juga berbicara barulah, dia boleh memulai obrolan. Itu pun tidak boleh terburu-buru, harus terkesan polos.

Rani meminum ice cappucino-nya dua teguk, sebelum mulai bicara, "Jadi, ada apa, Bang?" Dia menjeda beberapa saat. "Kayaknya Abang lagi ada masalah?" Rani menutup mulutnya dan memasang raut wajah bersalah. "Aduh, maaf aku sudah tidak sopan."

"Tidak apa, Rani. Kamu benar, saya memang sedang ada masalah dan jika kamu berkenan saya ingin meminta bantuan."

"Tentu saja boleh, Bang. Keluarga kita sudah bertahun-tahun menjadi rekan bisnis. Abang juga senior Rani di kampus. Saling membantu itu sudah pasti," cerocos Rani sok bijak.

Dia melatih dialog itu berkali-kali kemarin malam. Rani sangat senang karena prediksi Gilang ternyata hampir 100 % benar. Bahkan perkiraan ucapan yang akan keluar dari mulut Aldi pun cukup mirip.

Aldi menyeruput teh perlahan, mencoba menenangkan hati yang berontak tak ingin melakukan kesepakatan dengan Rani. Meskipun gadis di hadapannya tampak kalem dan 180 derajat berubah dari masa lalu, entah kenapa dia masih merasakan firasat tak enak.

"Begini Rani ... sebelumnya, saya ingin bertanya dulu, apakah kamu sudah memiliki pasangan? Soalnya, bantuan yang saya minta ini akan menimbulkan masalah jika kamu sudah memiliki pasangan."

"Belum ada, Bang. Sejak masuk dunia modeling sama akting, jadwal aku padet banget. Enggak sempat deh nyari pacar."

"Kalo begitu saya akan jelaskan bantuan yang saya inginkan. Kamu dengarkan dulu, nanti baru kamu pikirkan berkenan membantu saya atau tidak," tutur Aldi hati-hati.

Rani mengangguk kecil. Aldi pun segera menjelaskan masalah rumor yang tengah dihadapi. Dia juga mengutarakan permohonan bantuan untuk menjadi pacar pura-pura, hingga posisinya aman. Tentu saja, Aldi menawarkan berbagai imbalan yang menguntungkan sebagai balas jasa.

"Hmm ... cukup rumit juga, ya, masalah Bang Aldi. Tapi soal bantuan tadi, bisakah Rani minta waktu untuk berpikir dulu, Bang?" pinta Rani. Meskipun sangat ingin langsung menerima tawaran, dia mengingat pesan Gilang untuk sedikit jual mahal.

"Tentu saja, Rani. Kamu tidak tersinggung dan marah saja, saya bersyukur. Permintaan saya ini mungkin memang agak keterlaluan. Awalnya, saya juga ragu untuk menghubungi kamu, tapi Gilang meyakinkan saya untuk mencoba."

"Bang Gilang?" Rani membulatkan mata, seolah benar-benar keheranan.

"Iya, dia bilang kamu yang seorang aktris pasti pandai berakting menjadi pacar. Keluarga kita juga rekanan bisnis, sehingga bisa jadi pertimbangan kamu jika rumor bisa saja menurunkan harga saham."

Aldi menyeruput tehnya sampai habis.

"Tapi, jika kamu keberatan, tentu saya tdak akan memaksa. Silakan dipikirkan dengan baik. Saya menerima apa pun keputusan kamu."

"Baik, Kak. Rani Cuma mau minta waktu 3 hari aja kok. Nanti Rani hubungi."

"Terima kasih, Rani."

"Sama-sama, Bang."

Selanjutnya, mereka mengobrol dengan topik lebih santai untuk sekedar basa-basi. Sebenarnya, Aldi sudah sangat bosan dan hendak segera hengkang dari sana, tetapi dia harus bertahan demi menjaga etika dan sopan santun. Sementara Rani berteriak kegirangan dalam hati. Namun, wajahnya tetap memasang tampang kalem dan sedikit malu-malu.

Sesuai rencana, ponsel Rani berbunyi. Setelah menerima panggilan wajahnya berubah serius. Dia pamit dengan alasan manajer menelepon karena ada pekerjaan mendadak, padahal Tianalah yang diminta menelepon. Menurut Gilang, perempuan yang menarik harus sulit dikejar. Mereka tidak tahu betapa leganya Aldi dengan kepergian Rani.

***

Jam dinding menunjukkan pukul 10. 05 WIB. Aldi berbaring telentang di ranjangnya sembari memeluk figura berisi foto dua bocah tertawa riang. Sesekali dia menatap jendela yang sengaja dibuka tirainya. Rembulan tampak tersaput awan kelabu di langit sana, seolah memberitahukan bahwa rembulan yang dirindukannya juga tengah bersedih atas keputusan Aldi membuat kesepakatan dengan Rani.

Aldi menghela napas berat. Dia memejamkan mata dan mengeratkan pelukannya pada figura. "Wulan, maafkan aku ... ini hanya sementara. Aku tidak akan mengkhianatimu ...," lirihnya.

***