Area pengambilan bagasi Bandara Soekarno-Hatta tampak ramai. Para penumpang yang baru turun pesawat menunggu di depan konveyor. Satu per satu mereka mengambil barang masing-masing, tak terkecuali seorang gadis dengan penampilan kasual yang sambil menelepon. Rambut sebahunya dikucir kuda, kadang melambai-lambai saat dia bergerak. Ketika koper kuning cerah lewat, gadis itu segera menurunkannya, lalu melangkah cepat menuju pintu kedatangan.
"Iya, Bang Aldi, iya. Ini juga Shinta baru ngambil bagasi. Ish, cerewet beudh!" keluh gadis itu.
Ya, dia adalah Shinta Ayudia Permana, adik Aldi yang baru tiba dari Singapura. Sejak turun dari pesawat dan mengaktifkan ponsel, Aldi sudah menghubungi dan merecoki dengan berbagai nasehat. Shinta menjadi sedikit kesal karena merasa diperlakukan seperti anak kecil, padahal tahun ini dia sudah berusia 23 tahun.
Namun, rupanya Aldi tak peduli dengan keluhan sang adik. Masih terdengar suara tegasnya memberi pesan-pesan.
"Jangan kelayapan! Rama sudah menunggu di pintu kedatangan. Kalo dah ketemu, nanti langsung pulang!"
"Aduh, emangnya aku masih bocah pakai kelayapan," sahut Shinta, padahal dalam benaknya sudah terbayang untuk mengajak Rama keliling-keliling dulu sebelum ke rumah.
Shinta sudah keluar dari pintu kedatangan. Dia bisa melihat sosok tampan gebetan tengah celingak-celinguk tak jauh dari sana. Rama, salah satu bodyguard Aldi itu tampaknya tengah mencari keberadaan Shinta. Melihat tingkah menggemaskan pemuda yang yang diam-diam disukainya, timbullah niat iseng dalam benak Shinta. Dia jadi terlupa sedang berbicara dengan Aldi di telepon.
"Shinta? Shinta? Shinta, kamu baik-baik saja? Dek? Dek!" Suara Aldi terdengar panik.
Shinta tergeragap. Untunglah, dia cepat menguasai diri dan tidak bertingkah memalukan di tempat umum seperti bandara.
"Ah, iya, Bang, tadi Shinta bengong gara-gara ngeliat ketampanan Bang Rama," kilahnya, membuat Aldi terdengar menghela napas berat.
"Jangan usili Rama! Kamu sudah kepala dua, masa masih kekanak-kanakan!" omel Aldi seolah dapat membaca pikiran Shinta.
Shinta refleks mengerucutkan bibir. Tadi saja dia diperlakukan seperti bocah. Giliran mau berbuat jail, sang kakak malah memintanya bertingkah dewasa.
"Iya, Bang, iya. Udah dulu, ya, Bang. Kesian itu Bang Rama celingukan dari tadi."
"Iya, ingat jangan kelayapan!"
"Ish, iya ah!"
"Hati-hati di jalan."
"Siap, Bos."
Akhirnya, panggilan bisa diakhiri. Shinta menghela napas lega. Dia melambaikan tangan kepada Rama. Pemuda tampan itu setengah berlari menghampiri, lalu mengambil alih koper.
"Mari, Non, ikuti saya."
"Ish! Jangan non dong, Bang."
"Eh?"
"Aku enggak suka dipanggil nona. Pakai nama aja gitu."
"Tapi, Non Shinta ... saya tidak mungkin bertingkah tidak sopan," sahut Rama canggung dengan wajah merona.
Dia sesekali mencuri pandang ke arah Shinta, sehingga bertambahlah rona di wajahnya. Shinta menjadi semakin gemas. Gadis itu tiba-tiba mengenggam tangan Rama dan menariknya menuju titik penjemputan.
"Non saya saya ...."
"Kalo masih manggil Non, cium nih," goda Shinta.
Wajah Rama semakin memerah, bahkan hingga ke telinganya. Shinta terkekeh. Tentu saja, tadi dia hanya bercanda. Meskipun agak slengekan, Shinta memiliki prinsip, ciuman hanya diberikan kepada seorang suami.
"Tapi ...."
"Ayolah, Bang. Kalo susah panggil nama, sebut adek juga enggak papa. Aku kangen masa-masa kecil kita dulu. Abang enggak bersikap hormat berlebihan begini," cerocos Shinta. Wajahnya dibuat semurung mungkin.
Sesuai dugaan Shinta, Rama memang mudah luluh. Pemuda itu menghela napas lalu bergumam sangat pelan. "Baik, Dek."
Rama adalah anak Bik Inem. Keluarga mereka memang mengabdi kepada Keluarga Permana selama bertahun-tahun. Usia yang hanya terpaut 2 tahun membuat pemuda itu dekat dengan Shinta sedari kecil. Aldi juga tahu perasaan Rama, sehingga sering mengajaknya menjadi pengawal pribadi setiap mengunjungi Shinta ke Singapura.
Sebenarnya, jika Rama memiliki sedikit rasa percaya diri, hubungannya dengan Shinta pasti sudah lebih serius. Namun, pemuda itu merasa segan karena berbeda status sosial, padahal Keluarga Permana bukan tipikal orang kaya angkuh yang memandang seseorang dari kasta.
Ibunda Aldi sendiri awalnya adalah gadis miskin penjual gorengan. Perjuangannya untuk membiayai sekolah sendiri dan adik-adik membuat ayah Aldi jatuh cinta. Dirja dan Sulistyawati tak menentang, malah bangga memiliki menantu yang cantik, pintar, dan pekerja keras.
"Ah, itu Pak Supri sudah menjemput, Dek," celetuk Rama.
Benar saja, CRV hitam tengah mendekat, lalu berhenti di titik penjemputan. Rama dengan cekatan memasukkan koper ke bagasi belakang. Dia juga membukakan pintu untuk Shinta. Setelah memastikan sang nona duduk dengan nyaman, barulah pemuda itu duduk di jok depan samping supir.
Awalnya, perjalanan berlangsung lancar. Shinta banyak berceloteh tentang perubahan kota kelahiran yang telah ditinggal lama. Rama menanggapi dengan canggung, tetapi perlahan mulai akrab kembali. Pak Supri juga sesekali menimpali.
Namun, saat mereka melewati sebuah taman kota, Shinta tiba-tiba berseru, "Kita mampir dulu di taman itu yok, Bang!"
"Aduh, Dek, jangan ... nanti kena marah Pak Aldi. Saya diminta langsung pulang kalo udah jemput Adek," tolak Rama tak enak hati.
Shinta memasang wajah memelas. Rama mengacak-acak rambut dengan frustrasi. Shinta memang tahu benar kelemahannya. Setelah menghela napas berkali-kali, dia menyerah dan meminta Pak Supri berbelok ke arah taman.
"Terima kasih, Abang Rama ganteng!" seru Shinta girang begitu keluar dari mobil.
"Cuma sebentar, ya, Dek." Rama mencoba mengingatkan.
"Iya, iya."
Shinta menarik tangan Rama dan mengajak berkeliling. Dia juga begitu semangat menikmati aneka jajanan yang ada di taman. Rama sampai cemas, takut kalau-kalau adik tuannya itu sakit karena tak biasa jajan sembarangan.
Setelah puas berkeliling, Shinta merasa lelah. Dia pun mengajak Rama duduk santai di bangku taman sambil menikmati es krim yang baru saja dibelinya.
"Bang, Shinta haus, bisa minta tolong belikan air mineral?" pinta Shinta.
"Oke. Abang carikan dulu. Adek duduk di sini aja, ya. Jangan ke mana-mana!"
"Siap, Bang Bro!"
Namun, bukan Shinta namanya kalau menjadi anak penurut. Baru 5 menit, Rama berlalu, dia sudah bangkit dari bangku taman karena bosan. Dia mengamati sekeliling, hingga tatapannya terhenti saat melihat tiga orang yang tengah mengadakan pertunjukan. Mereka adalah Putri, Tyas, dan Paijo. Shinta yang menyukai kesenian tradisional tentu sangat tertarik dan langsung mendekat, bergabung dengan para penonton lainnya.
Hari itu, Putri dan kawan-kawan mempersembahkan pertunjukkan yang berbeda dari biasanya. Mereka tidak hanya menampikan tari saja. Ada sedikit tambahan drama dalam pertunjukkan karena Putri akan membawakan Tari Lenggang Nyai.
Tarian ini diciptakan seniman asal Yogyakarta, Wiwik Widiastuti pada tahun 1998. Kata lenggang mengandung makna melenggak-lenggok sementara kata nyai diambil dari cerita rakyat Nyai Dasimah. Cerita tersebut mengisahkan tentang adalah perjalanan hidup seorang perempuan cantik bernama Nyai Dasimah.
Mata Shinta berbinar-binar. Dia tampak mengagumi keindahan kostum yang dikenakan Putri. Ada padanan budaya Tiongkok dan Betawi yang selaras dalam kostum Tari Lenggang Nyai. Tubuh Putri dibalut pakaian besar berwarna merah dan hijau terang dengan ampreng dan pending yang melingkari pinggang. Toka-toka dengan warna senada menyilang di bagian dada. Rambutnya dihias dengan konde cepol dan mahkota.
"Selamat menikmati pertunjukkan kami," tutur Putri untuk mengawali pertunjukkan.
Gambang kromong dimainkan. Putri mulai menari. Meskipun Tari Lenggang Nyai biasanya dilakukan oleh 4-6 perempuan, tetapi Putri berhasil membawakannya dengan apik. Dia menampilkan pola lantai khas Tari Lenggang Nyai yang memang lebih fleksibel jika dibandingkan tari tradisional biasanya. Gerakan dalam tarian memang mencerminkan semangat dan kelincahan perempuan. Aneka gerakan unik disuguhkan dalam tari ini seperti gerakan blongter, gerakan cindek nyai, dan gerakan palang tiga.
Tyas tidak menyanyikan lagu seperti biasanya, tetapi dia memberikan narasi-narasi berupa cerita Nyai Dasimah dengan versi yang tidak kelam. Cerita Nyai Dasimah yang banyak beredar ataupun yang dibuat penulis G. Francis memang terkesan gelap dan penuh tragedi. Sang Nyai adalah seorang gundik pria berkebangsaan Inggris yang terjebak kemelut dan berakhir dengan kematian tragis. Namun, karena menyesuaikan dengan keceriaan tari, ceritanya dibuat lebih enerjik, menggambarkan perjuangan perempuan untuk mendapatkan hak dan kebebasan.
Tyas memulai narasi. "Tersebutlah, seorang gadis jelita dengan pipi merah merona. Dasimah namanya. Indah rupa, molek tubuhnya, dan halus tutur katanya, membuat para pria tergila-gila."
Musik sedikit berubah. Gerakan tari Putri mengikuti. Gerak-geriknya tampak seperti seseorang yang kebingungan, tetapi masih terlihat indah dan menawan.
Tyas melanjutkan narasinya, "Banyak cinta yang datang. Ah, sungguh bingung Dasimah dibuatnya! Siapakah yang harus dipilihnya? Pria dari bangsa sendiri ataukah pria tampan nan kaya dari negeri kolonial?"
Gerakan Putri kembali berubah menjadi lebih mantap.
Tyas mengatur napas sejenak sebelum berbicara kembali, "Setelah lama memikirkannya, Dasimah akhirnya memilih Edward William, si pria dari negeri kolonial sebagai pendamping hidupnya. Tak apa meski dirinya hanya bisa menjadi seorang nyai."
Selanjutnya, Putri menari dengan raut wajah sendu.
"Tak disangkan Nyai Dasimah tak beroleh kebahagiaan. Nyai justru mendapat banyak aturan, sehingga merasa terkekang."
Putri tiba-tiba menari dengan lebih lincah. Gerakannya begitu bersemangat dan juga terlihat seperti marah dan memberontak.
"Sampailah Nyai Dasimah pada momentum besar dalam hidupnya. Dia tak lagi bisa bersabar dan memutuskan memberontak untuk memperjuangkan kebebasannya. Akhrinya, Nyai Dasimah berhasil keluar dari kekangan dan mendapatkan kebebasannya."
Putri mengakhiri tarian. Pertunjukkan selesai. Putri, Tyas, dan Paijo membungkukkan badan. Para penonton pun segera memasukkan uang ke kotak sebelum mereka meninggalkan lokasi. Shinta tak mau ketinggalan juga hendak mendekat. Namun, dia menjadi tak awas.
Bruk!
Tabrakan tak terelakkan. Shinta jatuh terduduk. Dia berdiri sambil menahan nyeri. Meskipun tak sampai ikut terjatuh, orang yang disenggolnya tampak gusar. Wanita cantik yang tak lain adalah Rani itu mendelik tajam seolah akan menelan Shinta bulat-bulat.
***.