Chereads / Bidadari Matre / Chapter 9 - Bagian 11

Chapter 9 - Bagian 11

Sebuah kafe dengan nuansa Korea tampak ramai. Hampir semua meja terisi, kebanyakan oleh anak muda. Tepat di meja nomor tujuh, dua orang gadis tengah berbincang dengan seorang pemuda. Mereka adalah Rani, Tiana, dan Gilang.

"Makasih banget lho, Bang, udah dibantuin. Kesempatan kayak gini enggak mungkin datang dua kali," cerocos Rani.

Wajahnya tampak cerah. Senyuman tak lepas dari bibirnya yang kemerahan. Dia terus mencerocos dengan mata berbinar-binar. Gilang menanggapi obrolan dengan santai, sesekali terkekeh. Sementara Tiana lebih banyak diam dengan tatapan cemas.

"Sekali lagi, makasih, ya, Bang," ucap Rani lagi.

"Cuman bantuan kecil kok," sahut Gilang.

Rani mengibas-ngibaskan tangan. "Kecil apanya. Rani tau, Bang Gilang sampai bikin cewek-cewek yang mau bikin kesepakatan sama Bang Aldi melipir semua, 'kan?"

Gilang tergelak. "Itu bukan hal besar buat cowok penuh pesona kayak gue."

Dia sempat-sempatnya mengerling kepada Tiana. Playboy kelas kakap memang selalu mencari celah setiap ada kesempatan. Namun, Tiana malah mengalihkan pandangan dengan risih. Gilang sedikit kecewa, tetapi dia cepat ceria kembali.

"Tapi, inget kata gue, pokoknya lo jangan sampe nunjukkin banget rasa suka sama dia. Inget harus kalem dan keliatan anggun. Malu-malu dikit bolehlah," pesan Gilang.

Bertahun-tahun bekerja di bawah kepemimpinan Aldi, dia telah mengamati dengan baik. Aldi tak suka tipikal perempuan agresif. Beberapa kali Gilang melihat sepupunya itu menunjukkan ekspresi risih bahkan jijik ketika berhadapan dengan wanita penggoda. Jadi, menurut penilaian Gilang, Rani selama ini ditolak karena terlalu heboh. Bukannya luluh, Aldi malah menjadi illfeel.

"Siap, Bang. Kalo soal akting, jangan ditanya, udah khatam, Bang," sahut Rani mantap.

Pengalamannya sebagai aktris tentu sangat berguna. Dia dapat mengikuti saran Gilang dengan mudah. Rencananya, Rani akan memperlihatkan sisi kalem dan sudah berubah lebih dewasa. Aldi akan menurunkan kewaspadaan, lalu perlahan terhanyut dalam ketulusan cintanya. Pacar pura-pura pun bisa berubah status menjadi pacar sebenarnya.

Gilang mengacungkan jempol. "Bagus. Tinggal eksekusi deh besok."

"Tapi, saya heran, kenapa Bang Aldi enggak mau nyari pacar serius? Apa beneran ada cewek yang dia sayang atau beneran belok?" celetuk Tiana tiba-tiba.

Dari tadi dia hanya diam dengan wajah cemas. Ternyata hal itu yang dipikirkannya. Gilang langsung tergelak.

"Kesian bener si Aldi sampai dicurigai beneran belok. Tapi cewek yang dia suka beneran ada. Gue cuma pernah liat sekali. Masih usia 10 tahun aja, udah keliatan pesonanya tuh cewek."

Tiana seketika melotot dan ternganga. "Eh, Bang Aldi doyan bocah? Pedo?" tanyanya kemudian dengan raut wajah ketakutan.

Rani seketika menoyor kepala sang kawan. "Dudul lu ah! Enggak gitu maksud Bang Gilang, Tiana! Maksud Bang Gilang, terakhir liat cewek itu pas si cewek masih kecil. Kalo sekarang cewek itu udah besarlah!" gerutunya, tak terima sang gebetan dibilang pengidap ped*filia.

"Betul kata Rani. Cewek itu kalo enggak salah seumuran kalian apa lebih tua setahun, ya. Yah, pokoknya udah gedelah kalo sekarang," timpal Gilang.

"Oh gitu. Ya ampun, kirain Bang Aldi ada kelainan." Tiana mengangguk-angguk. "Emang cantik banget, ya, Bang?" tanyanya lagi.

Rani mendelik. Dia tentu tak suka Tiana membicarakan gadis yang dicintai Aldi. Sementara itu, Gilang menyeruput ice americano-nya sebelum melanjutkan obrolan.

"Lumayan, sih, tapi masih cantikan Rani kalo menurut gue, cuma tuh cewek emang auranya enggak biasa. Mungkin karena gue liatnya pas dia sama Aldi lagi pertunjukan seni tari," jelas Gilang.

Senyuman kecil terukir di sudut bibir Rani. Dia sangat yakin gebetan Aldi tak sebanding dengannya. Aldi hanya terjebak masa lalu. Jika mereka bisa lebih dekat, Rani yakin pemuda itu akan terjerat pesonanya. Akan semakin bagus bila si perempuan masa lalu muncul dan menjadi perbandingan, sehingga Aldi menyadari dia lebih cantik dan memesona.

"Lo enggak penasaran, Ran, sama cewek itu?" tukas Tiana.

"Enggaklah. Ngapain. Dia cuma masa lalu. Yang penting gue berusaha menarik hati Bang Aldi," sahut Rani penuh percaya diri.

"Mantap!" puji Gilang. "Jadi, udah siap buat besok, 'kan?"

"Masih perlu persiapan, sih, Bang. Makanya entar habis ini mau beli baju sama Tiana."

Tiana mengerutkn kening. "Eh, beli baju? Perasaan baru kemarin, kan, kita belanja?"

"Aduh, Tiana! Besok, kan, hari spesial harus baju baru dong."

Tiana hanya menggeleng pelan. Dia kadang kurang suka dengan sikap Rani. Namun, berhubung mereka sudah menjadi teman akrab sejak SMP, Tiana tak tega jika sampai menjauhi. Akhirnya, dia pasrah saja mendengarkan obrolan dua orang licik yang tengah menyusun rencana untuk menaklukkan hati Aldi.

***

Seorang gadis kecil berambut lurus sepinggang berjongkok di semak-semak. Lengan dan betisnya penuh dengan goresan. Dia tengah terisak-isak, hingga wajah yang imut memerah. Gadis itu tadinya berlibur bersama keluarga dengan berkemah di hutan kota. Namun, saat bermain petak umpet, dia malah tersesat dan sempat terjatuh di semak berduri.

"Bapak ... Ibu ...," isaknya berulang.

"Ternyata kamu di sini, Wulan!" Suara anak laki-laki beranjak remaja membuatnya menghentikan tangis.

"Mas Joko?"

"Ya ampun, Wulan! Kamu terluka!" Anak laki-laki tampan bermata sipit itu berjongkok dengan memunggunginya. "Ayo Wulan naik ke punggungku!"

"Tapi ... Wulan endut, Mas. Entar berat."

"Mas ini kuat. Pasti bisa gendong Wulan. Ayo!"

Setelah dibujuk beberapa kali, si gadis kecil pun naik ke punggung anak lelaki. Cukup lama mereka menelusuri hutan, hingga terlihat dua orang dewasa celingak-celinguk di kejauhan. Keduanya sama-sama memasang wajah cemas.

"Tante, Om, Kami di sini!" teriak bocah lelaki sambil melambaikan tangan.

Dua orang dewasa tadi segera berlari menghampiri mereka. Si lelaki mengambil alih gadis kecil. Sementara istrinya mengusap lembut rambut putri mereka.

"Bapaaak! Ibuuu!" Si gadis kecil malah terisak lagi.

"Dasar anak ini ... ssshhh ... kamu sudah aman sekarang," bisik sang ibu.

Dia mengusap punggung mungil yang gemetaran. Cukup lama waktu yang diperlukan untuk menenangkan putrinya. Setelah ketakutannya mereda, si gadis kecil minta diturunkan dari gendongan. Dia menghampiri bocah lelaki.

"Terima kasih, ya, Mas, sudah nemuin aku."

"Sama-sama," sahut anak laki-laki tampan itu sembari tersenyum lembut membuat si gadis kecil malu-malu.

...

Alarm berbunyi. Putri terbangun dari tidur. Mimpi tentang kejadian di masa lalu kembali datang. Tepatnya, sejak menolong pemuda yang mabuk, dia sering memimpikan sosok cinta pertamanya.

"Apa karena garis wajahnya mirip?" gumam Putri.

Putri tercenung lama. Pikirannya masih tertuju kepada si pemuda mabuk. Dia memang sempat mengamati wajah tampan itu saat melepaskan ikatan tangan di kamar hotel. Ada beberapa bagian yang mirip sekali dengan bocah lelaki cinta masa kecilnya yang telah menorehkan kerinduan sekaligus kebencian.

Sebenarnya, Putri sudah lama mencari informasi. Namun, tidak banyak data yang didapatnya. Bahkan, foto cucu Dirja Angkasa Permana itu sulit ditemukan versi dewasanya.

Tepukan di bahu membuyarkan lamunan Putri. Dia cepat berbalik. Ternyata Tyas yang menepuk bahunya. Sahabatnya itu menatap dalam dengan sorot mata penuh selidik. Putri tak ingin membuat Tyas khawatir. Dia pun menyunggingkan senyuman.

"Aku baik-baik saja. Cuma teringat teman lama. Yok kita mandi, terus bantu-bantu ibuk."

"Beneran, ya, Kakak enggak kenapa-kenapa?"

"Iya. Yok cepat mandi!"

Akhirnya, mereka kembali menjalankan aktivitas seperti biasa, mandi dan mengerjakan tugas rutin di panti. Ada kabar gembira juga karena salah satu anak bisa masuk SMP unggulan dan mendapatkan full beasiswa. Perbincangan hangat saat sarapan selalu berhasil menyentuh hati penuh luka Putri. Usai sarapan, Putri dan Tyas berpamitan karena hendak pergi ke taman lagi untuk pentas.

***