Aldi telah tiba di kediaman Dirja. Namun, sudah ada mobil lain di sana. Aldi hapal siapa pemilik kendaraan mewah itu, Broto. Tak ingin membuat suasana menjadi canggung, dia memilih urung memasuki rumah dan langsung menuju taman di depan rumah. Lebih tepatnya, Aldi menghampiri seorang wanita tua yang tengah duduk di kursi roda dengan tatapan hampa. Wanita itu adalah neneknya, Sulistyawati.
Inem, asisten rumah tangga yang tadi menyuapi Sulistyawati langsung memberi salam. "Selamat pagi, Den Aldi."
"Pagi, Bik Inem." Aldi menatap lembut neneknya. "Apa kabar Eyang hari ini?"
Sang nenek tak menyahut, sama seperti hari-hari yang lalu. Sorot mata kosong itu terasa mengiris hati Aldi. Dia sungguh merindukan panggilan dan usapan lembut dari Sulistyawati.
Aldi bersimpuh, lalu merebahkan kepala di pangkuan sang nenek. Dia memejamkan mata sembari mengenang kembali momen masa kecil. Suara-suara bocah tertawa seolah-olah terdengar begitu nyata di telinga.
Dulu, Dirja bahkan sering kali cemburu karena Sulistyawati sangat memanjakan cucu. Terlebih, jika Aldi datang bersama Wulan, Dirja mendadak menjadi makhluk tak kasat mata. Selain karena bakat menari, dua bocah itu memang imut menggemaskan, sehingga sang nenek lengket dan tak mau berpisah barang semenit saja.
Setelah puas bermanja, Aldi mengangkat kepalanya dari pangkuan sang nenek. Pandangannya beralih ke tangan Inem, tepatnya mangkuk berisi bubur yang isinya tinggal setengah.
"Apa Eyang Sulis makan dengan baik, Bik?"
"Nyonya makannya selalu sedikit, Den. Coba ada Neng Wulan, ya, Den. Dulu, kalo Nyonya malas makan pasti luluh kalo Neng Wulan yang bujuk," cerocos Inem, tanpa sadar menoreh luka di hati Aldi.
"Iya, Wulan memang selalu pintar membujuk."
Aldi menatap langit sejenak. Wajah gadis kecil dengan pipi kemerahan terbayang. Wulan pandai mengambil hati. Jika diingat-ingat lagi, neneknya bahkan lebih sayang Wulan dibandingkan cucu sendiri.
"Sebenarnya, saya sedang mencari keberadaan Wulan, Bik. Doakan saya bisa segera menemukan dia."
"Aamiin, Den, aamiin."
"Boleh saya yang menyuapi, Eyang, Bik?"
"Tentu boleh, Den!"
Aldi segera mengambil alih mangkuk di tangan Inem. Dengan lembut, dia menyuapkan bubur hangat ke bibir Sulistyawati. Tak lupa pula, Aldi terus mengajak neneknya bicara.
Meskipun sorot matanya lebih banyak kosong, ada kalanya terjadi sedikit perubahan ekspresi di wajah Sulistyawati. Dia juga menghabiskan bubur. Inem sampai menangis haru melihat mangkuk yang kosong.
"Alhamdulillah, hari ini Nyonya Sulis makannya habis. Sering-sering main ke sini, ya, Den. Mungkin Nyonya bisa cepat kembali seperti dulu lagi," harap Inem tulus.
"Akan saya usahakan, Bik."
Inem terlihat sangat bahagia mendengar jawaban Aldi. Dia menceritakan banyak hal tentang perkembangan Sulistyawati. Meskipun status sosial berbeda, suasana di antara mereka terasa begitu hangat.
Suara derum mobil menghentikan obrolan. Rupanya Broto sudah meninggalkan kediaman Dirja. Aldi permisi untuk masuk ke rumah. Dia langsung menuju ke ruang kerja sang kakek dan mengetuk pintu pelan.
"Masuk!" perintah Dirja.
Aldi membuka pintu. Dirja mendelik tajam. Dia bahkan tidak meminta sang cucu untuk duduk.
"Ada apa ke sini?" sinisnya.
"Saya ingin minta maaf panggilan terputus karena baterai ponsel saya habis–"
"Apa menurutmu masih ada perlu dibicarakan?" potong Dirja.
"Saya tahu Anda akan semakin murka jika saya tidak ke sini."
Masih dengan tetap berdiri, Aldi memberikan penjelasan lanjutan. Mulai dari kronologi kejadian, hingga motifnya kenapa bisa berkumpul dengan makhluk-makhluk tak bermoral itu. Namun, Dirja malah mengibaskan tangan.
"Pulanglah! Tidak ada yang perlu dibicarakan! Aku hanya perlu bukti, cucu yang kubanggakan segera mengatasi isu ini dengan baik."
"Baiklah, saya mengerti. Kalau begitu, saya permisi."
Dirja tak menyahut. Aldi segera ke luar ruangan. Baru saja, menuruni tangga, Inem menghampiri.
"Mau makan dulu, Den?" tawarnya.
Sebenarnya, Aldi sudah kehilangan selera makan. Namun, tatapan penuh harap Inem membuatnya luluh. Dia pun mengangguk pelan.
"Bolehlah, Bik. Sudah lama tidak makan nasi goreng buatan Bik Inem."
"Siap, Den. Bibik bikinin nasi goreng spesial."
Mereka menuju dapur. Inem segera berjibaku dengan wajan. Aldi menarik salah satu kursi di meja makan dan duduk di atasnya.
Aroma nasi goreng membangkitkan kenangan. Senyuman polos Wulan dengan pipi belepotan nasi. Sulistyawati akan membersihkan wajah gadis kecil itu dengan lembut sambil terkekeh. Lalu, Dirja akan memasang wajah masam karena cemburu.
"Saat menyadari masa-masa itu tidak akan kembali, rasanya sakit sekali," lirih Aldi.
***
Aldi menyantap makan siangnya dengan malas. Masalah rumor belum juga menemui jalan keluar, malah bergulir semakin panas. Sesuai rencana, dia berjibaku mencari perempuan yang mau dibayar menjadi pacar pura-pura. Namun, entah kenapa selalu gagal. Awalnya, gadis-gadis matre itu setuju, tetapi mendadak mengundurkan diri dengan alasan yang terkesan dibuat-buat.
Adakalanya Aldi curiga ada yang melakukan konspirasi. Kecurigaan terbesar jatuh kepada Gilang. Apalagi ayah pemuda slengekan itu adalah calon penerus perusahaan terkuat kedua setelah Aldi. Bisa saja mereka bekerja sama untuk menjatuhkannya.
Aldi menghela napas berat. Dia juga tahu tak bisa menuduh tanpa bukti, hanya bisa waspada. Peristiwa di tempat karaoke tidak boleh terulang.
"Al? Aldi? Bengong aja lo, ntar kesambet pula."
Kelakar khas terdengar. Aldi diam-diam mencebik. Baru saja dipikirkan orangnya sudah datang, seolah timing-nya sudah diatur sedemikian rupa.
Ya, Gilang telah duduk santai di hadapan Aldi. Bisa dipastikan dia langsung menyelonong masuk tanpa mengetuk pintu. Senyuman nakal khasnya membuat Aldi merasa risih dan berfirasat buruk.
"Biar gue tebak, lo lagi pusing gara-gara rumor itu, 'kan?" tebak Gilang, lalu terkekeh.
"Seseorang yang menyebabkan rumornya bertambah parah tidak punya hak untuk bertanya?" sindir Aldi.
"Hei, hei, gue malahan mau bantu. Kalo ada isu lo 'jajan', bakal nepis tuh rumor gey."
"Ya, nepis, tapi muncul rumor baru kalo gue tukang main cewe gak bener."
"Tapi, kan, sudah jadi rahasia umum kalo cowok-cowok metroseksual kayak kita begitu."
"Kita? Itu cuman buat lo sama temen-temen lo."
"Susah dah debat sama bocah jenius. Ya udahlah mending mikiran jalan keluar. Kayaknya Rani jalan pilihan terakhir buat lo," cetus Gilang.
"Tetap saja, Lang. Dia itu freak."
"Itu, kan, dulu. Mungkin zaman kuliah dia masih labil. Gue liat sekarang Rani udah lebih dewasa. Lo enggak perhatiin pas pembukaan Hotel Diamond Inn, dia anggun dan kalem."
"Enggak. Gue fokus buat kelancaran acara."
"Aish! Enggak seru banget, sih, lo," ketus Gilang.
"Emangnya gue kayak elo di acara penting malah jelalatan," balas Aldi.
"Iya, iya, si paling profesional. Tapi beneran lo, Al. Rani udah beda banget sama yang dulu."
"Mau beda apa tetap sama juga, Rani masih suka sama gue, 'kan?"
"Kayaknya, sih, begitu. Pas liat lo sorot matanya kek berbinar-binar gitu."
"Di situ masalahnya. Kalo dia beneran suka, mana mau jadi pacar pura-pura."
"Lah, kan belum dicoba. Yang penting lo bikin perjanjian dulu. Kalo Rani menolak, baru cari jalan lain lagi."
Aldi terdiam. Meskipun masih menaruh curiga, dia mulai membenarkan ucapan Gilang. Bukankah jika Rani tidak mau menjadi pacar pura-pura, kesepakatan tidak perlu dilakukan?
Namun, Aldi juga masih memikirkan kemungkinan Rani setuju di awal, lalu nantinya akan bertingkah. Dia bisa saja mencari-cari alasan untuk putus, tetapi Rani pasti tidak akan semudah itu menerima. Bagaimana jika gadis itu melakukan hal-hal di luar nalar? Aldi bergidik membayangkannya.
Tring! Tring!
Ponsel berbunyi, notifikasi pesan masuk. Aldi membukanya, dari sekretaris. Dia memberitahukan bahwa posisi Aldi semakin berbahaya. Bukan hanya terancam gugur dari calon penerus utama, juga bisa saja dicopot dari jabatan yang kini dipegang.
Aldi menghela napas berat. Dengan hati kalut, dia terpaksa menghubungi Rani. Tak lama hingga panggilan tersambung.
"Halo, Bang Aldi?"
"Halo, Rani. Iya, ini saya Aldi. Maaf menganggu waktunya.
"Enggak kok, Bang. Lagi santai-santai juga ini. Abang apa kabarnya? Pas pembukaan hotel kemarin Rani malu menyapa Abang soalnya keliatan sibuk banget."
Kata-kata Gilang seolah benar karena suara Rani terdengar kalem dan santai, tidak lagi seperti zaman kuliah, heboh dan manja.
"Saya sehat."
Gilang menahan tawa mendengar jawaban Aldi yang terasa kaku. Aldi tak mengacuhkannya dan melanjutkan obrolan dengan Rani.
"Sebenarnya, ada yang ingin saya bicarakan dengan kamu. Apakah besok sore ada waktu?"
"Sore ... bentar, Bang, Rani cek jadwal dulu."
Ada jeda selama beberapa menit. Rani memang dikenal sebagai model dan pemain film. Kadang, jadwalnya bisa saja padat.
"Sekitaran jam 4 bisa, Bang. Ketemuannya di mana Bang?"
"Di Kafe Bunga, bagaimana?"
"Baik, Bang."
"Terima kasih, saya tutup dulu. Selamat siang."
"Siang, Bang."
Panggilan diakhiri.
"Lah, kok, enggak lo bahas soal pacaran pura-pura?" celetuk Gilang.
"Itu bukan hal yang dibicarakan lewat telepon. Sekarang, bisakah Pak Gilang keluar karena saya harus kembali bekerja?"
"Elah habis manis sepah dibuang. Udah ngasih solusi, ujung-ujungnya diusir gue," gerutu Gilang, tetapi tetap keluar dari ruangan.
Aldi pun menyudahi makan siangnya dan kembali berjibaku dengan pekerjaan. Setumpuk berkas yang harus diperiksa telah menunggunya. Beberapa kali keningnya berkerut saat membaca isi dokumen. Namun, ada pula yang membuatnya tersenyum puas dan langsung membubuhkan tanda tangan.
Waktu berlalu tanpa terasa. Jam dinding sudah menunjukkan pukul delapan. Namun, Aldi terus bekerja. Dia bahkan memeriksa dokumen-dokumen yang deadline-nya masih lama. Aldi hanya beristirahat sejenak untuk menjalan salat dan makan malam sekedarnya. Hari ini, pemuda itu memang bertekad untuk lembur. Paling tidak pekerjaan mampu mengalihkan pikirannya yang tengah berkecamuk.
***