"Selamat pagi, Ona."
Pandu menyapa Viona sambil tersenyum lebar. Cowok itu baru sampai di sekolah, ia menghentikan motornya saat melihat ada Zara dan Viona di gerbang.
"Nama gue Viona, panggil Vio!" Kata Viona tegas.
Sementara itu, Zara hanya tertawa saja melihat mereka berdua. Viona dan Pandu seringkali berdebat hanya perkara panggilan saja.
"Emang kenapa sih nggak mau dipanggil Ona, kan sama aja. Itu juga nama lo." Kata Pandu.
"Ya gue nggak mau aja." Jawab Viona. "Masih keren kalau dipanggil Vio. Daripada Ona." Katanya.
Pandu berdecak. "Nggak boleh gitu, Ona. Mau apapun panggilannya itu udah bagus. Mau Vio atau Ona juga bagus semua." Katanya. "Tapi gue lebih suka manggil Ona." Katanya sambil tersenyum jahil.
Viona memutar kedua bola matanya malas. "Terserah lo aja, sekarang gue mau absen perlengkapan sekolah lo." Katanya.
Pandu mengangguk santai. "Gue lengkap hari ini. Jadi nggak usah khawatir." Katanya.
Zara menatap heran pada Pandu. "Tumben bisa lengkap kaya gini? Biasanya pasti ada aja yang salah. Kadang hari Senin malah pakai kaos kaki warna pink." Katanya.
Pandu kembali berdecak. "Jangan gitu, Ra. Lo mah nggak menghargai usaha gue banget sih. Gue kayak gini karena permintaan dari pak bos." Katanya.
"Papa lo?" Tanya Viona penasaran.
"Bukan dong. Pak bos gue itu si Farel. Kata dia mulai sekarang harus pakai perlengkapan sekolah yang lengkap. Biar calon ibu bos kita senang, ya nggak?" Jawab Pandu sambil melirik ke arah Zara.
"Kenapa?" Zara bertanya bingung.
Pandu hanya senyum-senyum yang membuat Zara ingin sekali memukul wajah cowok itu. "Wajah lo minta banget dipukul!" Seru gadis itu.
Brumm... Brumm... Brumm...
Suara motor besar lainnya datang dengan saling menyusul satu sama lain. Tidak perlu tebak-tebakan, sudah bisa dipastikan jika itu adalah Farel dan kawan-kawannya. Pandu sendiri langsung bersorak saat teman-temannya itu datang.
Farel turun dari motornya dan berdiri di hadapan Zara. Ia melemparkan senyuman dan dibalas senyum tipis oleh gadis itu.
Zara tersenyum karena melihat penampilan cowok itu yang benar-benar terlihat rapi. Mulai dari sepatu hitam hingga dasi yang terpasang dengan sempurna.
"Gimana?" Tanya Farel.
Dahi Zara mengerut. "Apa?" Tanyanya bingung.
"Penampilan gue hari ini?"
Kini Zara mengangguk paham dengan pertanyaan dari Farel. "Bagus. Kalau rapi kayak gini lo kelihatan keren. Pertahankan, ya, biar selalu dapat nilai bagus dan nggak punya absen pelanggaran lagi." Katanya dengan senyuman tulus.
Farel terpaku dengan senyuman yang diberikan oleh Zara. Selain cantik, ternyata gadis itu juga memiliki senyuman yang manis.
"Iya, ini semua buat lo." Jawab Farel.
Zara menggeleng pelan. "Jangan! Buat lo sendiri aja, Rel." Katanya.
"Untuk sekarang buat lo dulu, Ra. Mungkin nanti setelah kita bisa bersama, bisa buat gue juga." Kata Farel.
Zara mengangguk pelan. "Iya, tapi pertahankan apa yang udah lo mulai, selama ini buat kebaikan lo juga." Katanya. Farel mengangguk.
"Karena hari ini kalian semua lengkap, kalian bisa masuk." Kata Zara.
Farel langsung mengajak teman-temannya untuk memasuki sekolah. Sebelumnya ia kembali tersenyum pada Zara.
Zara jadi salah tingkah karena terlalu sering diberi senyuman oleh cowok itu. Viona menyenggol lengan Zara sambil tersenyum menggoda sahabatnya itu.
"Kalau mau senyum mah senyum aja, Ra. Nggak usah ditahan kayak gitu. Takutnya jadi kentut." Kata gadis itu.
Zara mendengus kesal. "Lo emang cocok sama Pandu." Katanya.
Viona mengernyit tak terima. "Kenapa jadi Pandu? Lagian gue sama dia berbeda jauh. Nggak ada cocok-cocoknya." Katanya.
"Lo sama Pandu cocok karena sama-sama jahil."
Setelah mengatakan hal itu, Zara meninggalkan Viona sendirian. Gadis itu masuk ke dalam sekolah terlebih dahulu, tanpa peduli dengan Viona yang menggerutu.
***
Zara baru saja keluar dari kelasnya. Bel pulang sudah berbunyi sejak lima menit yang lalu. Gadis itu berjalan menuju ke parkiran bersama ketiga temannya.
Di parkiran Zara melihat Farel sedang menempelkan ponsel pada telinganya. Entah menerima telpon dari siapa, yang pasti wajah cowok itu terlihat sangat marah.
Setelah memasukkan ponselnya pada tasnya, Farel langsung melajukan motornya keluar dari area sekolah. Zara dan ketiga temannya mengangkat bahu tanda mereka juga tidak tahu apa yang terjadi.
***
Farel tiba disebuah rumah yang terbilang minimalis, tetapi rumah itu terlihat rapi dan bersih. Di luar rumah itu, berjajar lima motor besar milik teman-temannya yang lain.
Rumah ini, mereka jadikan sebagai markas tempat mereka berkumpul. Mereka bergantian dalam membersihkan rumah itu, agar saat mereka berkumpul di sana keadaan sekitar tetap bersih.
Saat di sekolah tadi, Vano sudah pulang terlebih dahulu lalu cowok itu pergi ke markas mereka ini. Sesampainya di sana, Vano menemukan banyak sekali coretan di tembok putih mereka. Terdapat banyak tulisan yang mengatakan jika Farel lemah dan penakut, karena tidak berani mengikuti balapan lagi.
Tentu saja Farel tidak terima. Kapanpun ia diajak balapan pasti ia akan langsung berangkat tanpa pikir panjang terlebih dahulu. Namun, kali ini Farel sedang ingin mengejar cintanya, hingga membuatnya harus berubah menjadi lebih baik.
Dengan langkah lebarnya, Farel memasuki rumah itu. Ia menemukan teman-temannya yang duduk dengan posisi melingkar.
"Rel!" Seru Pandu.
"Gimana, Rel? Dia ngejek lo banget. Dia ngatain lo lemah, pengecut dan penakut. Masa iya lo nggak mau balas semua ini. Ayo turun ke jalanan, bro! Ini harga diri lo! Hilangin dulu keinginan lo untuk berubah demi Zara itu!" Kata Vano dengan mata berkilat penuh emosi.
Vano tentu tidak terima jika ada salah satu temannya yang dihina seperti itu, karena ia juga bisa merasakan bagaimana sakitnya ketika direndahkan seperti itu.
Farel menyeringai dan dengan tatapan dinginnya ia mengangguk pelan.
***
Riuhnya suara tepuk tangan menyambut kedatangan sang pemenang jalanan malam ini. Farel membuka helm yang melekat pada kepalanya. Ia melihat ke arah belakang. Senyuman miring muncul pada bibirnya saat lawannya baru saja memasuki area finish.
Keduanya turun dari motor masing-masing. Dan berdiri saling berhadapan. "Gue harap setelah ini lo bisa jaga omongan lo!" Kata Farel dengan suara yang terdengar sangat dingin itu.
Demon. Lawan balapan Farel hari ini bernama Demon, cowok itu memang sering kali mengajak Farel untuk duel di jalanan, selama ini Farel tidak pernah menanggapi, tetapi karena kemarin cowok itu sudah keterlaluan, akhirnya Farel memutuskan untuk mengikuti apa yang cowok itu mau.
"Mungkin hari ini, hari keberuntungan lo aja. Lihat aja nanti gue pasti bakalan bisa ngalahin lo!" Setelah mengatakan hal itu, Demon naik ke motornya dan melaju meninggalkan area balap.
"Udah kalah juga masih aja keras kepala. Dasar nggak tau diri!" Kata William dengan ketus.
Farel hanya diam saja mendengarkan umpatan-umpatan dari teman-temannya. Ia memilih untuk meraih ponselnya dan menghubungi seseorang.
"Halo," Suara lembut terdengar menyapa dari seberang sana.
Farel menarik napas panjang. Ia menundukkan kepalanya. "Maaf, gue minta maaf udah melanggar janji yang udah gue buat sendiri." Katanya pelan.