Hari ini adalah hari paling bersejarah dan harus dicatat. Kenapa bisa disebut sebagai hari bersejarah? Jawabannya karena Farel yang tiba-tiba saja berhenti merokok. Hal itu membuat teman-temannya merasa heran dengan cowok itu.
Biasanya Farel adalah orang paling tidak bisa berhenti merokok, bahkan dalam satu hari saja cowok itu bisa menghabiskan satu pack rokok. Namun, hari ini berkali-kali mereka menyodorkan rokok, tetap ditolak oleh cowok itu.
"Lo kenapa sih Rel? Perasaan kaya menghindari rokok banget sih?" Tanya William heran.
"Kan gue udah bilang, gue mau berhenti merokok. Kenapa kalian malah maksa gue buat rokokan terus? Biarin gue berubah jadi lebih baik." Jawab Farel sambil mengambil permen yang ia letakkan diatas meja.
Sebagai pengganti rokok dan agar mulutnya tidak terasa begitu asam, Farel memutuskan untuk membeli permen saja.
"Gue rasa lo bakalan sakit gigi sih, kalo kebanyakan makan permen kaya gitu." Kata Azka. Cowok itu geleng-geleng kepala pelan. Ngeri melihat Farel yang berkali-kali memakan permen itu.
Farel berdecak kesal. "Makan permen doang, nggak akan bikin gue sakit gigi. Apalagi ini kan baru pertama kali gue makan permen sampe segini banyaknya." Katanya.
"Emang apa sih bro yang bikin lo kaya gini? Dimarahin sama orang tua?" Tanya Pandu.
Farel mengarahkan matanya ke arah Zara yang baru saja memasuki kantin bersama teman-teman gadis itu yang lain.
"Gue mau berubah jadi yang lebih baik. Buat dia." Jawab Farel dengan mata tetap mengarah pada Zara.
Teman-temannya disana mengikuti arah pandang Farel. Mereka langsung mengangguk-angguk paham dengan siapa yang dimaksud oleh Farel.
"Lo beneran suka sama dia?" Tanya Evan.
Farel mengangguk. "Iya."
"Kalo dia juga mau sama lo, harusnya dia juga bisa nerima lo apa adanya dong. Nggak malah maksa lo buat berubah kaya gini. Apalagi lo harus berhenti dari segala sesuatu yang menjadi kesukaan lo." Kata Azka dengan kedua alis menaut, seperti orang marah.
Farel yang tadinya melihat ke arah Zara, kini mengalihkan pusat perhatiannya pada Azka. "Dia cuma mau gue jadi lebih baik." Katanya.
"Tapi lo terpaksa?" Tanya Azka dengan senyum meremehkan.
"Apa maksud lo? Gue sama sekali nggak terpaksa." Jawab Farel.
Meskipun awalnya ia merasa sedikit berat dan terpaksa melakukan hal ini, tapi ia sudah memikirkan matang-matang apa yang diminta oleh Zara adalah sesuatu yang membawanya ke hal yang baik.
"Udahlah, Ka. Kalo emang Farel mau berubah jadi lebih baik, yaudah nggak papa. Lo nggak perlu marah-marah dong. Mau Farel terpaksa atau nggak kan udah jadi urusan dia." Kata Pandu dan diangguki oleh yang lain, kecuali Azka.
Azka tersenyum miring. "Harusnya dia mau nerima Farel apa adanya dan Farel bisa jadi diri sendiri, nggak menuntut sebuah perubahan apapun." Katanya masih berlanjut.
Azka seolah tidak terima jika sahabatnya diatur oleh seorang cewek.
"Udahlah, selagi gue mau ngelakuin ya nggak masalah. Kalo gue udah nggak mau, yaudah gue juga nyerah." Kata Farel dengan santainya.
Sebenarnya teman-temannya disana juga tidak pernah menyangka dengan ini semua. Seorang Farel merubah dirinya hanya untuk seorang gadis, bukan karena dirinya sendiri. Sebegitu besarnya kah rasa suka Farel terhadap gadis itu?
Azka juga menghela napas pelan. Oke, mari kita lihat saja, apakah Farel benar-benar bisa berhenti merokok atau tidak? Karena cowok itu juga tidak bisa hidup tanpa adanya rokok.
***
Farel sedang duduk didepan kelas Zara. Kelasnya sudah terlebih dahulu bubar. Sesekali ia melirik ke arah pintu kelas yang masih tertutup rapat itu. Kaki yang ia tumpukan pada salah satu kakinya juga, ia goyang-goyangkan.
Ceklek...
Pintu kelas terbuka, mereka yang baru keluar dari dalam terkejut saat melihat ada Farel yang sedang duduk didepan kelas. Tumben sekali.
Farel langsung menarik tangan Zara saat gadis itu sibuk bercanda dengan sahabatnya, tanpa melihat sekeliling.
Zara tersentak kaget. Ia menatap Farel dengan tatapan tajamnya. "Lo ngapain sih? Gue kaget tau." Katanya kesal.
Bukannya merasa bersalah karena telah membuat Zara terkejut. Farel justru melemparkan senyumannya. Dengan tetap memegang tangan Zara. Hal itu membuat teman-teman gadis itu menatap heran pada Zara. Sejak kapan dua anak muda itu saling berdekatan?
"Hari ini, gue udah nggak ngerokok sama sekali." Kata Farel, seolah membuat laporan pada Zara. Nada bicara Farel juga terdengar begitu antusias, seolah begitu senang karena mendapatkan hadiah.
Zara ikut tersenyum mendengar laporan dari Farel. "Oh ya? Bagus dong, lanjutin ya. Eh, tapi masih sanggup nggak?" Tanya gadis itu.
Farel merenung. Ia lupa jika berhenti merokok bukan hanya satu hari saja, tapi seterusnya. Ia menatap Zara yang juga menatapnya.
"Bantuin ya?" Pinta cowok itu dengan tatapan teduhnya.
Zara mengangguk. "Selagi itu hal baik pasti gue bantu kok." Jawabnya.
Farel kembali mengembangkan senyumnya. "Oke, kita pulang bareng ya?"
Zara menggelengkan kepalanya. "Nggak bisa, Rel. Gue ada kerja kelompok sama mereka." Tolak Zara sambil melirik ke arah teman-temannya yang masih berdiri disana menunggunya.
Farel ikut melihat ke arah teman-teman Zara. "Emang iya?" Tanyanya.
"Apa?" Viona mengerutkan dahinya bingung.
"Kalian mau kerja kelompok?" Tanya Farel.
Viona mengangguk. "Iya, dikumpulin besok. Lo mau bantuin ya?" Tanyanya balik.
Farel tertawa kecil. "Nggak, gue cuma tanya aja." Katanya, lalu ia mengalihkan pandangannya pada Zara lagi. "Yaudah, hati-hati ya kalo pulang. Gue duluan." Katanya.
Zara mengangguk. "Iya. Lo juga hati-hati."
Farel mengangguk juga, lalu pergi meninggalkan Zara dan yang lainnya. Setelah Farel pergi, teman-teman Zara langsung mendekat.
"Lo sejak kapan sih dekat sama dia Ra?" Tanya Ines.
"Dekat gimana? Gue sama dia ya teman aja." Jawab Zara santai.
"Tapi kayanya kalian ada sesuatu gitu. Mana tadi si Farel dekat banget sama lo, terus pegang tangan segala." Kata Yuna.
Zara tertawa kecil. "Nggak. Cuma temenan aja. Dia mau berubah jadi lebih baik. Dan minta ditemani sama gue." Katanya.
"Waw, dalam rangka apa?" Tanya Viona penuh penasaran.
Zara menggeleng pelan. Ia tidak mungkin bercerita tentang apa yang dikatakan oleh Farel sebelumnya. Tentang cowok itu yang ingin dekat dengannya.
"Ra." Viona menyenggol lengan Zara.
Zara mengernyitkan dahinya. Ia menatap Viona bingung.
"Kak Farhan." Bisik Viona.
Zara melihat ke arah koridor kelasnya, ada Farhan yang sedang berjalan pelan ke arahnya.
"Hai Ra."
Zara tersenyum. "Hai kak." Sapanya balik.
"Mau pulang bareng sama gue nggak?" Tawar Farhan.
Zara menggeleng. "Nggak bisa kak, gue ada kerja kelompok sama mereka. Jadi sorry ya..." Jawabnya.
Farhan mengangguk paham. "Oh gitu. Ya udah nggak papa. Kalo gitu gue duluan ya."
Zara mengacungkan jari jempolnya. Farhan pergi dari hadapan mereka.
"Udah dua cowok tampan yang ngajakin lo pulang bareng dan lo tolak." Kata Viona.
"Kan kita emang ada kerja kelompok Vi, masa iya mau mempersulit hidup dengan merepotkan orang lain." Kata Zara.
Viona tertawa. "Yaudah ayo kita pulang. Tugas menanti." Ajaknya.
Mereka langsung mengangguk dengan kompak dan berjalan menuju ke mobil masing-masing.