Chereads / Rumah Iblis / Chapter 24 - Siluman Ular

Chapter 24 - Siluman Ular

ARGGHHH

Aku mendesis kesakitan, menahan perih dan linu sekujur tubuh. Ini pasti karena ilalang yang mengenai tubuhku ketika guling-guling tadi. Terlebih dengan posisi kedua tanganku yang terikat, membuat persendian lenganku terasa sakit apabila digerakkan. Beberapa kali aku terjatuh ketika mencoba untuk bangkit.

Masih untung, aku terjatuh di rerumputan. Lain ceritanya kalau aku jatuh di benda yang keras, semisal bebatuan.

"Rafa! Rafa!" terdengar Pak Wiryo dan kedua temannya yang berteriak bersahutan memanggilku. Wanita tadi tidak henti-hentinya merutuk atas kecerobohan yang anaknya lakukan. Percekcokan tak terindarkan, saling menyalahkan, intinya mereka dalam masalah besar jika tidak berhasil membawaku ke kerajaan demit itu.

"Gimana sih kamu! kok bisa-bisanya kamu mendorong Rafa sampai jatuh ke jurang!" sungut Pak Wiryo yang tampak gusar.

"Aku mendorongnya pelan Pak, dianya saja yang lebay sampai terperosok ke jurang"

"Lebay.. lebay! Ini bukan perkara main-main, Tau kamu! Rafa akan ditumbalkan malam ini, malam selasa kliwon. Kalau Rafa sampai tidak ketemu, Kamu mau apa dijadikan tumbal?" sahut wanita tadi tak kalah gusar, mengancam anaknya.

"Ibu, aku ini anakmu. Tega sekali ibu ngomong seperti itu!"

"Kamu itu anak yang tidak berguna ! anak manja yang selalu merengek sama ibu kalau minta sesuatu! Lebih baik kamu..."

Bukkk!

"Pak Wiryo, kenapa kamu memukul anakku?"

"Kita tidak punya pilihan lain.Sangat mustahil untuk turun kesana karena jurangnya sangat dalam. memanggil Tim SAR, takutnya mereka akan bertanya macam-macam. Jadi lebih baik kita bawa anakmu ini sebagai gantinya Rafa."

"Gila kamu Wiryo! "

"Bukannya tadi kamu yang bilang mau menumbalkannya?"

"Emmm.. emmmm aku tadi kan Cuma kesel , spontan ngomong seperti itu." jawabnya tergagap

"Ok sekarang, Kamu pilih anak ini atau kita yang menjadi tumbal." Tegas Pak Wiryo. Sepertinya wanita tadi terpaksa menuruti apa permintaan Pria berparas tampan itu.

Hening. Suara mereka tidak terdengar lagi. Sepertinya mereka sudah berlalu dari tempat itu. atau jangan-jangan mereka sengaja terdiam diatas sana sembari menunggu tanda-tanda keberadaanku?

Huh

Terdengar suara gemerisik dedaunan yang tertiup angin, dan hawa dingin yang menepuk-nepuk pipiku, serta bau tanah yang basah. Tidak salah lagi ini pasti adalah pegunungan, tapi dimana?

Aku memutuskan terbaring disana, tanpa bersuara. Entah harus sampai kapan. Pasrah, itu yang bisa Aku lakukan saat ini sembari mengumpulkan segenap kekuatan.

Seandainya aku bisa melihat, mungkin aku bisa berlari dan bebas dari cengkraman para iblis-iblis itu yang terus mengincarku.

Apakah aku harus berakhir disini?

Tuhan, jika memang ini sudah waktunya. Aku hanya ingin jasadku bisa ditemukan orang yang baik, terutama keluargaku. Jika belum, tolong selamatkan aku dari tempat ini, Tuhan."

Dalam hati, aku terus melantunkan pujian-pujian dengan khusyuk. Berserah kepada Tuhan sampai tidak terasa suasana sekitar menjadi gelap. Hal ini ditandai dengan kelopak mataku yang tidak disinari oleh cahaya matahari.

Tubuhku sangat letih tetapi aku tidak berhenti untuk berdoa. Masalah demi masalah menghantamku terus-terusan, namun terbukti Tuhan tidak pernah tidur, Dia tidak akan membiarkan hambanya berlarut-larut dalam masalah di luar kemampuan.

"Kenapa kamu disitu? Sini Nenek bantu."

Entah berhalusinasi atau apa, aku mendengar suara serak nenek-nenek di dekatku, bergetar dan datar. Tercium aroma melati yang pekat. Aku tidak berpikir macam-macam saat tangan dingin itu mencoba untuk melepas ikatan tanganku. Akhirnya aku bebas menggerakan tangan dengan leluasa.

"Ini Minumlah." Dia memberikan benda seperti kendi ke tanganku. Tak menunggu waktu lama aku langsung meneguk air itu. Segar sekali masuk ke kerongkongan, seumur hidup aku tidak pernah air putih sesegar ini. Sontak tubuhnya menjadi sangat bugar seperti sedia kala.

"Kamu dari mana, dan mau kemana?" ujarnya lembut, masih dengan suaranya yang serak. Tidak mungkin aku menceritakan hal sebenarnya kepada nenek ini.

"Saya mau mendaki gunung bersama teman-teman Nek, tapi aku terperosok di jurang ini."

Nenek itu terdiam cukup lama. dia tercenung sesaat seolah menyadari sesuatu "Kamu buta?"

Aku hanya mengangguk pelan.

"Kalau kamu tidak keberatan, singgah dulu ke rumah nenek. Biar nanti nenek yang mengobati penglihatanmu, supaya bisa melihat lagi.

"Sungguh Nek?" sahutku bersemangat. Perkataannya seolah suntikan motivasi untuk diriku yang hampir putus asa. Meski aku tidak tahu wujud asli nenek itu, yang jelas dia yang menolongku. Aku menepis semua pikiran negatif.

Lalu tangan dinginnya menggandeng tanganku dan menuntunku. Aneh, ini kan jurang? kenapa jalannya datar seperti jalan setapak? Lagi-lagi aku hanya terdiam, tidak berkomentar. Selama perjalanan tidak ada perbincangan sama sekali dengan sosok nenek tua itu.

Hingga akhirnya terdengar suara keramaian orang seperti di perkampungan. Aku dimana ini? Apa di tengah hutan seperti ini ada perkampungan?

"Nah, Sekarang sudah sampai di gubuk nenek. Ayo silakan duduk." Dia menuntunku untuk duduk di pinggir sebuah dipan kayu, yang bisanya untuk tidur. Aku menuruti perkataan nenek itu dengan pertanyaan yang masih bergelantung di kepala. Ingin sekali bertanya tapi kuurungkan.

Aku merasaan keganjilan yang nyata, hawanya tidak seperti di hutan tadi. terasa sekali udara sekitar seolah menekanku. Belum lagi wewangian, bau busuk bangkai, bau darah datang silih berganti menghampiri indera penciumanku.

"Ini ada jajanan pasar Nak, ada nagasari, onde-onde dan apem. silakan dimakan."

"Makasih Nek."

Karena perutku keroncongan, tanpa pikir panjang, aku meraih makanan yang sepertinya onde-onde yang diletakkan di sampingku. Sebelumnya aku mengucapkan doa, lalu memakannya. Namun, aku merasakan ada sesuatu yang bergerak-gerak dimulutku. Karena tidak enak dengan nenek itu, aku terpaksa menelannya dan menghabiskan onde-onde itu dengan tergesa-gesa. Tuhan, sesuatu yang bergerak-gerak itu seperti .... belatung.

Tubuhku mendadak kaku, Tekanan udara di sekitar membangunkan bulu roma di sekujur tubuhku.

"Nenek keluar dulu sebentar , mau menghadap Ibu Ratu di kerajaan ."

Aku menelan ludah. Ibu Ratu? Apa yang dia maksud itu sama dengan yang menjadi Pesugihan Pak Wiryo selama ini?

"Kalau kamu capek baring saja di dipan itu. nanti kalau nenek sudah pulang , Nenek akan menyembuhkan matamu."

Mulutku seolah bungkam. Perkataan nenek itu seperti sebuah ancaman. Bagaimana tidak, aku yang terlepas dari cengkeraman manusia iblis seperti Pak Wiryo dan kedua temannya, Justru nenek itu membawaku semakin dekat dengan kerajaan demit!!

Enggak, aku enggak boleh berdiam diri. Aku harus kabur dari sini!!!

Setelah nenek itu pergi , Aku berdiri sembari meraba dinding rumah yang terbuat dari anyaman bambu . Setelah membuka pintu aku berjalan dengan tangan di depan, tidak tentu arah.

Tiba-tiba, dari arah depan, terdengar suara berisik dari semak-semak. Tidak berapa lama, muncul anjing hutan dengan lolongannya yang menakutkan tidak hanya satu tapi puluhan. Aku panik lantas berbalik arah, berniat untuk kembali ke gubuk nenek itu. Tak dinyata, justrun aku dihadang oleh sekelompok harimau dengan aumannya yang ganas.

Panik dan ketakutan membuatku tidak bisa berfikir jernih. aku bersiap untuk mengambil langkah seribu kearah kanan. Sialnya, aku terjatuh. Mau berdiri, kakiku rasanya berat sekali, belum lagi mulutku yang seolah terbungkam rapat.

Kemudian, suasana menjadi hening. Suara binatang-binatang ganas itu tidak terdengar lagi. Namun, kali ini terdengar suara benda yang besar dan berat seperti diseret, diiringi desisan kencang sekali memekakan telinga. bahkan suara lolongan dan auman tidak sebanding dengan suara desisan itu. Jangan..jangan ular. jika desisannya sedemikian kuat, lantas seberapa besar ukuran ular itu?

Aku meringkuk pasrah. Tidak tahu harus berbuat apa. Tiba-tiba terdengar suara lembut serak yang tidak asing lagi.

"Nak, lah opo awakmu nek kene? Kan nenek sudah bilang untuk baring di rumah. sekarang kamu ikut nenek, nenek akan menyembuhkan matamu."

Nenek itu mengandeng tanganku. Entah kenapa tubuhku seperti melayang , ringan sekali. Apa nenek itu mempunyai kekuatan sehingga bisa terbang? Ah tidak tahulah, Otakku sudah capek untuk mencerna hal-hal yang tidak masuk akal.

Sampai kita berhenti disuatu tempat. Mendadak hawanya berubah panas . Kedatanganku membuat tempat itu menjadi sangat riuh sekali.

"Sendiko dawuh Bunda Ratu," ujar nenek itu yang membuatku tercekat. Jangan bilang kalau sekarang aku berada di kerajaan demit, tepat dihadapan Bunda Ratu itu!

"Terima kasih siluman ular, kamu telah membawa tamu kehormatan ke sini." Tutur Bunda Ratu dengan nada bicara yang penuh wibawa.