Seminggu yang lalu
Sekitar pukul sembilan malam, Pak Modin yang berkalung sarung mengendarai motor menuju sawah. Dia mau mengecek apakah pengairan di sawah sudah merata atau belum. Sepeninggalan Pak Rangga, dialah yang di beri mandat oleh Pak Wiryo untuk mengurus sawahnya yang luasnya berhektar-hektar itu.
Suara ringsek motornya memecah kesunyian, ditambah lagi jalan utama yang membelah persawahan itu masih berbatu sehingga sesekali terdengar ban beradu dengan batu-batuan itu. sesampainya di pematang sawah, dia menghentikan motornya dan merogoh senter dari sakunya. Cahaya senter itu menyoroti petak demi petak sawah. Terlihat Pak Modin menggut-manggut. setelah memastikan sawah sudah terisi dengan cukup air, Dia berjalan menuju diesel yang terletak dipinggir parit, dia hendak mematikan diesel yang memompa air dari parit itu.
Dengan jarak antara sepuluh meter, cahaya senter itu mengenai tubuh seseorang yang tidak asing. Pak Wiryo. Tumben dia datang ke sawah malam-malam seperti ini. biasanya dia datang untuk melihat sawah kala mata hari terbit, begitu batin pak modin. Dia menyipitkan mata, Pak Wiryo terdiam membelakanginya. Ada sebuah lampu portabel di sebelahnya.
Ingin sekali dia menyapanya, tetapi dia urungkan, dia mengamati apa yang sesungguhnya di lakukan oleh juragannya tersebut.
"Wahai Bunda Ratu, Bantulah usahaku, berikan hamba hasil panen yang melimpah..."
Pak Modin mengerutkan dahi mendengar perkataan Pak Wiryo. Apalagi melihat gelagat aneh pria itu yang mengangkat kedua tangannya seperti memohon sesuatu. Kemudian dia jongkok, dan menanamkan sesuatu berkilauan ke dalam tanah, sebuah jimat.
Setelah melakukan ritual, sosok bertubuh tegap itu berdiri sembari tersenyum lalu berbalik arah, dia tersentak saat melihat Pak Modin yang sudah sedari tadi berdiri di belakangnya.
"emmm... emmm.. Pak Modin." Pria tampan itu tergeragap, tidak menyangka jika kelakuannya dipergoki oleh tetua desa itu.
"Aku melihat dengan jelas apa yang kamu lakukan Wiryo. Ternyata kamu..." kata pria berusia senja itu menahan perkataannya.
"Iya, selama ini saya melakukan pesugihan, kenapa?" sahut Pak Wiryo dengan mantap. kepalang tanggung, dia tidak akan bisa berkelit dari Pak Modin.
"Wiryo, apa yang kamu lakukan tadi adalah dosa besar. memohon sesuatu kepada selain Tuhan, itu sama kamu menyekutukan-Nya!"
"Persetan! aku akan melakukan apapun demi kekayaan. Dan kamu hanya pesuruhku untuk mengelola sawah ini, jadi jangan mencampuri apa yang di luar dari itu, ngerti kamu!"
"Jelas, ini menjadi urusanku! aku adalah orang yang dituakan, yang bertanggung jawab atas kemaslahatan orang banyak. Terutama mereka yang sudah terlanjur bekerja di sawahmu ini, sawah hasil pesugihan!" bentaknya dengan suara yang bergetar, dia merasa miris dengan nasib warga yang memakan hasil pesugihan itu.
"Hahahaha.. silakan kamu suruh warga untuk berhenti bekerja di sawahku, masih banyak orang dari desa sebelah yang membutuhkan pekerjaan ini. Ingat! Sebagian besar warga adalah buruh tani yang menggantungkan hidupnya denganku. kalau mereka berhenti bekerja, mau makan apa mereka hah!" terang pria berparas tampan itu dengan tawa yang membahana. Sementara Pak Modin terdiam, dia seperti menimbang ucapan itu.
"Lagipula, mereka sudah memakan uang hasil dari sawah ini yang sudah aku beri jampi-jampi, sampai kapanpun mereka akan tunduk denganku.. hahaha..
"Terkutuk kau Wiryo! Setan kowe dudu menungso!"
"Ora urus." Tukas Pak Wiryo sembari jongkok. Dia menggali kembali jimat yang sudah dia tanam.
"Gara-gara kamu, aku harus kehilangan satu jimatku yang aku dapatkan dengan susah payah." Dia menggali lagi jimat yang dia tanam. Benda keramat berbentuk berlian itu se ukuran genggaman orang dewasa itu, yang hanya manjur jika ditanam dalam keadaaan sepi. berhubung kepergok oleh Pak Modin, kekuatan dari jimat itu sirna sudah sudah.
Berlian itu sudah ditangan Pak Wiryo, dia menenteng lambu portabel dan berjalan melewati Pak Modin.
"Nyawa warga ada di tanganku, kalau aku mau, bisa saya aku merenggut nyawa mereka dalam semalam. Jadi jangan sekali-kali kamu berbuat terlalu jauh. Ingat itu!"
***
Pak Modin membenamkan wajahnya di kedua telapak tangannya. Garis tua di wajahnya mengisyaratkan rasa tanggung jawab yang teramat berat.
"Aku tidak bisa berkata apa-apa saat itu, ancamannya itu sangat nyata. Seperti sulit kalau di ajak beribadah, sikap yang temperamental dan yang paling kentara adalah mereka sangat tunduk dan hormat kepada Pak Wiryo. Mungkin itu efek dari pesugihannya Wiryo." Tuturnya mengakhiri ceritanya.
"Jadi kamu sebenarnya sudah mengetahui tentang hilangnya kedua anak ini! membiarkan mereka dalam bahaya? Tetua desa macam apa kamu hah! Tega-teganya menjerumuskan orang yang tidak berdosa!" seru Bapaknya Soleh, emosinya memuncak seketika. Dia yang semula duduk, berdiri sembari menuding-nuding ke arah Pak Modin.
"Sudah Pak, jangan memperpanjang masalah yang sudah usai. yang penting sekarang kita sudah selamat. lagipula tidak ada gunanya menyalahkan Pak Modin, lebih baik kita mencari solusi." Ujarku menegahi.
"Tetap saja, apa yang dia lakukan itu tidak manusiawi, dia sama saja dengan Wiryo!" Matanya nanar memandangi wajah tua itu yang tertunduk, seperti terdakwa yang di jatuhi hukuman.
"Maafkan saya Pak, saya tidak punya pilihan lain, sebagian besar warga menggantungkan nasibnya sebagai buruh tani di sawah Pak Wiryo selama bertahun-tahun. Bisa saja aku mengusir Wiryo dari desa ini karena tuduhan pesugihan, tapi imbasnya? Dia akan memberhentikan orang yang bekerja di sawahnya. kalau sampai hal itu terjadi, akan banyak orang yang menganggur, kemiskinan akan terjadi dimana-mana."
Hening, masing-masing larut dengan apa yang di katakan tetua desa itu. layaknya makan buah simalakama, dia harus mengambil keputusan, meski ada pihak yang dirugikan. Bapaknya Soleh mengatur emosinya tatkala mendengar penjelasan Pak Modin.
"Terus bagaimana ini Pak? Kalau dibiarkan, bisa-bisa nyawa warga satu persatu akan melayang ke tangan demit-demit itu!" sergah Soleh Gusar. Meski kerajaan demit sudah hancur dan Bunda Ratu yang sempat terbakar, Dia merisaukan kalau masih ada perjanjian ghaib antara Pak Wiryo dan para lelembut yang tersisa. terutama wewe gombel.
"Aku pernah dengar jika pelaku pesugihan tidak berkutik jika mengucapkan kalimat syahadat. Atau lebih tepatnya saat membaca ayat suci." seloroh Bapaknya Soleh, yang menimbulkan sebuah gagasan dalam benakku.
"Bagaimana kalau mengadakan pengajian di rumah Pak Wiryo? Sehingga bisa menetralkan atau bahkan menghilangkan kemistisan di rumah itu." kataku mencetuskan sebuah ide. Mereka sontak menoleh ke arahku, dengan mengernyitkan dahi.
"Apa mau dia mengadakan pengajian? Bukannya selama ini kalau dia pulang kampung pasti mengadakan acara dangdutan?" sahut Soleh meragukan. Sudah lebih seminggu Pak Wiryo pulang kampung, tetapi belum ada tanda-tanda dia bakal menggelar pesta seperti dangdutan. Hal rutin yang dia lakukan kalau pulang kampung.
"Kita harus mendesaknya supaya dia mau untuk mengadakan pengajian, sekaligus kita mengundang seluruh warga untuk hadir. Kalau perlu kita undang kiyai ternama, Supaya banyak orang dari luar desa yang datang" Paparku dengan menegakan badan di sandaran tempat tidur.
"Ide yang bagus Ardi tetapi menurutku itu hal yang sangat mustahil. Apa mungkin Pak Wiryo mau mengadakan pengajian? " Tukas Pak Modin, dari nada bicaranya, terlihat jelas dia pasrah dengan keadaan.
" kita adakan pengajian di rumah Pak Rangga saja, kemudian kita mengundang semua warga, sekaligus kita undang Pak Wiryo. Karena rumahnya sebelahan enggak mungkin 'kan Pak Wiryo menolak untuk hadir? "
"Kalau begitu aku setuju." Kata Bapaknya Soleh antusias, "Hitung-hitung syukuran atas kembalinya kalian berdua. Soal biaya biar saya yang menanggung."
"Baik nanti saya bantu membentuk tim panitianya." Imbuh Pak Modin. Terlihat jelas ada keraguan dari sorot matanya. Pengajian adalah siraman rohani bagi jiwa-jiwa yang tandus, semoga bisa menetralkan bahkan menghilangkan hawa negatif di desa itu. aku tercenung sesaat, bagaimanakah nasib Pak Wiryo di gunung L***, apakah dia akan kembali ke kampung ini?