"Pak Rangga tidak apa-apa?" tanyaku agak ragu-ragu.
Hening, pria itu terus saja menatapku dengan kepala terus goyang-goyang. Aku menelan ludah. Beberapa menit kemudian. Kepalanya berhenti bergoyang. Raut wajahnya yang semula datar berubah sendu.
"Nak, Tolong," lirihnya dengan suara yang parau.
"Bapak kenapa?" Aku berjalan mendekatinya. Pria itu tak henti-hentinya mengucapkan kata sakit. Semakin mendekat, aku menangkap sesuatu keanehan saat melihat bawah. Terlihat dengan sangat jelas. Lalu, aku kembali melihat wajahnya yang terlihat seringai yang menakutkan. Tubuhnya Melayang tanpa menapakan tanah!
*
Namaku Rafa aku baru saja datang dari luar negeri, tepatnya di daerah dubai, timur tengah. Aku dipulangkan sebelum waktunya karena pandemic yang melanda dunia, di mana hotel tempat aku bekerja tidak ada tamu, hampir zero occupancy. Maka dengan berat hati aku pun pulang ke tanah air.
Pulang pun melalui proses yang sangat panjang sekali, di mana ketika sampai di bandara, saat pertama kali kita menjejakkan tanah air. Maka kita diwajibkan untuk menjalani beberapa pemeriksaan sebelum kemudian dilakukan karantina. Diletakan di sebuah wisma atlet untuk melakukan sebuah pemeriksaan Swab test.
Hingga tidak terasa karantina selesai, setelah kita itu kita dibebaskan untuk kembali ke kampung halaman masing-masing.
Rumahku berada di sebuah kota di jawa tengah, sebuah kota kecil yang mendapatkan julukan sebagai kota bandeng. Sebagai TKI yang sudah lama bekerja di luar negeri, tentu aku sangat bahagia sekali untuk pulang, apalagi sudah sekitar dua tahun aku menetap di luar negeri di mana sangat jauh perbedaan budayanya dengan kita, terlebih makanan Indonesia yang belum tentu di luar negeri ada.
Dari bandara di Jakarta menuju ahmad yani hanya memakan waktu kurang lebih beberapa jam saja. aku sangat excited sekali tatkala di bandara di jemput oleh keluargaku. Namun sayangnya, aku tidak bisa bebas untuk memeluk mereka karena korona, terlebih mereka membawa dua mobil, khusus untukku supaya aku mau menyetir sendiri.
"Untuk sementara kamu karantina sendiri ya di rumah pak ilham," tutur Ayahku. Aku terdiam sejenak. Rumah Pak Ilham letaknya paling pinggir di desaku. Rumah kosong yang sudah lama tidak ditinggali oleh pemiliknya karena pemiliknya bekerja di Kalimantan. Sudah cukup lama mungkin sepuluh tahun, sampai dia bisa menjadi pengusaha bakso yang cukup kaya di sana.Dalam hati aku ingin sekali seperti beliau.
Tidak terasa sampai di kampungku, tetapi aku tidak diizinkan turun. Melainkan harus melakukan karantina langsung. Ini atas himbauan dari desa bahwa semua orang yang baru saja datang dari luar negeri harus melakukan tes terlebih dahulu baru kemudian bisa kembali ke kehidupan yang normal seperti pada umumnya.
Aku tidak membantah dan hanya menurutinya. Aku menyandarkan tubuhku di sandaran kursi mobil karena kelelahan. Harus melakukan karantina selama dua minggu tentu bukan sebuah masalah yang besar mengingat itu hanya sebentar sebelum aku bisa kembali lagi ke masyarakat.
Sesampainya di rumah Pak Ilham, aku keluar dari sana dan menghirup udara bebas ala pedesaan. Memang ini adalah momen yang sangat berharga sekali mengingat selama di dubai jarang sekali aku menemukan hijaunya dedaunan pedesaan, serta aroma desa yang pasti sangat nyaman untuk dihirup. Sungguh mau di karantina selama apapun aku pasti akan betah.
Aku pun masuk ke rumah itu. Ternyata rumah itu sudah disiapkan sebagai tempat karantina, mulai dari makanan, minuman, bahkan ada juga televise. Hanya saja yang menjadi pembeda di antara semuanya adalah bahwa rumah ini sepi tanpa adanya orang sama sekali. Tapi buatku tidak masalah selama aku bisa menginap di sini dengan baik-baik saja.
Siang sampai malam,aku hanya tidur sampai aku terjaga. Aku baru sadar kalau sudah malam. Aku pun langsung menyalakan lampu dan merasakan kesunyian di rumah itu. Entah kenapa mendadak aku merasakan merinding yang luar biasa.
Terlebih rumah ini sepi tanpa adanya siapa-siapa. Tapi, aku langsung menghibur diriku sendiri bahwa tidak akan terjadi apa-apa. Apalagi aku yang tidak percaya dengan adanya hantu.
Namun hal yang tidak terduga tatkala aku beranjak ke teras, di mana ada sekelebat bayangan yang melintas. Ketika aku menoleh, bayangan itu tidak ada. Aku mengernyit dahi. Kemudian bayangan itu melintas lagi tepat di samping mataku. Aku masih positif thinking kalau tidak terjadi apa-apa. Aku pun kembali masuk.
Tepat ketika aku masuk ke rumah itu, aku seperti ada orang yang berada di belakangku. Aku pun seketika menoleh ke belakang dan terkejut tatkala melihat seseorang yang tidak asing di mataku, orang yang tidak lain adalah pemilik dari rumah ini yang tidak lain adalah Pak Ilham. Aku mengeryit dahi. Kapan dia pulang kampung? Apa mungkin dia baru datang dan melakukan karantina juga. Tetapi kenapa barang-barangnya tidak ada, terus kenapa orang tuaku tidak memberitahuku.
Dalam rasa penasaranku, aku pun mempersilahkan dia masuk. aku masih positive thinking saja, tapi entah kenapa semakin lama aku semakin aneh dengan dia apalagi tatapannya yang kosong sambil melihatku dengan sangat dalam. Dia seperti hantu jadi-jadian saja.
Memang segalanya bisa menjadi sesuatu hal yang bisa dianggap lebih menakutkan dari ini. Tapi aku berusaha membuang segala rasa takutku. Pelan-pelan, dengan posisi saling berhadapan kita saling mengobrol. Tidak banyak yang kita obrolkan apalagi kita sama-sama merantau. Terlebih aku melihat beliau yang terlihat hanya diam dan mengangguk. Tetapi bukan kenapa-apa. Tapi mau bagaimana lagi segalanya tidak bisa dikondisikan dengan sangat sempurna. entah kenapa ketakutan itu semakin menyergap.