"Kok tega sekali ya Mereka."
" Ya begitulah Mas, Sebenarnya, ibu dan aku mau menjenguk dan merawat beliau Tapi warga seperti melarang dan mengancam akan memusuhi kita nekat ke rumahnya. Walaubagaimanapun beliau dan keluarganya pernah bertetangga dengan kita dulu pas beliau masih susah."
Perkataan Tama kembali mengingatkanku tentang memori sebelas tahun lalu dimana kondisi keluarga Pak Muis saat itu sangat memprihatinkan.
*
Sebelas tahun lalu, Pak Muis tinggal tepat di seberang rumahku. Kondisinya kala itu sungguh memprihatinkan, untuk makan saja susah. Sering aku mendengar anaknya menangis kelaparan. Tetangga seolah buta dengan keadaan beliau.
Aku yang masih duduk di kelas dua SMP meminta kepada ibu untuk sekedar memberi nasi dan lauk. Ibu pun setuju. Lantas aku dan ibu mengunjungi rumahnya.
Rumahnya dari anyaman bambu yang sudah repot, posisinya juga agak miring seperti mau roboh. Aku dan ibu mengetuk pintu. Lalu seseorang dari dalam membukanya. Pak Muis waktu itu masih kurus kering. Betapa kagetnya aku saat melihat keluarga kecil itu dan Istrinya memberikan sepiring nasi karak (aking) dan dihanya dibubuhi garam sebagai perasanya. Anaknya itu mendorong piring itu sembari menutup mulut, mungkin saking seringnya dia memakan makanan itu jadi dia jenuh.
Ibu terlihat mengelus dada begitupun aku yang trenyuh melihat kejadian itu. Aku lalu duduk mendekati mereka dan memberikan sebungkus makanan. Betapa Pak Muis memelukku denga erat. Di sela isak tangisnya, dia berbisik,"suwun yo Nak, (makasih ya Nak) Tuhan yang membalas."
Semenjak itu aku sering berkunjung ke rumahnya untuk membagikan makanan. Dan selama itu aku menjadi akrab dengan keluarga Pak Muis, terutama dengan Pak Muis nya sendiri. Beliau sampai menganggapku sebagai anak. Tentu, aku merasa sangat senang karena jujur, aku enggak begitu akrab dengan Ayah kandungku sendiri, Selain karena Ayah jarang dirumah. Aku juga sering cekcok dengannya perihal jalan masa depan mana yang aku pilih. Ayah ngotot ingin aku jadi pengusaha, sementara aku bersikeras ingin menjadi pelaut.
Waktu bergulir begitu cepat sampai aku diterima sebagai Pekerja harian di salah satu hotel di Surabaya. Pengalaman selama dua tahun, sudah cukup menjadi syarat untuk ke Kapal Pesiar. Hanya perlu mengurus kelengkapan dokumen dan menaruh lamaran di Agen. Namun, semua itu perlu dana yang cukup besar. ketika aku pulang kampung, aku mau bicara baik-baik dengan Ayah supaya beliau sudi membantu membiayai segala keperluannya. Respon Ayah justru membuatku sangat kecewa.
"Ayah akan membantumu jika kamu merintis sebuah usaha, bukan pergi melaut. Lagian sampai kapan kamu mau jadi pelaut? Sampai tua? Kan lebih baik menjadi pengusaha, kamu bisa bersantai-santai menikmati hidup."
Perkataan Ayahku itu seolah tidak bisa memahami impian anaknya. Dengan gundah, aku pergi dari rumah dan tidak sengaja lewat di depan rumah Pak Muis yang terletak di ujung desa itu.
Kehidupan yang semakin layak mendorong Pak Muis membuat rumah yang megah, bahkan bisa dikatakan paling megah sekampung. Dia tidak lagi tinggal di depan rumahku, rumah reotnya yang hampir rubuh itu. Naas ditengah kehidupannya yang bergelimang harta, Justru dia harus ditinggal oleh istri dan anaknya sekaligus yang sudah lebih dulu menghadap Sang Khaliq.
Ditengah kebimbanganku, Pak Muis melambaikan tangan untuk mampir ke rumahnya yang megah. Iya, kemiskinan beliau tidak bertahan lama. Karena ada orang baik yang mempercayakan sawahnya untuk Pak Muis, orang itu adalah pemilik rumah kosong ini, Yang sudah lama merantau di jaya pura itu. karena beliau sangat ahli bercocok tanam padi. Hasilnya dibagi dua lambat laun dia bisa membeli sawah sepetak dan bertambah dari tahun ke tahunnya. Hingga nasib beliau berubah drastis menjadi kaya raya.
"Rafa, Sini Nak!" seru Pak Muis dari depan rumahnya. Aku yang sedang berjalan itu berhenti sejenak dan menoleh kearahnya, "Baik Pak."
"Duduk," Ujarnya ramah setelah aku menyalimi tangannya. Dia menatap dalam mataku seolah dia tahu aku sedang dirundung masalah.
"Bapak lihat kamu kok jalannya lemes banget. Ada masalah apa?"
"Ayah saya tidak mau membiayai saya untuk ke kapal pesiar, padahal itu sudah mau menjadi cita-cita saya dari dulu." Jawabku to the point. Pak Muis manggut-manggut memahani akar permasalahnya, Beliau seperti terdiam sejenak seperti berfikir, "Udah kamu lanjutkan ke kapal pesiar, soal biaya biar saya yang tanggung."
Aku yang semula lemas, menjadi bersemangat, " Makasih ya pak." Dengan cepat aku meraih tangannya dan menciuminya. Beliau seperti malaikat penolong bagiku.
Setelah aku sukses di kapal pesiar, aku tidak melupakan jasa Pak Muis. Aku sering menelfonnya ketika di kapal dan sering berkunjung ke rumah kalau liburan. Hubungan kami semakin akrab seperti layaknya Bapak dan Anak. Namun, aku tidak menyadari banyak pasang mata yang tidak suka melihat kedekatan kami. Setiap kali aku selesai berkunjung ke rumah Pak Muis, orang-orang didesa memandangiku sinis sembari berujar, "Iku lho anake Muis." (itu lho anaknya Muis)
Aku tidak ambil pusing dengan omongan mereka karena pada saat itu aku tidak menyadari jika orang sekampung memusuhi Pak Muis, yang berarti mereka juga memusuhi orang-orang yang dekat dengannya. Ya, Mungkin karena aku lama ditanah rantau, ditambah dengan aku yang kurang peka dengan lingkungan, sehingga aku tidak mengetahui jika Pak Muis seumpama Musuh bebuyutan sekampung. Sikap beliau yang sangat baik denganku seolah menutupi fakta itu.
"Terus siapa yang merawat Pak Muis! Dia 'kan sendirian dirumah!" seruku emosional sembari menggebrak meja di Gazebo itu. Para pengunjung Cafe itu serempak menoleh ke arahku.
"Tenang dulu Mas," tuturnya sembari melayang pandang ke semua pengunjung cafe, seolah meminta pengertian akan sikapku yang lepas kontrol tadi. Aku menhembuskan nafas, mencoba untuk mengontrol diri. Misteri tentang Pak Muis menyita rasa penasaranku, sehingga aku butuh penjelasan secepatnya dari Tama.
"Ini pesanannya Mas," tiba-tiba pelayan datang untuk mengantarkan minuman dan menaruhnya di meja.
"Kenapa bikin minumannya lama banget sih Mas?" ucapku sewot. Pelayan itu datang di momen yang tidak tepat. Ditambah lagi, pesanannya lambat. Sudah tiga puluh menit kita menunggu.
"Maaf Mas, Cafe sedang rame pagi. Jadi kita membuat pesanan sesuai dengan nomer antrian."
Aku berdiri dan mempelototi wajah pelayanan itu yang tampak menunduk ketakutan. Tama ikut berdiri sembari mengayunkan kedua telapak tangannya, mencoba untuk menenangkanku.
"Nggak apa-apa kok Mas, Makasih ya," tutur Tama lembut kepada pelayan itu. pelayanan itu pun berlalu.
Tama memandangiku sembari mendengus, "kalau Mas marah-marah seperti ini, aku tidak akan melanjutkan ceritanya."
Mendengar perkataan Tama, aku pun duduk dan diam seperti anak kecil yang menurut dengan orang tuanya.
"Enggak ada yang merawat Pak Muis," kata Tama melanjutkan cerita. "Sudah seminggu beliau tidak tampak, sampai tercium aroma busuk yang menyengat ketika seorang warga melintas depan rumahnya. Merasa ada yang ganjil, dia pun memanggil warga kampung untuk mengecek rumah Pak Muis.
"Terus?" sahutku dengan bibir bergetar seolah membayangkan nasib buruk orang yang berjasa dalam hidupnya itu
"Jasad beliau ditemukan tergeletak di ranjang. Badannya hitam kehijauan dan menggelembung, sepertinya sudah meninggal lama. dan yang paling mengerikan adalah matanya yang melotot dan mulutnya yang robek sampai pangkal rahang."