Pak Rangga tampak terseok-seok berjalan menaiki tangga, tubuhnya sebelah kanan tidak bisa digerakan, dia hanya mengandalkan tubuh bagian kirinya untuk bergerak. kondisinya yang stroke sebagian itu membuatnya tidak bisa melakukan aktifitas secara normal.
Aku bisa melihat gimana susahnya Pak Rangga menaiki tangga. Sesekali dia berhenti untuk beristirahat, mengambil nafas dan menghembuskannya melalui mulutnya yang sedikit membuka. Setelah berhasil, dia kembali melangkahkan kaki. Namun, naas, karena lantainya basah, Pak Rangga tergelincir dan jatuh guling-guling dari tangga ke lantai satu, dia merintih kesakitan. Dia terhenyak saat mendapati tubuhnya sebelah kirinya tidak bisa digerakkan juga. dia berteriak, namun teriakannya tertahan karena mulutnya lumpuh.
Aku yang menyaksikan kejadian itu sontak mau bergerak untuk menolong beliau tapi aku tersadar jika ini hanya rekaman masa lalu. Akhirnya, aku hanya diam melihat penderitaan beliau. Samar-samar aku mendengar suara hatinya,
" Tuhan maafkan aku, ampuni aku. Siapapun tolong aku, tolong..tolong" batinnya berteriak terus menerus. Seketika mataku memanas. Lelehan air mata mengalir begitu saja disudut mataku tanpa bisa aku tahan.
Cukup lama beliau terbaring di lantai, sampai tiba-tiba terdengar suara pintu depan di banting. Pak Rangga yang tertidur pun membuka mata, dia melirik ke arah pintu tetapi dia tidak bisa menolehkan wajahnya tetapi dia mendengar langkah kaki yang semakin lama semakin mendekat. Matanya terus berkedip mengambarkan kepanikan. Tiba-tiba langkah kaki itu terhenti tepat di sebelahnya, kini terlihat jelas dua orang yang memakai masker full face dan pakaian serba hitam. Dia menatap Pak Rangga yang tampak ketakutan.
"Oh, orang kaya kok tiduran di lantai sih" ejek salah satunya yang jongkok di dekat kepala Pak Rangga. Suaranya tidak asing. Orang itu mengangkat kepala Rangga,"
ternyata lumpuh.. pantesan"
Dukkk
Benturan keras kepala Pak Rangga yang mengenai lantai, "Makan tuh! Makanya jadi orang jangan sombong." Pria itu tertawa puas seolah tidak merasa bersalah dengan perbuatannya. Rahangku mengeras, rasanya ingin aku hajar orang itu. Tega-teganya dia menganiaya orang lumpuh.
"Tahan emosimu. Ingat ini hanya rekaman masa lalu." Lirih sosok kakek tua itu. aku pun menghela nafas, mengatur emosi.
"Ayo sekarang ikut aku." Pria itu lalu menarik baju bagian belakang Pak Rangga dan menyeretnya menaiki lantai dua. Teman pria itu mengikutinya dari belakang. langkahnya tertuju pada kamar Pak Rangga.
"Tunjukan dimana kamu menyimpan uangmu!" Pria itu menarik kerah Pak Rangga sehingga dia bisa berdiri, Pak Rangga melirik ke nakas. Seketika tubuhnya yang lumpuh itu dilempar sembarangan di atas ranjang.
Pria itu bergegas membuka isi nakas. Terkunci. Lalu pria itu meraba isi baju dan celana Pak Rangga, nah dia menemukan kuncinya. Dan membuka nakas,
Mata pria itu terbinar saat menemukan sekotak emas dan kartu tabungan yang sialnya disitu ada secarik kertas bertuliskan pin atm beliau. Aku tahu kalau Pak Rangga pelupa, makanya dia tulis pinnya di kertas. Hal sepele tapi sangat ceroboh. Lalu dia mengomando temannya, untuk membawanya
"Ambil semua jangan sampai tersisa."
Pak Rangga tidak bisa berbuat apa-apa, dia hanya pasrah melihat harta bendanya dicuri. Beliau sangat mengenali orang itu baik dari gelagatnya maupun suaranya.
"Apa kamu? kenapa kamu melihatku seperti itu?" sebuah bogem menghantam pipi Pak Rangga. Tak puas hanya sekali, dia melayangkan bogem berkali-kali. Sementara temannya hanya diam saja melihat adegan itu.
" Mampus! Rasakan ini!"
Pria itu lalu membuka masker full facenya. Aku terkejut, ternyata dia..
" Aku Reza, pelayan cafe yang selalu kamu bentak-bentak tidak jelas di depan pegawai lain, di depan karyawan. Kamu permalukan aku, menginjak harga diriku" Kata Reza dengan nafas menderu,"sekarang lihat, kamu lumpuh dan tidak ada orang yang menolongmu! Ini semua akibat kelakuanmu yang seperti binatang, cuih." Ludahnya tepat mengenai wajah Pak Rangga yang memicingkan mata.
"Sudah Reza, ayo kita pergi." Kata lelaki itu sembari memegang pundak Reza. Aku mempertajam pendengaranku, itu seperti suara ayahku. Apa aku salah dengar.
"kita sudah merampok rumahnya, rasanya kurang kalau enggak menghabisis nyawanya sekalian."
"Gila kamu! katamu hanya merampok saja, kenapa sampai membunuh." Teman Reza itu membuka masker full facenya. Tubuhku melemas saat melihat orang itu. Pendengaranku tidak salah, dia adalah Pak Minto, Ayahku.
"Heh, dengar! Aku tahu semua kebusukanmu! Apa perlu aku sebar ke semua orang!" ancam Reza yang membuat ayahku terdiam.
"Lagian, aku hanya mau melakukan ini kok." Ujarnya santai sembari mengeluarkan belati dari sakunya. Dia menduduki tubuh yang tidak berdaya itu. Pak Rangga meronta, dalam hatinya dia berteriak, jangan-jangan!. Tapi tanpa belas kasihan. Reza memotong bibirnya sampai panggal rahang. Terlihat tubuh yang tidak berdaya itu menangis menahan perihnya luka.
"Sudah lama aku ingin melakukan ini, Mulutmu perlu dikasih pelajaran, supaya berhenti membentak-bentak orang lain. hahahaha..." Tawa Reza membahana di rumah itu. aku mengalihkan pandangan ke arah yang lain, tidak kuat rasanya melihat penyiksaan itu. Aku janji setelah ini, aku akan mencari Reza dan Ayah.
Darah mengalir deras dari pipinya. Reza berdiri di atas ranjang, lalu mengencingi wajah beliau, membuat luka itu semakin terasa perih. Cukup lama Reza bermain-main diatas penderitaan orang yang sudah aku anggap ayah kandungku sendiri itu. Akhirnya Reza bersiap menghunus pisau ke tenggoroka Pak Rangga. Namun,
Sosok wewe gombel tepat berdiri di ambang pintu, Reza tidak jadi membunuh, dia turun dari ranjang, mendekati ayah. Kemudian, mereka nekat menabrak wewe gombel itu, yang ternyata tembus pandang dan berlari sekuat tenaga, keluar dari rumah.
Wewe gombel itu mendekati tubuh yang terbaring tidak berdaya itu. kepalanya terlihat bergerak-gerak menakutkan. Tangannya yang keriput dipenuhi kuku yang panjang menyentuh kening Pak Rangga. Hal yang sama yang dilakukan dengan ku di rumah kosong itu. Pak Rangga kejang-kejang seperti mendekati ajalnya. Benar saja, tubuhnya terbujur kaku, Matanya melotot. Sosok wewe gombel itu menghilang.
"Sudah."
Aku membuka mata setelah kakek tua itu memerintahku.. Sementara, aku masih terpaku melihat kejadian tadi. Pantas saja arwah beliau penasaran, ternyata kematiannya tidak wajar, sangat-sangat tidak wajar. Namun, yang membuatku tidak habis pikir ayahku juga terlibat. Walaupun, ayahku hanya terdiam membiarkan kelakuan Reza, seakan ayahku tunduk dengannya. Reza memegang rahasia Ayah. Rahasia apa itu?
Sosok yang dipenuhi cahaya putih itu menghilang seketika. Aku mengedarkan pandangan, memanggilnya, "Kakek...kakek"
Namun, tidak ada jawaban. Semua kembali sunyi. Padahal aku sangat ingin menanyakan ada apa dengan Ayah dan Reza. Aku menghela nafas. Aku pun kembali ke posisi semula menghadap kiblat.
Aku tidak tahu jika di luar rumah terjadi pertengkaran hebat antara sosok Kakek itu dengan para demit penunggu rumah Pak Rangga.