Rumah kosong itu sudah dipenuhi banyak orang. Tama yang mengantarkanku cuma biasa melihat dari kejauhan. aku melangkah menuju rumah itu dengan langkah yang cepat. Baru saja menjejakan kaki di halaman rumah itu, semua mata memandangiku. Namun, aku tidak mengubris pandangan mereka, pikiranku hanya terfokus untuk menyelamatkan Tama.
"Darimana saja kamu Hah?" seorang warga mendorong tubuhku yang hendak masuk.
"Maaf Pak izinkan saya masuk, saya harus menyelamatkan Abdul."
"Menyelamatkan katamu? Bukannya kamu yang membuat Abdul pingsan di pinggir tanggul." Sahut warga lain yang berwajah sangar.
"Saya tidak tahu soal hal itu Pak, ijinkan saya masuk. Ini kondisinya darurat." Ujarku bersikeras.
"Heh, bagaimana ceritanya kamu tidak tahu, kamu 'kan yang serumah sama Abdul?"
Aku menatap wajah mereka satu persatu. Menjelaskan semuanya butuh waktu lama, dan belum tentu mereka percaya. Aku pun memaksa masuk. Tapi mereka memegangi tanganku, dan melemparku sampai tersungkur ke tanah. Aku pun bangkit.
"Dasar anak tidak tahu diri, Setelah mencelakai Abdul, kamu main kabur gitu aja. Sekarang seenaknya kamu datang lagi ke sini!" bentak orang yang berwajah sangar tadi, sembari melayangkan sebuah bogem mentah hampir mengenai pelipis kananku. Dengan sigap aku menangkapnya dan meremas tangan itu hingga dia kesakitan. Kemudian beberapa di antaranya berusaha memukulku dengan balok kayu namun tanganku cukup lihai untuk memegangnya dan menghempaskan lagi ke mereka sehingga mereka tersungkur kesakitan. Aku melihat kedua telapak tanganku keheranan, darimana aku bisa mendapatkan kekuatan ini?
"Cukup bapak-bapak. Jangan main hakim sendiri. Selesaikan dengan kepala dingin." Ujar Pak Modin menengahi. Bapak-bapak tadi yang menghajarku, bangun dengan susah payah sembari memegangi perut. Pak Modin menoleh ke arahku, "Rafa, coba jelaskan ke saya, kenapa Abdul bisa pingsan? Lalu kemana kamu tidak ada dirumah ini?"
Aku berdecak kesal. Aku sangat membenci situasi seperti ini, "Jadi gini Pak. Saya dari subuh tadi itu pergi bersama Tama, karena ada urusan. Ketika saya pergi. Abdul masih baik-baik saja kok Pak."
Pak Modin menghela nafas, sebagai orang yang dituakan di desa, tentu beliau selalu mencari jalan tengah demi kemaslahatan bersama. Tapi kali ini, dia seolah kehabisan kesabaran menghadapi tingkahku yang beberapa kali mencoba kabur dari rumah karantina itu.
" Rafa, sudah berapa kali saya bilang kepadamu, taati peraturan. Ini semua demi keselamatan bersama. Lagipula tinggal karantina selama dua minggu apa susahnya sih?"
"Dengan karantina di rumah ini! Apa tidak ada tempat lain Pak? Rumah ini angker. Sudah saya bilang ke Bapak 'kan kalau aku sering di ganggu oleh penghuni rumah ini? Abdul yang pingsan itu pasti ulah mereka bukan aku!." Sergahku meluap-luap. Semua kegundahan terlontar sudah.
"Bukankah ayah kamu yang mengusulkan tempat ini sebagai tempat karantina?" seloroh yang lain. Seketika aku menoleh ke sumber suara, lalu aku melayangkan pandang ke semua orang, termasuk ibu yang memandangku sendu di antara kerumunan warga. Mereka mengangguk mengiyakan pernyataan orang tadi. aku masih tidak percaya, ternyata ayahku sendiri yang berniat mengurungku disini?
"Tadi, kamu bilang tidak ada tempat lain? gimana kalau rumahnya Pak Rangga?" ujar seorang pria berumur lima puluhan itu sembari mengarahkan dagunya ke rumah Pak Rangga. Semua warga pun menyetujui usulan itu.
"Baik, enggak masalah buat saya. Tapi saya minta ada yang menemani Abdul supaya tidak sendirian di rumah kosong ini." Lugasku tanpa rasa takut.
"Cuih! Sok peduli kamu, justru kami mengamankan Abdul dari penjahat seperti kamu!"
Aku tidak berkutik dengan tuduhan mereka. Aku mengalah daripada terjadi perkelahian disini dan berharap supaya Abdul baik-baik saja. Walaubagaimanapun dialah orang yang menyelamatkanku yang hampir saja menjadi tumbal. Aku merasa berhutang nyawa dengannya.
Warga pun mulai membubarkan diri. Ada tiga pria diantaranya yang tetap tinggal untuk menemani Abdul yang masih pingsan. Ibu mengampiriku sejenak, sepertinya dia tersiksa dengan sikap warga yang memusuhiku. Tapi beliau selalu menyemangatiku dengan kata-kata yang meneduhkan hati. Lalu dia berjalan bersama warga untuk kembali ke rumah masing-masing.
Sementara aku melangkah gontai memasuki rumah Pak Rangga.
***
"Mas tidak apa-apa 'kan?" tanya Tama di seberang sana.
"Enggak apa-apa kok. Tenang aja."
"Tadi aku lihat mas hebat banget, bisa membela diri pas dikeroyok warga. Sejak kapan Mas bisa bela diri?"
"Dulu ketika masih di Surabaya, aku belajar karate," sahutku berbohong
"Mas enggak takut di rumahnya Pak Rangga sendirian?"
"Enggak kok, biasa aja."
"Yakin?
"Iya, emangnya kamu penakut?"
"hehe. Ya udah kalau gitu. Wassalammualaikum."
"Waalaikumsalam." aku menutup telefon.
Nuansa gelap merajai langit. Tidak ada gemintang maupun bulan. Aku duduk di teras rumah, sembari mengamati kondisi rumah karantina itu. Aku belum tahu apakah Abdul sudah siuman apa belum. Namun, aku sedikit lega, setidaknya ada orang yang menemaninya saat ini.
Aku berjalan memasuki rumah megah itu. Hawa lembab menyambutku saat membuka pintu. Untuk kesekian kalinya aku ke sini, biasanya Pak Rangga menyambutku dengan sangat hangat, Memelukku dan menuntunku ke ruang tamu. hatiku getir ketika mengingat moment itu. Suasananya berbeda, beliau telah pergi jauh dengan meninggalkan teka-teki kematiannya yang tragis.
Rumah tingkat dua itu di dominasi oleh warna putih dengan lis warna emas, terlihat sangat elegan. Tata letak perabotannya juga tidak berubah, masih sama seperti waktu mendiang hidup. Hanya saja, karena saking lamanya rumah ini tidak berpenghuni maka terdapat sarang laba-laba dan debu di mana-mana. Listrik di rumah ini sudah cabut sehingga tidak ada penerangan didalam rumah. cuma lampu di teras saja yang mendapatkan penerangan, itu pun di salurkan listrik dari rumah kosong itu.
Lagi-lagi aku hanya mengandalkan cahaya flash ponsel untuk mengitari segala sisi di lantai satu., Dapur, ruang tamu, ruang keluarga. Kemudian aku menaiki tangga menuju lantai dua, pandanganku langsung tertuju ke pintu kamar Pak Rangga. Setelah membuka pintu, Bau yang tidak sedap langsung menyergapku. Suasananya seperti kapal pecah. Barang-barang pecah berserakan. Lemari dan nakas yang terbuka, ini pasti ulah perampok itu, batinku geram.
Dan bekas menghitam di ranjang yang memanjang, bekas mayat Pak Rangga yang sudah membusuk.
Harus bagaimana supaya aku tahu siapa pelakunya? Kalau ada cctv pasti gampang untuk mengungkapnya. Aku terduduk di ranjang sembari berfikir keras. Cukup lama aku duduk sampai kepalaku terasa panas, pikiranku buntu.
Lalu, aku memutuskan untuk berdzikir dan berdo'a memohon petunjuk kepada Tuhan. Setelah selesai berdo'a, tiba-tiba, aku terperanjat saat melihat sosok kakek bersorban itu duduk disampingku.
"Siapa kamu?"
Dia hanya tersenyum tanpa menanggapi pertanyaanku. Dia mengisyaratkanku untuk duduk berhadapan dengannya.
"Pejamkan matamu, saya akan membantumu membuka rekaman masa lalu di rumah ini, apapun yang kamu lihat nanti jangan sampai membuka mata sebelum aku perintah."
Aku yang masih terpana hanya menganggukkan kepala tanda faham. Lalu, aku memejamkan mata dengan khusyuk. Pikiranku terpusat kepada satu titik. Samar-samar terbuka kejadian beberapa waktu lalu di rumah ini.