"Sudah telponnya, cepetan sana siap-siap bikinin Papa cucu." Suara terkekeh dari pria paruh baya di ujung telepon membuat senyuman terukir manis di bibir seorang wanita cantik berambut hitam panjang yang sedang bersandar di headboard ranjang, beristirahat dari aktivitas seharian yang melelahkan.
"Ok, Pa ...." Wanita muda itu menyahut sambil mengedipkan mata sejenak, membiarkan bulu matanya yang tebal nan lentik alami bagai kipas bulu yang cantik melengkung bergerak ke atas dan ke bawah, membuat setiap mata yang memandang terpesona. Gigi-gigi putihnya yang rapi terlihat jelas saat dia tertawa sambil mengucapkan salam perpisahan dan selamat tidur untuk sang ayah.
Sosok cantik bernama Paula itu meletakkan ponsel di atas meja setelah menutup percakapan dengan sang ayah. Dia mendengkus saat memikirkan perkataan ayahnya barusan.
"Buat anak?" gumamnya pada diri sendiri, mengulangi kata-kata ayahnya sambil menertawakan keadaan diri sendiri. "Huh?"
Wanita berambut panjang dengan mata sipit itu menghela napas panjang untuk membuat tubuh lebih rileks. Yah, beberapa waktu yang lalu adalah upacara pernikahannya. Tentu tidak salah bukan bila ayahnya mengharapkan hal seperti itu? Apalagi yang akan dilakukan oleh sepasang pengantin di malam pertama pernikahan mereka?
Namun, tentu beliau akan terkejut setengah mati kalau tahu putrinya sendirian saat malam pengantin. Bagaimana tidak? Di dunia ini, mana ada malam pengantin konyol seperti yang sedang dijalani Paula? Bukankah saat ini, seharusnya adalah malam di mana suami dan istri memadu kasih dan saling berbagi kehangatan?
Paula memandangi lingerie warna gading yang tergeletak di koper yang terbuka. Lingerie yang beberapa hari lalu dia beli di Sakurano Department Store, khusus untuk malam ini.
Jemari lentik Paula memungut lingerie cantik itu dengan muka kecewa. Saat ini, rasanya seperti telah menyiapkan slide presentasi untuk pengajuan kerja sama bisnis dengan calon investor, tetapi klien tidak datang dengan tanpa menyebutkan alasan yang jelas. Sia-sia? Ya, membuang waktu dan membuang uang.
Paula mendesah panjang kemudian melemparkan kembali lingerie transparan berenda itu ke dalam koper. Dia tampak benar-benar sebal dan kecewa berat atas perlakuan suaminya yang bisa dianggap pelecehan.
Sebenarnya, Paula sangat berharap malam ini dia bisa melewatkan malam pengantin yang sempurna seperti yang dia bayangkan. Dia benar-benar ingin mengakhiri masa perawannya setelah sekian lama menahan diri dalam serangan pergaulan bebas di tempat dia menempuh pendidikan tinggi sebelumnya.
Sebagaimana anak muda yang lain, Paula sangat penasaran bagaimana rasanya menjadi seorang wanita sempurna. Mengapa teman-temannya sangat menyukainya dan tak ragu melakukan hal itu dengan kekasih atau bahkan orang asing yang baru saja mereka temui di tempat hiburan malam.
Bahkan, teman-teman Paula juga tak ragu memasang profil di aplikasi kencan hanya demi mendapatkan pasangan yang mereka mau. Setelahnya, mereka akan saling bertukar pengalaman dan menceritakan keberuntungan atau ketidakberuntungan apa yang mereka alami saat menghabiskan malam bersama dengan teman kencan barunya.
Coba tebak, bagaimana mungkin jiwa muda Paula yang serba ingin tahu tidak tergoda untuk melakukan hal yang sama? Namun, tali kekang kuat yang ada pada diri gadis itu tak mengizinkannya untuk lepas kendali. Dia akhirnya memutuskan untuk tetap bersabar sampai Tuhan mengizinkannya menikah dan memiliki pasangan yang sah baik secara hukum negara maupun agama.
Daripada pusing memikirkan hal yang tidak penting, akhirnya Paula memilih untuk melakukan hal yang produktif saja. Duduk sendirian di kamar hotel, di depan laptop dengan setumpuk pekerjaan, ditemani secangkir kopi hitam ... lebih tepatnya setengah cangkir, karena yang setengahnya lagi sudah berada di lambung.
Setelah merapikan kuncir ekor kuda rambut hitam panjangnya, Paula memeriksa ulang rencana anggaran pembukaan outlet Sakura Cake Shop and Cafe yang dikirim oleh Monica, asisten pribadinya. Mata Paula menyipit, menelaah ulang biaya pemasaran yang sekiranya kurang efektif. Sepertinya, dia akan memilih pemasaran online melalui media sosial dan sistem endorse melalui para influencer agar lebih terjangkau.
Sekitar dua jam kemudian, selesai juga pekerjaan yang melelahkan itu. Setelah mengirim email ke Monica, Paula mematikan laptop dan meneguk sisa kopi hitam di cangkir.
Kemudian, dia mengambil sikat dan pasta gigi kemudian menuju kamar mandi untuk melakukan rutinitas malam. Setelah mengganti baju dengan pajama satin yang nyaman, dia membaringkan punggung di kasur yang empuk dan tampak terlalu lebar untuk satu orang.
Sebenarnya, ke mana suami Paula pergi?
Entahlah. Sesampai mereka di kamar hotel, suami Paula segera pergi lagi tanpa pamit. Namun, Paula tak ingin repot mencari suaminya karena jujur saja, dia tak tahu kemana suaminya biasa pergi, tak kenal teman-temannya, tak tahu nomor ponselnya ... dan bahkan wajah suaminya saja, Paula belum hafal.
William. Anak semata wayang Om Alex Montgomery, teman ayah Paula. Pewaris tunggal Montgomery Enterprise. Hanya itu yang Paula tahu tentang suaminya.
Bukannya tidak peduli, Paula hanya tak punya waktu untuk berkenalan dengan William. Pernikahan ini direncanakan dengan begitu mendadak. Sedangkan Paula sangat sibuk beberapa pekan ini untuk riset tentang bakery yang sedang dia rintis.
Dua bulan yang lalu, sepekan setelah Paula wisuda, ayahnya memberitahu bahwa dia akan menikah dengan William. "Maaf karena segalanya serba mendadak, mengingat kondisi Tante Lisa, istri Om Alex, yang sedang sakit. Tante Lisa ingin segera melihat anak tunggalnya menikah dan menimang cucu." Ayah Paula menjelaskan panjang lebar, berharap putrinya memaklumi hal ini. Bagaimanapun juga, beliau sadar bahwa perjodohan mendadak adalah sesuatu yang tidak wajar.
"Papa dulu janji ke Om Alex, kami akan berbesan kalau nanti punya anak laki-laki dan perempuan," lanjut Ayah Paula sambil terus menyantap makan malam beliau.
"Hmm, tapi Paula, 'kan, udah punya pacar," komentar gadis berkulit kuning mulus bagai porselen itu seolah agak keberatan. Dia merasa, itulah jawaban yang pantas walaupun sebenarnya dia tak terlalu peduli dengan pacarnya yang sekarang ini. Paula tak pernah benar-benar jatuh cinta ke pacarnya.
"Ya kalau punya pacar tinggal diputusin aja. Gitu aja kok repot," balas ayah Paula sambil tertawa kecil. Beliau sebenarnya tahu bagaimana karakter putri semata wayangnya. Gadis itu hanya berkelit untuk menguji keseriusan sang ayah.
"Iya juga, sih," jawab Paula yang akhirnya setuju dengan perjodohan itu. "Ya sudah, deh. Terserah Papa aja. Yang penting, jangan ganggu jadwalnya Paula, ya. Paula berangkat ke Tokyo besok pagi-pagi."
"Ok, Papa bakal urus semuanya buat kamu. Yang jelas, pastikan kamu pulang minimal tiga hari sebelum hari H," kata ayahnya puas, tapi tidak berlebihan, mungkin beliau sudah menduga hasil negosiasinya dengan sang putri. Mulus tanpa hambatan, bagai menyetir di jalan tol.
"Roger!"
Yah, untuk apa berdebat? Lagi pula, sejak kecil Paula selalu diberi pakaian terbaik, mainan terbaik, makanan terbaik, sekolah terbaik, jadi sudah sewajarnya ayahnya juga akan memilihkan suami yang terbaik. Yang dia tidak pikirkan saat itu adalah, dalam hal tersebut, tidak hanya ayahnya yang terlibat, tapi juga Om Alex dan Tante Lisa.
Akankah pernikahan Paula menjadi pernikahan terbaik?
***
Bunyi alarm ponsel yang berdering membangunkan wanita mancung yang tadinya terlelap. Sudah jam tujuh pagi. Dia segera mandi dan melakukan rutinitas pagi yang lain.
Saat sedang menikmati segarnya air yang mengguyur tubuh, terdengar suara ponsel berbunyi, dan Paula pun keluar kamar mandi untuk mengangkat telpon yang ternyata berasal Monica. Dia mengabarkan pergantian jadwal meeting dengan salah satu klien untuk besok pagi.
"Baik, kalau gitu besok jam 8 pagi, ya! Makasih," kata Paula seraya menandai tanggal dan jam di agenda.
Baru saja dia tutup sambungan telepon, tiba-tiba terdengar teriakan dari arah pintu kamar.
"Aaaaaaarrrgh ...!"
Teriak seorang lelaki berambut coklat gelap yang terpaku di depan pintu. Beberapa saat kemudian, dengan salah tingkah dia menutup mata dan berbalik memunggungi Paula. Saat itulah wanita cantik itu pun menyadari apa penyebabnya.
"Ow ow!"
***
"Kamu ini punya malu apa nggak, sih? Bisa-bisanya ngelakuin hal kayak gitu di depan lelaki asing," omel William yang mukanya semerah tomat. Entah karena malu, atau marah. Wajahnya masih berpaling dari Paula walaupun badan moleknya sudah terbungkus rapi oleh bathrobe.
"Maaf, aku pikir tadi nggak ada orang. Lagian kamu kan suamiku, bukan orang asing," bantah Paula datar sambil mengeringkan rambut dengan handuk. "Trus, kalau memang malu atau marah, harusnya tadi langsung merem. Bukannya dilihatin beberapa menit," tambahnya santai sambil tersenyum usil.
Mata William yang dari tadi berpaling dari Paula kini beralih ke istrinya lagi, ingin membela diri. Mulutnya membuka hendak mengatakan sesuatu, tapi tidak jadi.
Merasa bersalah akan reaksi suaminya, Paula mengatakan bahwa dia sangat memakluminya karena Tuhan memang menciptakan laki-laki seperti itu. "Nggak usah malu. Wajar, kok, laki-laki suka lihat wanita cantik, seksi, tela—"
"Cukup!" potong William sambil membentak. Saat ini mukanya benar-benar merah padam. Paula mengerti bahwa suaminya sedang marah.
Sadar akan situasi yang tidak bersahabat, Paula pun berbaik hati mengambilkannya air mineral dari mini bar dan menyodorkan kepadanya.
Setelah William meneguk separuh botol, Paula pun mulai bertanya, "Ada apa, kok, balik ke sini lagi?"
Selintas Paula ingin menanyakan keberadaan suaminya semalam, tetapi dia urungkan karena Paula yakin dia tidak akan menjawab. Kalau memang bukan rahasia, pastinya William pamit, bukan? "Ada barang kamu yang tertinggal di sini?"
William menggeleng, "Mau jemput kamu. Kita pulang hari ini saja. Cepetan kemas-kemas, ya!"
Begitulah. Hari ini akhirnya Paula pulang ke rumah William, suaminya, bukan ke rumah ayahnya.
'Well, kemana saja lah. Asal bisa kerja dengan tenang,' gumam gadis berhidung mancung itu dalam hati. Lagi pula, dia sadar bahwa seorang istri harus tinggal segera dengan suaminya setelah pernikahan berlangsung.
Saat berkendara menuju rumah, Paula mengamati wajah William sesekali. Gadis itu merasa gemas karena William juga beberapa kali mencuri pandang. Saat tak sengaja mata bertemu, saat itulah wajah William berubah memerah.
Refleks, Paula tertawa kecil, lalu bertanya, "Will, kamu masih perjaka, ya?"