Chereads / Istri Agresif Tuan Muda / Chapter 7 - 7. Sepupu

Chapter 7 - 7. Sepupu

"Angkat saja!" kata Paula dengan nada rendah.

William tidak melakukan apa-apa selain menatap wajah Paula. Dia tidak bisa memutuskan apa yang terbaik untuk dilakukan sekarang. Namun, Paula tidak tahan dengan kebisingan itu dan menekan tombol hijau tanpa persetujuannya. Itu membuatnya mengutuk dalam diam. Dia tidak bisa menahan diri untuk menjawab panggilan itu.

"Will …." Suara serak Lea membuatnya cemas.

"Lea, hai…."

"Jangan bilang 'hai' ke aku," Lea tersinggung. "Bisakah kamu datang lebih awal? Aku harus pergi ke rumah sakit sekarang."

Mata William melotot. Dia menghadapi Paula yang tidak tahu apa yang sedang terjadi. "Tentu. Aku akan mendatangimu setelah mengurus urusan keluarga. Bisakah kamu menunggu sekitar tiga puluh menit?"

"Will, kamu tahu aku tidak bisa menunggu lebih lama lagi. Tidak apa-apa. Aku akan memanggil taksi. Kondisi ibuku semakin parah."

"Lea…."

"Bye! Mari kita bertemu di rumah sakit."

Lea menutup telepon, meninggalkan William yang menatap jalan dengan wajah kosong.

"Kamu mengambil waktu yang baik membuat keputusan, bukan?" Paula semakin bersemangat. "Bagaimana kamu akan menjalankan bisnis keluarga di masa depan jika kamu bersikap seperti ini?"

"Lagi pula, aku bingung! Keduanya penting bagiku!" bentak William karena stres.

"Oke! Sudah berapa lama kamu pergi dari Lea? Dan bagaimana dengan keluargamu?" tanya Paula kesal. "Apa akibatnya jika kamu membatalkan pertemuan dengannya? Jika kamu melarikan diri dari pertemuan keluarga, apa ruginya?"

William terkesima. Bagaimana dia bisa menganalisis situasi saat ini dengan sederhana? Seperti mengerjakan soal anak sekolah dasar.

"Terima kasih! Kamu adalah penyelamat." William tersenyum tulus. "Aku bisa membuat pilihan sekarang."

Paula balas tersenyum padanya. Meski ada sedikit kehampaan di hatinya saat William memutuskan untuk menemui Lea, dia mengabaikan perasaan itu. Dia harus bertindak seperti apa yang dia sarankan sebelumnya kepadanya. Teman tapi mesra. Tidak ada perasaan yang terikat. Tidak bisa lebih dari itu.

Sesampainya di rumah Larissa, Paula dan William menyapa keluarga tante mereka. Keluarga yang hangat. Hal itu membuat wajah Paula terasa perih karena harus tersenyum terus.

"Keluarga ini mengingatkanku pada beberapa telenovela lama," bisik Paula di telinga suaminya. "Ada begitu banyak orang yang tinggal di mansion ini."

"Yah, mansionnya terlalu besar. Mengapa hanya diisi sedikit orang?" William membela.

"Pamanmu menghamili istrinya setiap tahun, bukan?" Paula berbisik lagi. Mulutnya terbuka lebar, menatap anak-anak Larissa. Tiga di antaranya masih balita, diasuh oleh beberapa pengasuh. "Banyak anak! Satu, dua, …, tujuh?"

"Delapan anak."

"Apa katamu? Serius? Delapan?"

"Ya, mereka membutuhkan lebih banyak anak untuk membantu mereka menghabiskan uang," kata William menggoda istrinya. "Keduanya berasal dari keluarga kaya."

William kemudian bercerita singkat bahwa pamannya, Thomas, dituduh tidak subur. Kemudian, dia membalas tuduhan orang-orang dengan membuat anak sebanyak yang dia bisa ketika dia bertemu dengan cinta sejatinya, Larissa.

"Wah, jalan cinta yang unik. Seperti manusia serigala, ya? Pasangannya hanya satu," komentar Paula santai disambut tawa seseorang dari belakang.

"Apa yang kamu bicarakan di belakangku?" tanya pria berpakaian santai yang wajahnya tampak seperti baru bangun tidur. "Menggosipkan orang tuaku?"

William berbalik dan menemukan sepupunya yang seumuran dengannya. "Oh, Sam?

Bagaimana kabarmu?"

Samuel, sepupu William, baru saja kembali dari tur keliling Eropa. Dia masih merasa lelah. Dia tidak ingin bangun jika ibunya tidak memberitahunya bahwa William akan datang bersama istrinya.

"Maaf, Bro! Aku tidak bisa menghadiri pernikahanmu," kata Samuel sambil memeluk sepupunya. "Itu pemberitahuan singkat dan tidak sesuai dengan jadwalku yang padat."

"Tidak apa-apa, Sam! Jangan khawatir."

William menepuk punggung Samuel saat pelukan mereka semakin erat.

"Oh, ini Paula, istriku. Paula, ini Samuel, sepupuku! Waktu kami kecil, penampilan kami seperti fotokopi," jelas William sambil tertawa.

Paula meraih tangan Samuel dan berkata, "Kok kalian berdua jadi beda sekarang?"

Memang, Samuel membedakan diri dari William. Dia sebal kalau disamakan dengan sepupunya. "Aku banyak berjemur agar kulitku lebih eksotis dari William." Samuel berkata, melempar senyum ke arah Paula.

"Istrimu cantik," bisik Samuel ke telinga William.

William hanya tersenyum geli. Memang, Paula sangat cantik. Tidak kurang dari Lea. Kedua wanita itu memiliki pesona yang berbeda. Hal yang paling menarik dari Paula adalah karakternya, seorang wanita tegas yang pandai dalam urusan rumah tangga. Namun, bagi William, Lea lebih feminim dan sederhana serta terlihat lebih menarik.

Tak lama kemudian, William mengucapkan selamat tinggal kepada semua orang dengan alasan rapat, seperti yang disarankan Paula.

"Sam, aku ada acara. Pamit dulu." William melakukan hal yang sama kepada semua orang. Tidak ada yang curiga akan hal itu kecuali Samuel. Dia kemudian mengeluarkan ponselnya dan menelepon Danica, sekretaris William. "Halo, Danica, benarkah William ada rapat hari ini?"

"Oh, hari ini jadwalnya kosong, Pak. Katanya sudah ada janji," jawab Danica heran.

Mendengar jawaban Danica, mata Samuel menyipit sambil mengangguk pelan. Giginya bergemeletuk. Dia tahu ke mana William pergi saat ini.