William dan Paula menjalani kehidupan rumah tangga dengan normal selama beberapa bulan. William tak menyangka dia akan sangat menikmati usulan Paula tentang hubungan saling menguntungkan yang dia tawarkan. Hal tersebut memberikan warna baru dalam keseharian William. Harinya menjadi lebih bersemangat. Dia bahkan menunggu-nunggu saat-saat dia bisa menghabiskan waktu bersama Paula.
Rencana William membuat Paula membenci dan menjauhinya gagal total. Mereka berdua kini justru menjadi akrab seperti sahabat. Saling membantu urusan pekerjaan maupun urusan rumah. Di malam hari, selepas bekerja, mereka berdua saling membantu melepas penat. Saling memijat, saling membantu membersihkan diri, dan tentunya saling membantu memenuhi kebutuhan jasmani hingga keduanya merasa rileks setelahnya dan dapat beristirahat dengan kualitas yang lebih baik.
Pagi itu, William bangun lebih dahulu dari Paula karena Skype-nya berbunyi. Matahari bahkan belum bersinar. William tahu bahwa video call pastilah dari Lea yang berada di zona GMT+9.
"Will ...." Panggilan video itu menampakkan seorang wanita cantik bermata bulat dengan kulit terang nan bersih. Wajahnya yang lonjong tampak sembap, sudah pasti terjadi masalah besar di negara tempat dia tinggal.
"Ada apa, Lea?" William tampak khawatir. Dia pun menoleh ke kiri, tempat Paula masih terlelap. Karena tak ingin Lea mengetahui apa yang dia lakukan dengan istrinya, dia pun beranjak dari tempat tidur, membawa ponselnya ke luar kamar. "Cerita, dong, Sayang! Jangan nangis terus."
"Aku batal lanjut S3 di sini. Profesorku pindah ke universitas lain." Lagi-lagi, Lea sesenggukan tanpa menuntaskan apa yang dia bicarakan. "Kalau aku pindah ke profesor lain yang kumau, beasiswaku nggak bisa diteruskan."
Lea terus menangis, menjeda ceritanya dengan meninggalkan rasa penasaran dalam diri William. Setelah beberapa saat, Lea melanjutkan ceritanya lagi. "Aku September ini pulang aja, Will. Aku nggak bisa Bahasa Jepang, jadi nggak bisa kerja sambilan. Lagian, gimana dengan adik-adik aku di rumah kalau aku sendiri nggak mapan di sini. Aku nggak mungkin bisa ngirim uang ke mereka."
Kesedihan Lea menggores perasaan William. Dia di sini hidup senang, sementara Lea bersusah payah hidup di negeri asing. "Sayang, gimana kalau kali ini kamu terima aja bantuan finansial dariku?"
"Nggak, Will. Aku nggak mau dibilang gold digger lagi sama Mommy kamu." Hening. Lea mengusap air mata yang membasahi pipinya. "Aku sudah mengirimkan lamaran pekerjaan ke beberapa perusahaan. Sudah aku putuskan buat pulang, Will. Lagi pula, adik-adik membutuhkanku di rumah. Mungkin ini memang sudah takdir."
Lea mengakhiri panggilan video. Dia berjalan kaki dari asrama ke kampus agar lebih hemat dan bisa menyisihkan jumlah yang lumayan untuk keluarganya di Indonesia. Bila terlalu siang, akan terasa panas tentunya karena musim panas masih belum berakhir. Maklumlah, matahari terbit sekitar pukul empat pagi saat itu di sana. Karena itulah, Lea memilih untuk berangkat ke kampus pagi-pagi sekali.
William meletakkan ponsel dengan perasaan campur aduk. Lea akan pulang lebih awal. Sementara dia masih belum menjelaskan perihal pernikahannya dengan Paula.
Atas permintaan William, pernikahannya dengan Paula memang sengaja tidak diumumkan ke publik. Hanya sebatas keluarga dekat. Di luar pun, William dan Paula tak pernah menampakkan kemesraan. Jadi, pria itu masih beruntung karena hampir tak ada yang tahu kehidupan pribadinya yang sudah tak lajang lagi.
William mengira dia masih akan punya tiga tahun lagi untuk mengkondisikan antara keluarganya dengan Lea. Namun, takdir berkata lain. Semuanya serasa harus dipercepat.
"Telepon dari pacar kamu?" Tiba-tiba suara Paula yang masih agak mengantuk mengagetkan William.
William menoleh dan mengangguk. Entah mengapa dia merasa gugup seolah melakukan kesalahan. Padahal, dia dan Paula sudah berjanji tak akan melibatkan perasaan dalam menjalani pernikahan ini.
"Lea akan pulang tiga bulan lagi." William menelan ludah, menatap Paula dengan mata merah.
Paula pun memahami kegundahan William saat ini. Dia pun mendekat dan memeluk William. "Jangan khawatir. Kamu jelaskan saja seperti semua yang kita rencanakan. Jika dia mencintai kamu, pasti akan mau mengerti, bukan?"
Perkataan Paula membuat William merasa sedikit tenang. Namun, entah mengapa dia merasa semua tak akan berjalan dengan mudah. Tak akan semudah membalik telapak tangan tentunya.
***
September pun tiba. Seorang wanita cantik berpostur proporsional berjalan keluar bandara dengan wajah lelah tetapi penuh senyum. Rambutnya yang dikuncir ekor kuda tampak tak terlalu rapi karena perjalanan yang memakan waktu sekitar delapan jam membuatnya tertidur di pesawat.
Dia memang sedih karena harus pulang ke Indonesia lebih awal. Namun, di sisi lain, dia merasa bahagia karena akan segera bertemu dengan kekasih yang sangat dia cintai. Kekasih yang kini melambaikan tangan ke arahnya dan menunggunya bersama para penjemput lain.
"Will, aku kangen sama kamu!" ujar gadis itu setelah berlari dan berhasil memeluk kekasihnya.
"Aku juga, Le!" William membalas pelukan Lea dengan sangat erat. Beberapa mata memandangi mereka hingga membuat keduanya merasa tak nyaman dan memutuskan untuk segera pergi dari tempat itu.
Atas saran Paula, William tak mengatakan langsung apa yang sebenarnya terjadi selama Lea tinggal di luar negeri. Dia harus memilih waktu yang tepat untuk membicarakan hal ini dengan Lea. Bagaimanapun juga, mood merupakan faktor yang sangat penting untuk menjelaskan hal yang pastinya tak akan Lea sukai.
Saat keduanya sudah sampai di kediaman Lea, William membantu memasukkan barang-barang Lea yang tak cukup banyak ke dalam rumah. Sebenarnya, karena pindahan, barang-barang Lea pastilah sangat banyak. Namun, semuanya dikirim lewat jasa pengiriman internasional yang cukup murah. Kira-kira baru akan sampai empat pekan lagi.
Tiga orang adik perempuan Lea datang menyambut keduanya dengan suka cita. Ketiganya menagih oleh-oleh yang dijanjikan Lea. Namun, tentu saja Lea menegur mereka. "Nanti, ah! Bikinin minum dulu buat William!"
Si bungsu pun bersungut-sungut. "Pulang-pulang Kak Lea malah nempel ke pacar. Bukannya adik-adiknya dulu diurusin!"
Lea mencubit pipi adik bungsunya. Namun, adiknya yang lain pun menunjukkan protes serupa.
"Le, aku pulang dulu deh kalau begitu," pamit William karena merasa mengganggu family time.
Lea pun dengan berat hati melepas kepergian William. Dia mengantar William ke depan. Hanya saja, wanita itu terheran, mengapa William berbelok ke kanan? Apakah dia pindah rumah? Jawabannya tentu karena jalan ke kiri adalah rumah orang tua William. Sedangkan William belum pernah bercerita bahwa semenjak menikah, dia membeli rumah sendiri.
Sambil bertanya-tanya, Lea masuk ke dalam rumah. Namun, kegundahan yang melanda hatinya tentu tak akan lama berlangsung karena adik-adiknya telah menyambut lagi dengan berbagai urusan tak terlalu penting.