"Loh, kok udah sampai rumah aja?" tanya Paula saat William membuka pintu. Karena suara gorengan yang berisik, dia sampai-sampai tidak mendengar mobil William masuk ke halaman rumah.
Sayangnya, pertanyaan Paula malah dijawab dengan ledakan tawa William. Suami Paula itu tergelak terbahak-bahak sampai-sampai berguling di sofa.
"Dasar! Kamu kenapa? Ditanya baik-baik kok malah ketawa nggak jelas?" protes Paula seraya membalik masakan di wajan.
Sambil terus tertawa, William menunjuk Paula seraya berkata, "Kamu nggak ngaca? Penampilan kamu, loh, kayak astronaut aja!"
Paula mengamati dirinya sendiri. Saat ini, dia memang memakai sarung tangan baking, jaket tebal, dan juga helm. Sumpit yang dia pakai untuk membalik gorengan, terlihat seperti senjata ninja.
"Yah, gimana lagi? Aku takut tempura gorengnya meletus. Mencegah, 'kan, lebih baik daripada mengobati!" jawab Paula santai.
"Ya, tapi, cantik kamu ilang kalau kayak gitu!" bantah William lagi.
"Justru, kalau nggak pakai pengaman, kulitku terancam kena minyak panas. Cantikku ilang beneran nanti!" jawab Paula seraya mengangkat gorengannya dengan saringan.
William terkesima melihat gorengan tempura udang, ubi kuning, labu, dan terung ungu yang semuanya diiris tipis. Aroma sedap tempura pun menggoda hidung hingga membuat air liurnya menetes.
"Hmm … ini namanya masakan apa?" tanya William antusias. Tangannya sudah siap mencomot tempura labu kuning. Namun, dengan sigap Paula menampiknya.
"Cuci tangan dulu sana!" hardik Paula. "Nggak akan lari tendon dikejar!" jelas Paula, menyebutkan nama masakan yang dia sajikan di meja makan.
William dan Paula yang kini sudah berpakaian normal, tampak menikmati makan siang dengan lahap. Akhir-akhir ini, Paula memang sering masak di rumah. Hal ini membuat William malas untuk makan di luar. Selalu saja dia menanti masakan baru apa yang akan dibuat Paula untuknya.
"Enak banget, ya! Baru kali ini aku makan tendon," puji William. "Ternyata mirip bala-bala dimakan pakai nasi," komentarnya lagi.
"Kamu, sih, jarang makan makanan Jepang. Tahunya paling ramen sama sushi doang!" ledek Paula seraya tersenyum simpul. "Lea kuliah master di Jepang, kan? Nanti coba minta dia masak buat kamu, deh!"
Mendengar kata Lea disebut, mendadak perasaan William tak enak. Dia meneruskan makannya dengan lidah yang terasa hambar.
"Oh, ya! Pertanyaanku belum kamu jawab tadi. Kamu, kok, pulang cepet?" tanya Paula seraya menggigit tempura terungnya. "Nggak kangen sama Lea?"
William menunduk, tak ingin menjawab pertanyaan Paula. Dia tak habis pikir, bagaimana mungkin Paula menanyakan tentang Lea dengan sangat santai, seolah dia tidak melakukan apa pun terhadap hubungannya dengan Lea.
"Hmm … iya. Aku pikir, Lea masih ingin kangen-kangenan sama adik-adiknya. Jadi aku pulang duluan," jawab William dengan senyum yang dipaksakan.
Paula mengangguk saat menyuapkan nasi terakhir dengan sumpit. "Ya sudahlah. Kalau gitu, kita bisa main, dong!" ujar Paula dengan mengedipkan mata. Centil.
***
"Kenapa kok udah selesai?" tanya Paula ke William saat suaminya menyudahi permainan setelah membuatnya mencapai puncak beberapa kali. "Kamu nggak mau?"
Mata wanita itu menatap sang suami dengan iba. Dia tahu bahwa ini semua terjadi sejak kedatangan Lea.
"Kamu merasa bersalah ke pacarmu?" tanya Paula sambil mengelus rambut William yang basah oleh keringat.
William mengusap muka. Dia pun beranjak dari sisi ranjang, berpakaian, dan segera menuju dapur untuk mengambil minuman.
William meneguk air mineral dingin dari botol tanggung lalu menyandarkan punggungnya di kursi makan di dapur. Dia mendengus kesal, entah kepada siapa.
Di satu sisi, dia tak mungkin membiarkan Paula berkeliaran mencari kesenangan di luar hanya untuk memenuhi kebutuhan jasmani karena dia tak mau memberikan nafkah. Bagaimana bila nanti orang tua mereka tahu hal ini? Bagaimana bila Paula bahkan tertular penyakit karena kehidupan bebas. Kesalahan akan jatuh padanya.
Di sisi lain, dia merasa sangat bersalah karena telah terlibat hubungan badan dengan wanita selain Lea. Walaupun wanita itu adalah istrinya sendiri. Tapi, entah mengapa dia seperti selingkuh dari Lea.
"Will, kamu merasa bersalah?" Lamunan William buyar mendengar suara istrinya yang ternyata membuntuti ke dapur.
William mengangguk sambil mendesah, menampakkan wajah resah. Paula mengambil kursi dan duduk lebih dekat dengan William.
"Will, kamu nggak berada dalam hubungan yang salah. Kita pasangan yang sah. Untuk apa kamu merasa bersalah seperti itu?" Mata Paula menatap William dengan serius, seolah memarahi seorang anak yang merasa bersalah karena lebih memilih belajar daripada bermain dengan kawannya.
"Aku merasa bersalah Paula! Aku merasa selingkuh! Aku sudah menjadi lelaki tak setia!" Suara William meninggi. Dia tak mengerti mengapa Paula terus menerus memaksakan pendapat bahwa dia tidak melakukan kesalahan.
Paula pun meradang. "Will! Hentikan! Mikir, dong, yang logis!"
"Ka—"
"Siapa yang seharusnya merasa diselingkuhi? Aku istri sah kamu! Kalau kamu mencintai wanita lain, berarti kamu selingkuh terhadapku!" Mata Paula memerah, meradang, dan panas. Giginya menggertak tak percaya dengan kelakuan suaminya. "Secara hukum, begitulah yang terjadi. Aku lebih berhak atas kamu!"
"Paula!"
"Seharusnya kamu merasa bersyukur aku bisa berkompromi sampai sejauh ini! Aku hanya meminta nafkah lahir batin, bukan perasaan kamu!" Paula pun berdiri dengan kasar, membuat kursinya terdorong ke belakang, terjengkang, dan menimbulkan bunyi besi terbanting yang cukup membuat jantung berdegup lebih cepat. Dia pun segera angkat kaki dari sisi meja, meninggalkan William dengan rasa marah yang membuncah.
Namun, di tengah perjalanan kembali ke kamarnya, wanita cantik berwajah tegas itu berhenti dan berkata, "Kalau kau merasa bersalah, bersikaplah layaknya laki-laki. Kita bercerai secepatnya!"
Paula tak membuang waktu lama untuk berdebat dengan William. Percuma saja baginya mengikuti jalan pikiran William yang menurutnya terlalu melibatkan perasaan. Sesuatu yang tak Paula harapkan dari sosok yang menjadi suaminya.
Sementara itu, William masih termenung di dapur, berusaha meresapi kata-kata Paula. Memang, sejak awal Paula menyikapi pernikahan mereka selayaknya bisnis.
William yang merasa bersalah pun menemui Paula ke kamarnya. Dia mengira Paula sedang menangis di kasur, tetapi dia justru melihat istrinya itu sedang bekerja memeriksa laporan keuangan bulanan yang tampaknya baru saja dikirim.
"Paula, maafin aku," ujar William dengan suara parau yang pelan.
"Tak mengapa. Kita bisa bercerai secepat mungkin agar kau bebas." Paula berkata dengan datar tanpa menoleh ke William.
"Itu tak mungkin untuk sekarang ini. Kondisi kesehatan Mommy tak memungkinkan untuk itu." William berbisik. Dia berjalan dan duduk ke sisi ranjang Paula dengan wajah pasrah.
Paula pun menoleh ke arah William. "Kau tahu konsekuensi kalau kau tak menceraikan aku?"
"...."
"Aku masih akan terus meminta kau memenuhi kebutuhan-kebutuhanku dan melarang kamu melakukan hal yang sama dengan wanita lain. Termasuk pacar kamu!" Mata Paula mendelik. Dia sangat serius dengan perkataannya. "Pernikahan itu membawa konsekuensi. Aku tidak mau rumah tanggaku seperti orang-orang di luar sana yang saling selingkuh antara suami-istri."
Mulut William terbuka. Hendak mengatakan sesuatu. Namun, tidak sempat karena Paula menyambar kesempatan itu.
"Apa kamu sanggup, Will?"
William pun mengusap wajahnya. Lalu tersenyum tipis. "Baru kali ini aku menemui wanita aneh seperti kamu!"
"Maaf kalau aku bukan wanita yang lembut dan baik hati!" balas Paula sambil mengerucutkan bibir.
"Kau seperti penegak hukum!"
"Terserah!"
"Ayo!"
"Apa?"
William pun mendekat ke arah istrinya dan memeluknya dari belakang. "Ayo kita lanjutkan yang tadi terputus!"
"Kau yang memutus!" Paula berkata datar, mengingatkan William bahwa dia yang bersalah. "Aku sedang nggak berminat sekarang. Moodku hilang berantakan."
"Hmm, bukankah kamu yang bilang kalau aku tak boleh melakukannya dengan wanita lain?" William berbisik sambil mendekatkan muka ke wajah Paula.
Paula tersenyum sinis. "Kalau begitu, buat moodku kembali."
William pun memenuhi permintaan Paula. Mereka berdua pun melanjutkan kembali hal yang tadi sempat berhenti di tengah jalan. Tak sulit. Karena raga mereka telah terbiasa satu sama lain. Ritme keduanya telah terbentuk karena terlatih untuk bersama. Senada dan seirama.