Sekujur badan William telah basah oleh keringat. Dia benar-benar terlihat memaksakan diri untuk bertahan dan menghindari serangan Paula.
Matanya kini tak hanya melihat ke arah lain, tetapi juga terpejam karena tak ingin kalah. Sebisa mungkin dia mengusir bayangan indah nan molek dari matanya. Sayangnya, William tak bisa menghilangkan pesona itu dari benaknya.
Jantung William berdetak kian kencang. Darahnya mengalir dengan sangat cepat bagai digerakkan dengan mesin pompa. Sudah tidak ada keraguan bagi siapa pun yang melihat, bahwa saat ini William benar-benar ingin membenamkan diri ke dalam indahnya pesona fisik Paula.
Namun, nurani William yang masih murni mengatakan hal lain. Dia harus tetap mempertahankan hal yang dia yakini. Dia telah berjanji pada diri sendiri bahwa dirinya tak akan menyentuh sang istri.
Karena itulah, saat ini, William mengatakan satu hal yang tadinya dia rahasiakan ke Paula. Hal yang seharusnya akan membuat wanita mana saja akan menjauh darinya. "Maaf, Paula! Aku tak bisa menyentuh kamu. Aku telah memiliki kekasih."
Hening. Paula bergeming. Dia menurunkan kedua lengan yang tadinya mengundang William ke pelukannya.
"Aku menikahi kamu karena ancaman Mommy yang sedang sakit," lanjut William lagi yang kini berhasil menurunkan intensitas yang tadi sempat meledak-ledak.
Dia sadar, ada kekasih yang sedang menanti dan percaya akan janjinya. Janji untuk menikah walau orang tua William tidak setuju. Janji untuk menikah nanti bila keadaan sudah bisa dikendalikan.
Sekarang, William sangat yakin Paula akan menyerah dan pergi. Namun, tak terlihat tanda-tanda bahwa gadis itu akan segera menyingkir dari kamarnya. Bahkan mengambil kain demi berpenampilan yang lebih sopan pun tidak dia lakukan.
Perkataan Paula yang berikutnya lebih mengagetkan William. "Hanya itu alasannya?" tanya Paula dengan datar.
"Ha–hanya itu?" jantung William kembali berdegup kencang. Pria itu merasa akan ada serangan yang lebih kuat akan dilancarkan. Namun, dia tak tahu apa itu.
"Kalau begitu, kita bisa tetap melakukannya tanpa harus ketahuan kekasihmu itu, bukan?"
"Apa?" Mata William terbelalak tak percaya. Reaksi Paula sangat tidak masuk akal. Hal itu sama sekali di luar perhitungannya.
"Kamu laki-laki. Nggak akan ketahuan masih perjaka atau tidak. Selama kamu nggak bilang ke dia, dia nggak akan tahu!" jelas Paula bersikukuh dengan misinya.
Karena kesal, gadis itu melipat kedua tangannya di atas perut, menyangga sesuatu yang sangat indah dan sangat menggoda hati William dari tadi. Celakanya, saat Paula melakukan hal itu, William menoleh ke arahnya, membuat hasrat pria itu kembali terbakar.
William mengerang pelan karena marah dan senang dalam waktu yang bersamaan. Pertunjukan istimewa yang dia saksikan secara langsung di depannya itu begitu menguras kewarasan.
Pria bertubuh jangkung nan atletis itu pun segera mengerahkan seluruh kekuatannya untuk berjalan ke ranjang dan menarik selimut putih tebal dari atas kasur. Dia kemudian mendekati Paula dan menutupi tubuh istrinya dengan kain lebar tersebut. Membuat Paula merasa ditolak untuk kesekian kalinya.
Napas William yang terengah-engah masih terdengar jelas oleh telinga Paula. Wajahnya terlihat sangat tersiksa atas tingkah Paula saat ini.
"Will, aku berniat menikahi kamu bukan buat main-main. Jadi setidaknya tunaikanlah kewajiban kamu untuk menafkahi aku selagi kamu bisa," ujar Paula sambil menengadah ke muka William saat pria itu melilitkan selimut di tubuhnya.
Sejujurnya, telinga William merasa tersengat mendengar semua penuturan Paula yang terdengar sangat logis dan tak berdosa. Namun, dia harus tetap bertahan. "Paula, maafkan aku. Ini di luar kemampuanku."
"Will, aku udah terlalu lama menjaga mahkota ini sampai usia dua puluh dua tahun. Aku nggak sanggup kalau harus menunggu lebih lama lagi. Mau dibilang apa sama teman-temanku, Will?" bisik Paula dengan sangat serius. "Aku menjaga kesucianku sampai akhirnya menikah. Aku kira, setelah menikah, rasa penasaran ini bakalan berakhir. Tapi mengapa aku harus mendapatkan suami yang seperti kamu, Will? Ini sungguh nggak adil."
"Pau—"
"Apa kamu menyuruhku untuk mencari kesenangan di luar dengan menyandang status sebagai istri kamu?" Paula menengadah. Matanya berkaca-kaca menatap William dengan pandangan memohon.
William pun terpaku. Memegangi bahu Paula, bergeming. Mengapa sekarang, semua yang William lakukan terasa salah? Mengapa wanita di hadapannya ini membuat seolah dirinya adalah suami yang tak bertanggung jawab karena menelantarkan istri?
William mendesah. Wajahnya muram dan bingung. Dia tak bisa mengambil keputusan dalam waktu sesingkat ini.
Paula yang melihatnya pun mengerti apa yang dipikirkan oleh William. Kemudian, dia menawarkan sebuah solusi. "Aku tahu kamu ingin setia ke kekasih kamu, 'kan? Bagaimana kalau kita melakukan hubungan ini tanpa melibatkan perasaan?"
"Maksud kamu ... friends wit—"
"Friends with benefits!" sahut Paula tegas. "Kita lakuin hal ini kayak main aja. Permainan yang saling menguntungkan. Okay?"
"Tapi ...."
"Apa salahnya, sih, Will? Kita, kan, pasangan yang sah secara agama dan hukum negara." Paula bersikukuh meyakinkan William. "Kalau tiba waktu kamu kembali ke pacar kamu, aku nggak akan protes, Will! Aku nggak akan jatuh cinta ke kamu."
Kini, pertahanan William sudah benar-benar runtuh. Semua argumen Paula terdengar masuk akan dan menggiurkan bagi William. Hanya tinggal satu persen saja yang masih menahannya untuk tidak mengeksekusi bidadari di hadapannya.
Sayangnya, Paula bertindak dengan sangat cepat. Sebelum William berubah pikiran, gadis itu menyambar bibir William yang masih terbuka karena terperangah. Saat itu juga, hilanglah satu persen pertahanan William yang masih tersisa sebelumnya. Mata William terpejam, menyambut semua hal manis yang ditawarkan oleh Paula padanya.
Pikiran keduanya sudah tak lagi berada di tempat yang seharusnya, sebagaimana selimut yang sudah tergeletak sempurna di karpet kamar William. Kain putih tebal itu telah tanggal sepenuhnya dari tubuh Paula, tumpang tindih dengan pakaian yang tadi dikenakan William.
Kini, keduanya tenggelam dalam lautan napas nan panas. Menyatu dalam gelombang yang memabukkan. Saling berlomba sekaligus saling membantu meraih akhir yang sempurna.
Jeritan kesakitan pun meluncur pelan dari bibir ranum Paula. Membuat William terkejut dan menghentikan perbuatannya. "Sakit? Apakah aku harus berhenti?"
Tanpa sadar, William yang panik menyeka linangan di sudut mata Paula. Paula pun tersenyum lembut dan menggeleng. "Nggak, Will! Aku bahagia, akhirnya bisa jadi wanita sempurna malam ini! Makasih."
"Jadi?" tanya William khawatir. Dia harus memastikan bahwa Paula mau melanjutkan semua ini. Dia bertekad untuk berhenti kalau Paula menolak melanjutkan ... sekalipun itu akan sangat berat bagi seorang pria normal sepertinya.
"Terusin aja, Will!" ujar Paula seraya menggigit bibir bawahnya. "Aku bisa tahan, kok"
Perlahan, sambil memberi waktu kepada Paula untuk beradaptasi, William pun meneruskan tugasnya sebagai seorang pria. Malam ini, sempurnalah pernikahan William dan Paula. Mereka benar-benar menjadi suami istri yang sesungguhnya–walau tanpa rasa cinta.