Chereads / Kangen - Ku Akan Datang / Chapter 12 - Kangen - Ku Akan Datang (Bag. 12)

Chapter 12 - Kangen - Ku Akan Datang (Bag. 12)

Paramitha berjalan ke luar kamar tidur dan mengambil telepon dari atas meja ruang tamu. Dipencet tuts angka di telepon genggamnya itu untuk kembali mencoba menghubungi nomor dari Rangga. Namun, kembali sambungan itu gagal.

[The number you are trying to connect is not valid]

Pesan teks yang terbaca itu membuat Paramitha menggelengkan kepala. Ditutup dan diletakannya kembali telepon genggamnya di meja. Lalu, berjalan ke arah TV dan menyalakan. Sambil berbaring di sofa, Paramitha membuka saluran yang menayangkan acara film tengah malam .

"Ada apa ya di sana?"

Paramitha tidak henti-hentinya berpikir. Ia bertanya-tanya pada diri sendiri, mencari tahu kemungkinan yang sedang terjadi. Wajah memandang ke arah layar TV tetapi perhatian tidak mengarah ke situ.

"Gak biasanya alat komunikasi si Rangga itu terganggu sekian lama, gak bisa dihubungi. Mestinya hanya sekian jam aja kalo pun ada gangguan cuaca."

Dahi Paramitha berkerut yang menandakan ia sedang berpikir keras. Sambil membaringkan tubuh di sofa yang menghadap ke TV, ia hanya memandangi layar. Namun rasa kantuk membuat sang pendaki perempuan itu akhirnya tertidur. Sayang sekali, saat sedang tertidur itu terlintas siaran berita ulangan dari topan tornado di New Mexico, Amerika Serikat.

"Telah terjadi topan tornado di wilayah San Juan, New Mexico, Amerika Serikat. Pihak Kedutaan Besar Indonesia untuk Amerika Serikat melakukan pencarian di wilayah itu bersama dengan badan bencana alam setempat. Sampai berita ini diturunkan, belum diketahui nasib tiga orang Indonesia yang sedang melakukan pemanjatan di tebing Shiprock, San Juan. Sementara Kementerian Luar Negeri terus melakukan koordinasi dengan pihak Kedutaan, agar memaksimalkan pencarian."

---

Dengan sangat berhati-hati sambil menahan perih di bahu, Prayoga terus menuruni dinding tebing. Perlahan satu tangan diulurkan mengambil deskender yang masih terkait di piton yang dibiarkan tertancap, sambil satu tangan yang lain berpegangan di sela dinding tebing Shiprock. Sesekali berhenti untuk beristirahat sambil bergantungan di karamantel. Ia terdiam memejamkan mata, membiarkan dirinya tergantung di karamantel.

Perjuangan yang berat saat melewati overhang, menyisakan rasa sakit di punggung dan bahu, serta rasa lelah yang amat sangat. Dalam keadaan terluka begitu, menuruni tebing yang seharusnya lebih mudah daripada naik, membuat Prayoga harus sesekali berhenti. Begitu satu-satunya cara ia agar dapat sampai ke dasar tebing.

"Bang Yoga, monitor?"

Tiba-tiba terdengar suara Rangga yang memanggil melalui sambungan suara. Prayoga tersentak dan membuka mata. Tubuhnya yang bergantungan diam di karamantel, berputar karena gerakan tubuh. Dilihatnya ke bawah. Dasar tebing Shiprock mulai kelihatan dengan dua orang yang memandangi ke atas.

Terlihat Rangga dan Bisma sedang mendongak. Prayoga yang semula terlihat hanya diam bergantungan di karamantel, kini berusaha meraih dinding tebing. Tubuh yang yang tadi berputar karena bergerak, ditahan dengan memegang sebuah celah. Dipijak-pijakkan sebuah lekukan keluar di tebing untuk tempat berdiri.

Setelah tubuh merapat kembali, satu tangannya terulur untuk melepas deskender yang terkait di piton yang tertancap di dinding. Dimasukkan ke dalam kantung dan karamantel diulurkan ke bawah. Rangga pun bergegas menggulung sebagian, memasukkan ke dalam carrier bag.

Saat sedang mengurai karamantel ke bawah tebing, di kejauhan terlihat sesuatu yang menyebabkan debu beterbangan. Panik saat topan tornado datang tadi, memang sangat mengejutkan Prayoga. Melihat debu di kejauhan beterbangan seperti itu, ia langusng memerhatikan dengan seksama. Ternyata sebuah kendaraan yang sedang melintas cepat yang menyebabkan itu. Namun rasa was-was tetap memengaruhi diri sang pemanjat.

"Ada mobil datang, Rangga," teriak Prayoga tiba-tiba.

Ia melihat ke bawah tebing, lalu menunjuk ke kejauhan. Rangga yang mendengar perkatan Prayoga itu, langsung membalikkan badan melihat ke arah yang ditunjuk. Bisma yang melihat Rangga begitu, mengikuti pandangannya ke arah kejauhan.

Rangga berjalan sambil mengulurkan tangan meminta teropong binokular yang tergantung di leher Bisma. Terduduk di tanah karena sakit di bagian kaki, Bisma menyerahkan dengan beringsut mendekat. Lalu, Rangga mengarahkan pandangan ke debu yang beterbangan sambil memutar-mutar dengan jari telunjuk, sebuah pengatur jarak pandang yang terletak di bagian atas tabung teropong.

"Siapa itu, Rangga?" tanya Bisma.

Ia yang penasaran, mencoba berdiri sambil ikut melihat ke kejauhan, ke arah teropong Rangga. Rasa sakit di kaki ditahankan agar terus tegak.

"Gak tau, Bis. Tunggu bentar, aku setel jarak dulu."

Rangga menjawab sambil terus melihat ke kejauhan melalui alat itu. Jarak pandang yang jauh dan tertutup debu, menyebabkan ia harus memusatkan teropong untuk dapat mengetahui.

"Siapa itu, Rangga?"

Tiba-tiba terdengar suara Prayoga yang bertanya pula melalui sambungan suara. Bisma melihat wajah Rangga yang mengernyit lalu, ia memalingkan wajah ke arah yang sedang diamati Rangga melalui teropong itu.

"Sepertinya ... mobil dari hotel kita tinggal, Bang Yoga. Itu mobil yang mengantar kita ke sini," kata Rangga.

Ia kembali memutar pengaturan fokus lensa teropong sambil menjawab. Bisma yang mendengar itu, sambil menahan sakit mencoba tetap berdiri. Namun, teriknya cuaca membuat Bisma mengernyit memandang ke kejauhan. Dimintanya pula teropong binokular itu dari Rangga.

"Mungkin mereka ke sini karena badai tornado barusan, Bang Yoga. Mudah-mudahan mereka datang untuk membawa kita kembali ke hotel."

Sambil memberikan teropong itu kembali ke Bisma, Rangga meneruskan pembicaraan dengan Prayoga melalui alat sambungan komunikasi. Sambil mengarahkan pandang ke kejauhan, Bisma mengatur fokus lensa.

"Paramitha ada menghubungi kita, Rangga?" tanya Prayoga lagi melalui sambungan suara.

Rangga berjongkok. Dibuka layar panel kontrol sambungan suara di sampingnya berdiri. Sebuah kotak perangkat komunikasi yang diletakkan di atas carrier bag, Ditelisik tampilan di layar itu.

"Gak ada, Bang Yoga," jawab Rangga.

"Ehm, baiklah. Aku turun lagi, Rangga," kata Prayoga kemudian.

"Baik, Bang. Hati-hati. Mudah-mudahan tu memang jemputan kita."

Kata-kata Rangga itu, menyebabkan Prayoga tersenyum sambil memandang ke debu yang beterbangan di kejauhan itu. Lalu, ia mendongak. Mengetahui karamantel dan piton di atasnya telah dibereskan, perlahan Prayoga menurunkan satu kaki.

Dengan kedua tangan yang memegang erat celah di dinding tebing, ia mulai mencari pijakan. Kini kedua tangan yang terulur ke atas, menyebabkan rasa sakit di bahu. Namun Prayoga menahan saja, dengan cepat ia memindahkan tangan ke sebuah lekukan di bawahnya. Lalu dengan cepat pula, sebuah kaki terulur ke bawah dan langsung mencari pijakan lagi.

Sret!

Untung karamantel menahan tubuh Prayoga saat kaki itu tergelincir. Pijakannya ternyata tidak pas.

"Ough!"

Diembuskan napas dengan cepat setelah posisi sudah aman. Perlahan satu tangan diulurkan untuk melepas piton yang ditancapkan di dinding tebing atasnya. Terasa kuat, Prayoga menggunakan hammer dan satu deskender sebagai pengungkit. Begitu tergoyang dan bisa ditarik, ia langsung mencabut dan memasukkan ke dalam kantung di pinggang. Karamentel kembali diurai ke bawah.

---

Bersambung

Terjemahan:

[The number you are trying to connect is not valid]

[Nomor yang Anda coba hubungi sedang tidak aktif]