Chereads / Kangen - Ku Akan Datang / Chapter 17 - Kangen - Ku Akan Datang (Bag. 17)

Chapter 17 - Kangen - Ku Akan Datang (Bag. 17)

"Hanya ketiga orang yang terlibat di tim pemanjatan itu yang kita data berada di kawasan San Jose New Mexico, Bu Menteri. Terdiri dari Prayoga ketua tim yang melakukan pemanjatan, Rangga tim ofisial dan Bisma juga tim ofisial," kata Duta Besar meneruskan.

Pembicaraan telekonferensi itu berlanjut dengan pesan dari Menteri Luar Negeri Indonesia di Jakarta, yang meminta kedutaan mengurus kepulangan ketiga orang tersebut setelah ke luar dari rumah sakit. Mendengar itu, Kedutaan Indonesia pun segera menghubungi staf mereka yang mendampingi Prayoga dan tim pemanjatannya di kota Farmington. Begitu didapat konfirmasi bahwa kepulangan ketiga orang tim pemanjatan di Shiprock ke Indonesia akan diuruskan, Menteri Luar Negeri pun menutup telekonferensi.

---

Dalam perjalanan pulang di sore hari itu dari melatih panjat tebing, Paramitha lebih banyak diam. Ia duduk menyetir dengan pandangan lurus ke depan saja. Terdengar lirik lagu berjudul "Kangen" yang diputar tape mobil yang dikendarai oleh Paramitha.

"Kau bertanya padaku kapan aku akan kembali lagi. Katamu kau tak kuasa melawan gejolak di dalam dada. Yang membara menahan rasa pertemuan kita nanti. Saat kau ada di sisiku."

Paramitha yang sedang diliputi banyak pikiran, saat berada di sebuah persimpangan lampu merah, menarik perhatian beberapa pengendara motor. Mereka menoleh ke arah mobil yang kacanya turun setengah itu. Mereka yang berkendara sambil berboncengan, terlihat seperti bicara bisik-bisik satu sama lain dan tertawa.

"Hai Cewek, ngendarain mobil jangan sambil melamun."

Salah seorang pengendara motor yang berhenti dekat kaca pintu mobil Paramitha yang terbuka itu, mencoba menggoda. Namun, diabaikan saja. Ia malah menaikkan kaca mobilnya agar tertutup.

"Mending ngelamunin aku, lho."

Seorang pengendara motor lain yang melihat itu, mencoba ikut menggoda. Namun oleh karena diacuhkan, teman-temannya yang lain tertawa terpingkal-pingkal. Mereka berteriak mencibir.

"Duh, dikasih tau malah melengos. Hahaha!"

"Hahaha ... hahaha!"

Begitu lampu lalu-lintas berubah warna, Paramitha menjalankan mobilnya perlahan. Dengan satu tangan yang bersandar di pintu untuk menahan kepala, satu tangan yang lain memegang setir. Matanya memandang lurus ke depan. Sementara para pengendara motor itu bergerak mendahului.

---

Saat mobilnya memasuki halaman rumah, sebuah bunyi nada panggilan terdengar. Satu tangan Paramitha memegang setir dan satu tangan yang lain bergegas terulur ke dalam tas yang diletakkan di kursi sampingnya menyetir. Perlahan, mobil pun kemudian berhenti di depan teras.

Buru-buru Paramitha membuka telepon untuk mengetahui siapa yang menghubungi. Begitu diketahui nama Bang Zul yang tertera di layar telepon, segera diterima panggilan itu.

"Ya, hallo Bang Zul?"

"Ya, Paramitha. Ini ada nomor staf Kedutaan Besar Indonesia di Amerika Serikat yang mengevakuasi Prayoga ...."

Namun, kata-kata itu terpotong oleh Paramitha. Ia bergegas kembali meraih tasnya dan mengambil sebuah buku kecil dan pulpen dari dalam.

"Tunggu, tunggu ntar, Bang Zul," kata Paramitha dengan cepat.

Ia masih duduk di dalam mobil sambil menyiapkan lembaran di buku kecil itu untuk mencatat. Langit yang perlahan berubah gelap, menandakan malam pun telah tiba.

"Ya, Bang Zul. Berapa nomornya, Bang?"

Paramitha menekan telepon genggam dengan pundak ke pipi agar menempel ke telinga sambil bersiap mencatat. Di ujung sambungan, Bang Zul mengejakan nomor yang Paramitha bisa hubungi di Kementerian Luar Negeri.

---

Bias sinar matahari pagi dari sela kain tirai jendela, memburamkan pandangan Prayoga kala membuka mata. Ia terus mengerjap-ngerjap menahan silau. Kemudian untuk mengalihkan silau sinar matahari pagi itu, Prayoga mengalihkan pandang ke sekeliling.

Terlihat Rangga dan Bisma masih tertidur pulas di ranjang mereka, Prayoga terkejut. Lalu ia sendiri pun memerhatikan ranjang di mana sedang berbaring.

"Di mana ini?" tanya Prayoga pada diri sendiri.

Dilihatnya selang infus dan darah, tersambung ke pembuluh darah di tangan. Saat melihat Rangga dan Bisma yang masih tertidur, Prayoga mencoba menegakkan tubuh.

"Rangga! Rangga!"

Prayoga duduk sambil bertopang tangan di ranjang untuk menahan tubuh. Ia memanggil dengan suara serak. Namun nyeri di punggung yang tiba-tiba terasa sangat menyiksa, membuat Prayoga kembali berbaring. Diangkatnya kepala, melirik ke samping. Rangga tidak juga bergerak bangun.

Tiba-tiba pintu kamar terbuka. Seorang perawat muda berambut pirang yang membuka, datang masuk membawa sebuah meja dorong yang membawa wadah air dan handuk-handuk kecil. Ia menyapa Prayoga sambil tersenyum.

"Hi, good morning. You are awake. How was your sleep?"

Prayoga membalas senyum si perawat muda itu. Diperhatikannya sebuah wadah air diambil dari dalam laci meja dorong. Kemudian, diambil handuk kecil dan meletakkan semua di meja dekat tempat tidur Prayoga. Lalu ke dalam wadah air itu, ditumpahkan air hangat.

"It was good. I just woke up. What place is this anyway?" jawab Prayoga.

Suara pelan Prayoga terdengar serak. Setelah meletakkan wadah berisi air dan handuk kecil tadi, si perawat berjalan ke arah jendela. Tirai dibuka dan sinar matahari langsung kembali menyilaukan mata Prayoga.

"You are in Farmington City General Hospital. You came in unconscious and had a surgery here," jawab si perawat.

Tidak tahan dengan cahaya matahari, Prayoga beringsut di tempat tidur ingin tengkurap. Namun saat terasa sakit di punggung, ia beringsut lagi.

"Ough ... that is why my back feels so much pain," kata Prayoga sambil memperbaiki posisinya berbaring.

Prayoga yang semula tidur tengkurap, mencoba memiringkan badan. Rangga menggeliat bangun. Demikian juga dengan Bisma.

"Ready to have a bath wash?"

Prayoga yang berbaring miring, tidak menjawab. Ia telrihat bingung dengan keadaan punggung dan bahu yang terluka.

"I will help, instead of taking a shower by your self."

Si perawat muda terlihat mengerti dengan keadaan Prayoga. Ia berdiri di samping tempat tidur Prayoga sambil menunggu jawaban.

Sementara Rangga yang sudah terbangun, menaikkan sandaran kepala di tempat tidur agar dapat melihat Prayoga. Ia memandang Bisma yang juga sudah terbangun. Tampak mereka berdua seperti ingin dilapkan air hangat oleh si perawat muda, daripada harus ke kamar mandi.

"For the patients who can walk themselves, we don't serve the bath wash. Unless old patients."

Kata-kata itu mengundang tawa Rangga dan Bisma. Seperti terbaca keinginannya, mereka berdua tertawa sambil saling olok. Terhibur dengan lelucon di dalam ruangan kamar, Prayoga tersenyum saat harus tidur telentang agar si perawat muda dapat melap tubuhnya. Ditahankan nyeri yang terasa saat berbaring.

---

Bersambung

Terjemahan:

"Hi, good morning. You are awake. How was your sleep?"

"Hai, selamat pagi. Anda sudah bangun. Bagaimana tidurnya semalam?"

"It was good. I just woke up. What place is this anyway?"

"Nyenyak. Saya baru saja bangun. Tempat apa ini?"

"You are in Farmington City General Hospital. You came in unconscious and had a surgery here."

"Anda berada di Rumah Sakit Umum Farmington City. Anda tidak sadarkan diri dan telah menjalani operasi di sini."

"Ough ... that is why my back feels so much pain."

"Aduh ... pantas saja punggung saya terasa sangat sakit."

"Ready to have a bath wash?"

"Siap untuk mandi dilap?"

"I will help, instead of taking a shower by your self."

"Saya akan membantu, daripada Anda mandi sendiri."

"For the patients who can walk themselves, we don't serve the bath wash. Unless old patients."

"Untuk pasien yang bisa berjalan sendiri, kami tidak melayani mandi lap. Kecuali pasien yang sudah tua."