Perlahan Paramitha menegakkan kepala. Ternyata lelaki yang tadi ia tanya di mana loket untuk membeli tiket itu yang sedang bicara. Sontak Paramitha terpana dengan situasi yang sedang ia lihat. Orang-orang sedang tiarap di lantai dan ada banyak orang yang memegang senjata, berdiri di sepanjang jalan gedung bandara.
"Hei, tú! Levántas rápido!"
Saat sedang memandangi sekeliling, sebuah teriakan yang membentak tiba-tiba, mengejutkan Paramitha. Wajahnya seketika menjadi pucat. Seorang teroris bersenjata berjalan mendatangi. Lalu, dengan paksa menarik tubuh Paramitha untuk tegak. Dibawanya berjalan dan berdiri di dekat teroris yang tadi berbicara itu.
---
"We want Domingo el Blanco gets released and sent back to Mexico. We have hostages here and we will kill them one by one until we have what we demand. That is the demand of De la Cochoya Cartel who takes control against New York International Airport ...."
Tiba-tiba ada bentakan terdengar diteriakkan, "Hei, tú! Levántas rápido!"
Seketika kata-kata si penyiar reportase langsung tentang sabotase Bandara Internasional New York yang sedang membacakan tuntutan para teroris menjadi terhenti. Semua orang yang berdiri di dekat penyiar itu, menoleh ke arah asal suara. Para teroris pelaku sabotase bandara dari Kartel De la Cochoya sontak mengangkat senjata bersiaga. Kamera penyiar pun segera terarah ke situ.
Seorang teroris anggota pelaku sabotase Bandara Internasional New York terlihat berjalan sambil mendorong seorang perempuan. Senjata api laras panjang yang talinya disandingkan di bahu, menodongkan ke depan. Wajah Meksiko dengan rambut panjang yang tertutup topi Sombrero itu, memperlihatkan ciri khas Indiannya. Sementara si perempuan berjalan ketakutan mengikuti perintah. Ia tertatih-tatih melangkahi sekian banyak orang yang sedang bertiarap di lantai.
Di rumah sakit, Prayoga yang tidak menyaksikan detik-detik wajah Paramitha tertayang di TV karena tertidur kembali, sontak terbangun kala Rangga dan Bisma berteriak memanggil. Bisma bahkan berdiri dan membangunkan Prayoga dari tidur.
"Bang Yoga! Bangun! Ada Kak MItha di TV! Bangun, Bang!"
Dibangunkan seperti itu, tentu sangat mengagetkan Prayoga. Namun wajah kagetnya, mendadak menjadi pucat. Dalam siaran langsung itu, ia melihat Paramitha berdiri di antara para teroris pelaku sabotase Bandara Internasional New York.
"Lho, lho, lho ... kok ada Paramitha di situ?"
Prayoga berteriak, bertanya dengan suara panik. Ia memaksakan bangun dan berjalan mendekati TV. Namun, tali selang infus yang masih tersambung ke lengan membuatnya terhenti. Bisma bergegas menarik tiang botol infus itu dan membawa ke dekat Prayoga berdiri.
"Kak Mitha nyusul ke sini artinya, Bang. Dia terjebak di Bandara Internasional New York. Pas datang, ada sabotase!" seru Rangga.
"Pantes aja nomornya gak bisa kita hubungi karena Kak Mitha di dalam pesawat, kan?" seru Bisma pula.
Seketika ruang kamar rawat inap Prayoga menjadi tegang. Suasana panik melanda Prayoga, Rangga dan Bisma. Mata mereka memelototi layar TV menyaksikan Paramitha yang berdiri ketakutan di antara para teroris De la Cochoya, pelaku sabotase.
"Aduuuh, ada-ada aja ya? Sekarang Paramitha pula yang ada dalam bahaya!" keluh Prayoga.
Terlihat dirinya tak kuat berdiri lama-lama, Bisma menuntun duduk ke sofa dekat TV. Rangga memandang dengan wajah iba. Didekati dan sambil berjongkok di samping, ditepuk-tepuknya paha Prayoga.
"Sabar, Bang," bisik Rangga.
"Iya, Bang. Sabar, Bang," kata Bisma kemudian.
"Makasih, Rangga-Bisma. Sekarang Paramitha pula yang dalam bahaya."
Prayoga mengeluh dengan suara parau. Ia terduduk lesu. Wajah berkerut kusam, terlihat sangat terpukul dengan tayangan di layar TV itu. Namun kedua orang tim ofisial yang berjongkok di kanan kiri sofa, berusaha menenangkan. Rangga menepuk-nepuk pahanya sambil diam seribu kata. Bisma pun hanya berjongkok di samping sofa Prayoga tanpa berucap sepatah kata. Kini ikatan batin mereka bertiga semakin kuat setelah melewati berbagai kejadian dalam pemanjatan tebing Shiprock.
---
"Selamat siang, Pak Prayoga. Ya, ada yang bisa saya bantu?"
Seorang staf Kedutaan Besar Indonesia memegang telepon genggam yang didekatkan ke telinga. Menerima panggilan telepon itu, ia berjalan ke luar ruangan rapat kedutaan. Beberapa orang tampak bergegas melewatinya. Kedutaan terlihat sedang sibuk.
"Maaf mengganggu nih, Pak Singgih. Paramitha istri saya, terlihat di tayangan TV bersama dengan para teroris pelaku sabotase Bandara Internasional New York. Istri saya ikut dijadikan sandera, Pak."
Dari ujung sambungan telepon, terdengar suara Prayoga yang terburu-buru. Seketika wajah orang yang dihubungi Prayoga itu, menjadi tercengang. Ia mengernyit seakan minta dipastikan.
"Oh ya? Pak Prayoga lihat di TV mana?" tanya Singgih lagi.
Sambil terus menempelkan telepon genggam ke telinga, ia bergegas berjalan masuk ke sebuah ruangan. Lalu, sebuah TV dinyalakan. Ia duduk di salah satu kursi dan dengan cepat memilih saluran siaran.
"Siaran langsung dari TV CN-eN, Pak. Sepertinya, Paramitha menyusul saya ke Amerika dan terjebak dalam sabotase di bandara makanya ikut jadi sandera."
Prayoga menjawab dengan suara tegang. Bergegas pula Singgih mencari saluran siaran TV CN-eN yang dikatakan. Kini, terlihat siaran langsung dari Bandara Internasional New York di layar saat saluran stasiun TV itu didapat.
Tampak seorang reporter siaran langsung sedang berdiri di dekat para teroris yang menyabotase Bandara Internasional New York. Di antara teroris bersenjata itu, terlihat seorang perempuan berwajah Indonesia berdiri dengan ditodong. Dengan wajah serius, Singgih berdiri dari duduk dan berjalan ke dekat TV untuk mengamati.
"Ya ya, saya sekarang sedang nonton siaran langsungnya, Pak. Istri Pak Prayoga, yang sedang ditodongkan senjata itu?"
"Benar, Pak Singgih. Itu istri saya. Dia ternyata nyusul ke Amerika Serikat dan terjebak dalam sabotase para teroris di bandara."
Dengan cepat Prayoga menjawab. Suara yang terdengar cemas itu, membuat Singgih mengangguk-anggukkan kepala sambil terus mengamati layar TV.
"Baiklah, Pak Prayoga. Saya akan laporkan ke Duta Besar dan akan mencari rekaman dari stasiun TV itu nanti untuk memastikan dan meminta copy-nya. Sementara, Pak Prayoga tenang dulu karena Bapak masih sakit."
Sambil berusaha menenangkan Prayoga, Singgih berjalan ke arah pintu dan memanggil masuk seorang staf kedutaan. Dengan bahasa isyarat, ia meminta orang itu untuk merekam siaran langsung yang ditayangkan di layar TV.
"Saya rencana ke luar rumah sakit hari ini aja, Pak. Saya dan teman-teman akan menyusul ke New York," kata Prayoga dari ujung sambungan telepon.
Mendengar itu, Singgih tercengang. Sementara staf kedutaan yang disuruh merekam siaran langsung, langsung menyambungkan perlengkapan rekaman ke TV.
"Sabar, Pak Prayoga. Kan masih sakit? Berbahaya kalo terjadi apa-apa dengan Pak Prayoga. Percayakan pada kami untuk mengurusnya melalui Kedutaan."
Begitu siaran langsung yang sedang ditayangkan di layar TV berhasil tersambung dan sedang direkam, staf kedutaan itu memberi isyarat kepada Singgih. Dengan mengacungkan jempol, Singgih mengucapkan terima kasih.
"Ini siaran langsungnya sedang kami rekam untuk disampaikan ke Duta Besar dan telekonferesi dengan Jakarta. Pak Prayoga tenang dan untuk perjalanan pulang, Kedutaan sudah menyiapkan anggarannya."
Prayoga hanya terdiam mendengar perkataan Singgih. Pandangannya tertuju lurus ke layar TV. Rangga dan Bisma yang ada di kanan kiri sofa, memerhatikan siaran langsung itu sambil sesekali memandang Prayoga.
---
Bersambung
Terjemahan:
"Hei, tú! Levántas rápido!"
"Hei kamu! Berdiri cepat!"
"We want Domingo el Blanco gets released and sent back to Mexico. We have hostagees here and we will kill them one by one until we have what we demand. That is the demand of De la Cochoya Cartels who take control against New York International Air port ...."
"Kami ingin Domingo el Blanco dibebaskan dan dikirim kembali ke Meksiko. Kami memiliki sandera di sini dan kami akan membunuh mereka satu per satu sampai kami mendapatkan apa yang kami minta. Itu permintaan Kartel De la Cochoya yang mengambil alih kontrol atas Bandara Internasinal New York ...."