"Baiklah, Pras. Aku akan menceritakannya padamu, tapi dengan syarat, kamu harus merahasiakannya dari orang luar. Terutama pada Jonathan sendiri."
Pras terlihat sumringah mendengar ucapanku. Ia sampai berbalik kearahku, untuk mendengar cerita masa lalu tentang Jonathan.
"Jonathan memang bukan anak kandungku dan Sekar, Pras. Dulu saat aku dan Sekar belum memiliki seorang anak, aku temukan Jo didepan gerbang rumahku. Saat itu aku dan Sekar baru pulang dari luar negeri, mencari alternatif yang bisa kami pakai untuk segera mendapatkan momomgan. Kami memiliki kisah yang sama denganmu, meski sudah beberapa tahun menikah, tak kunjung mendapatkan momongan. Dan pada saat itu, hadirlah Jo dalama hidup kami. Sejak awal, Sekar memang tidak mau mengadopsi Jo, karena asal-usulnya tak jelas. Tapi aku memaksa, dalam fikiranku waktu itu, bisa saja dengan kehadiran Jo dalam keluarga kecilku, mungkin bisa membuat Sekar segera hamil. Jadi dia menyetujui saranku untuk mengadopsi Jo. Dan benar saja, setelah dua tahun merawat Jonathan, akhirnya Sekar pun hamil. Dan sejak itu pula, Sekar jadi sering tidak memperdulikan Jo seperti biasanya. Dia lebih memperhatikan anak kami yang ada dalam kandungannya, bahkan dia menyuruhku untuk menyerahkan Jonathan pada panti asuhan saja. Tapi aku tak mau, karena bagaimanapun, aku merasa kasihan pada Jonathan, meski dia bukan anak kandungku." Pras benar-benar menyimak cerita tentang Jonathan. Entah hal apa lagi yang akan dia tanyakan setelah ini.
"Wah, kasian banget ya anak itu. Lantas, semenjak hamil, Sekar tak mau merawat dia lagi? Lalu, siapa yang merawatnya, Yasa. Jika istrimu saja sudah tak bersedia merawat Jo."
"Aku menyewa baby sitter waktu itu, karena aku tak tega jika harus menitipkan Jo ke panti asuhan. Meski Sekar sudah tak mau merawat dia, tetap saja aku masih menganggap dia sebegai anakku. Karena sebelum ada Gavriel, kami pernah begitu menyanyangi Jo saat itu."
Pras bungkam, dia tak lagi menanyakan perihal Jonathan. Mungkin dia sudah merasa puas dengan jawabanku tadi. Semoga saja Pras tidak menceritakan tentang Jonathan pada anak itu, karena meski aku sering tak menghiraukan Jo, tetap saja dia adalah seorang anak yang ku anggap membawa berkah dalam keluarga kecilku. Papa dan mamaku saja, yang bukan Kakek dan Nenek kandung Jo, sangat menerima anak itu menjadi anak adopsiku.
Selama ini, Papa dan Mama tak pernah marah padaku. Kala aku memutuskan untuk mengadopsi Jo, lain halnya dengan mertuaku, orang tua dari Sekar. Mereka sangat memandang tingkat sosialita seseorang, hingga menurut mereka tindakanku mengadopsi Jo sangat menjatuhkan image keluarga mereka.
Tapi, aku bersyukur. Meski demikian, Sekar tidak menentang keputusanku. Karena aku adalah kepala keluarga dalam rumah tanggaku sendiri, jadi mereka tak berhak ikut campur dengan urusanku. Sekar pun lebih patuh dengan apa yang aku mau, bukan menuruti kemauan kedua orang tuanya untuk tidak mengadopsi Jonathan.
"Apa kamu tak mencoba mencari tau, siapa orang tua yang tega membuang Jo waktu itu? Kasian dia, jika suatu saat dia tau kalau kamu hanya Orang tua angkatnya, pasti dia akan menanyakan siapa orang tua kandung yang sebenarnya, Yasa."
"Aku tak pernah mencari tau, tapi yang jelas. Aku berfikir Jo mungkin lahir dari orang tak punya, jadi dia buang didepan rumahku. Agar hidupnya terjamin, atau bisa saja dia adalah anak hasil hubungan gelap. Hingga dia dibuang."
Ya, aku memang tak terlalu memikirkan asal usul Jo. Yang jelas aku hanya kasian saja jika dia harus hidup menderita, jika ku beritahu kalau dia bukan anakku. Biarlah seperti ini, meski aku dan Sekar lebih menyayangi Gavriel, tapi setidaknya Jonathan tetap kami rawat layaknya anak sendiri. Tak bisa ku bayangkan jika harus membiarkan dia tau, kalau sebenarnya dia bukan anak kandungku. Akan hidup dimana dia, bisa-bisa jadi anak gelandangan yang hidup tanpa orang tua dan tak terurus. Meskipun begitu, aku masih punya hati. Aku tak tega melakukannya pada Jonathan.
"Tapi, dalam hal warisan. Apakah Jonathan tetap akan kamu beri bagian kelak jika dia sudah dewasa, Yasa?"
Makin ngaco saja pertanyaan Pras padaku, hingga sampai pada persoalan warisan segala. Aku belum mau mati, tapi dia sudah menayakan tentang warisanku segala.
"Heh, aku belum mau mati. Pertanyaanmu itu terlalu ngaco, tau gak!"
Pras hanya menyengir saja, tanpa rasa berdosa karena telah menanyakan prihal warisan padaku. Memang benar-benar gak beres otak temanku satu ini.
"Yah, aku kan hanya bertanya saja. Karena, jika aku ada diposisimu, maka aku tak akan memberikan sepeserpun harta yang ku miliki untuk seorang anak yang bukan darah dagingku. Menurutku, sudah syukur kalau Jo itu diadopsi oleh keluargamu, dengan begitu dia terhindar dari hidup yang berat diluar sana. Coba saja bukan kamu yang menemukannya, bisa saja dia sudah menjadi seorang gelandangan. Itu sih menurutku, Yasa. Bagaimana keputusanmu nanti, itu terserah kamu. Aku hanya memberi saran saja."
Apa yang dikatakan Pras memang benar, untuk apa memberikan warisan pada seorang anak yang bukan anak kandung sendiri, tapi meski begitu. Bagaimana nasib Jonathan nanti, jika aku tak memberikan sedikit pun harta yang ku miliki. Iya kalau Gavriel tetap mau menganggap Jonathan sebagai saudaranya, jika tidak mungkin saja Jo akan diusir dari rumah. Tapi, aku yakin Gavriel tak akan melakukannya. Dia sangat dekat dengan Jonathan, meski dia belum tau kalau Jo bukanlah saudara kandungnya.
***
Hari ini, aku dan Pras memutuskan untuk pulang. Karena sudah satu minggu kami menghabiskan waktu untuk liburan, lagi pula urusan kantor harus segera ku tangani. Aku tak mau sampai terjadi sesuatu yang buruk di kantor, jika aku terlalu lama liburan.
"Sudah beres semua, Ma? Jangan sampai ada yang tertinggal." Ku peringati Sekar yang sejak tadi sudah membereskan barang-barang bawaan kami.
"Sudah, Pa. Gak perlu khawatir. Eh, ini apa, Pa? Kok gede banget kardusnya?." Tanya Sekar pada salah satu kotak besar yang memang ku beli kemarin saat berkunjung ke pasar seni kuta Bali. Itu adalah mobil remote besar yang sengaja ku beli untuk ku hadiahkan pada Jonathan, karena dia tak diajak pada liburan kali ini.
"Oh, itu oleh-oleh untuk Jonathan, Ma. Kemarin Papa beli waktu berkunjung di pasar seni itu loh,"
Sekar tampak cemberut, karena aku membelikan hadiah untuk Jo. Dia memang seperti itu, tak suka jika aku memanjakan Jonathan. Karena baginya, Jo bukanlah anak yang harus dimanjakan. Cukup ditampung dan diberi makan saja.
"Ngapain sih, Pa. Beli oleh-oleh segede ini untuk Jo. Kita jadi repot bawanya, banyak makan tempat kalau begini. Bawanya juga berat nanti."
"Biarlah, Ma. Aku kasihan pada anak itu, dia sudah tak ikut liburan sama kita. Karena permintaanmu untuk menghukumnya, jadi setidaknya kita bawa oleh-oleh untuk dia agar senang, Ma. Lagi pula yang akan bawa oleh-oleh untuk Jo, bukan Mama kok. Nanti Papa suruh orang untuk membawa itu kedalam mobil."
Sekar tak lagi protes, dia melanjutkan memasukkan beberapa barang yang masih belum dikemasi kedalam koper. Aku keluar untuk mencari salah satu resepsionis untuk membantu mengangkat barang-barang bawaanku dan Sekar, agar tak terlalu repot membawanya.