𝗔 𝗣𝗢𝗩
Aku menatap masterku yang sedang makan beberapa piring daging dan melahap semuanya secara cepat, guruku memang rakus akan makanan dan kekuatan, aku tak tahu apalagi yang Ia rencanakan kedepannya.
"Master berhentilah makan sebentar dan cepatlah katakan mengapa kau ingin menjadikan bocah itu menjadi muridmu juga? aku lebih memilih Spell Breaker daripada bocah itu."
"Aku terkejut kau masih memiliki sisi feminim dan menyukai lelaki tampan, kau juga merasa ingin dilindungi oleh seseorang?"
Masterku menatap wajahku dengan ekspresi yang terkejut seperti melihat hal yang aneh. Tapi perkataannya membuatku kesal, bagaimana Ia bisa menyambungkan hal aneh seperti itu?
"Aku serius, setidaknya aku yakin bahwa orang dengan julukan Spell Breaker itu lebih cerdas dan juga lebih tenang, di sisi lain kekuatannya juga sangat berguna. Kau juga bisa melihat bahwa statistik kekuatan mereka berdua bahwa Spell Breaker berada diatasnya."
"Oh begitu."
"Master apa kau mendengarkanku?"
"Ya ya aku mendengarmu, tak perlu khawatir."
Walau Ia mengatakannya seperti itu, namun Ia terlihat sangat santai sembari memakan sebuah makanan yang aku tak tahu namanya menggunakan sebuah tusuk yang terbuat dari kayu.
"Master."
"Baik, maafkan aku."
Terdengar seperti sebuah ejekan walau Ia meminta maaf, namun tak apa.
"Jadi, apa rencanamu sebenarnya? kau menyuruhku untuk menemui Verrel terus menerus?"
"Untuk membuat kalian menikah."
"Master, seriuslah."
"Itu semua karena aku ingin menjadikannya muridku, awalnya aku juga memilih Spell Breaker itu, namun latar belakangnya sangat misterius hingga membuatku sedikit waspada padanya, lagipula aku mengetahui suatu hal yang sangat penting berada pada diri Verrel. Bagaimana? sudah cukup?"
"Baiklah, itu cukup."
Kemudian ponsel yang berada di kantung samping pahalu bergetar, aku membukanya dan melihat pesan dari administrator, aku melihat bahwa ini pesan untukku untuk sebuah misi yang dilakukan dengan tiga orang. Tapi cukup aneh mengetahui tak ada nama yang tercantum di dalamnya.
"Ada panggilan tugas?"
"Ya, aku permisi master."
Aku membungkuk lalu membalikkan badan menuju keluar, walau Ia menyebalkan, setidaknya Ia lah yang menyelamatkan hidupku dan juga mengajariku segalanya.
"Ah, aku akan mengingatkanmu, kepintaran Verrel itu sebenarnya jauh lebih tinggi daripada Katharos si Spell Breaker. Orang yang mencapai penta Spell di usia semuda itu adalah orang yang mengerti."
"Akan kuingat kata-kata itu, master."
Cara bicara master itu adalah cara bicaranya yang serius, nada berat yang dalam, tapi master mengatakan bahwa Verrel adalah seorang Penta spell master, apa maksudnya Verrell sudah mencapai hal itu? Itu membuktikan kecerdasannya.
Hmph apapun itu, aku tak ingin Ia menjadi murid master juga, entah kenapa aku seperti membencinya tanpa alasan. Tapi pada akhirnya master pernah memerintahkanku sejak awal bahwa aku harus baik kepadanya, sungguh membuatku frustasi.
Aku membuka sebuah lingkaran teleportasi menuju tempat yang sedikit tersembunyi di dalam kantor dari para penyihir, aku pun lalu segera bergerak menuju ruangan yang ditentukan.
Aku sampai dan mengetuk nya terlebih dahulu sebelum masuk menunggu persetujuan. Aku melihat 3 orang di dalamnya, seorang pak tua yang adalah salah satu atasan disini dan juga seorang bocah laki-laki menyebalkan dan seorang wanita dengan wajah sombong.
Aku kembali bertemu dengan Verrel.
𝗩𝗲𝗿𝗿𝗲𝗹 𝗣𝗢𝗩
Sedikit mengejutkan ketika melihat seseorang yang masuk kedalam ruangan sebagai tim kami dalam misi ini. Namun karena beberapa hal aku sudah memperkirakan hal seperti ini akan terjadi, tapi melihatnya tersentak di depan pintu seperti itu sangat lucu, sepertinya dia sendiri bahkan tak tahu akan satu tim denganku lagi setelah bertemu beberapa jam yang lalu.
Takdir memang selalu membuat manusia terkejut, terkadang itu dapat berupa hal baik yang membuat seseorang bahagia, namun terkadang dapat membuat sebuah malapetaka dan marabahaya yang membuat seseorang putus asa, sedih dan merasakan sakit yang mendalam.
Tapi ini sedikit aneh setelah Ia pergi ketika aku mengucapkan sesuatu yang mungkin menyinggungnya. Aku ingin meminta maaf, namun setidaknya secara pribadi.
"Baiklah karena semua sudah berkumpul aku akan menjelaskan tentang misi ini, aku sudah mengkoordinasikan dengan yang lain bahwa kalian yang cocok untuk misi ini."
"Baik"
Kami bertiga menjawab secara serentak.
"Misi ini adalah untuk membunuh Robotic Swordman, orang yang menyebabkan kerusuhan di Akademi sihir 4 tahun yang lalu."
Mataku melebar dan terkejut dengan nama yang disebutkan oleh Eric Braumann, itu adalah nama yang membuatku ingin memiliki jumlah sihir yang banyak, semua atasan harusnya tahu kejadian itu, kenapa aku yang dipilih?
"Sebagai pengingat, kuharap kau jangan termakan oleh amarah dan dendam masa lalu, itu akan menghancurkan segalanya, Verrel."
"Baik, akan kuingat."
***
Mereka berdua sudah keluar dari ruangan, namun aku masih ditahan oleh orang tua ini, sungguh menyebalkan.
"Ayolah pak tua, membosankan berada di tempat ini."
"Jangan berbicara tak sopan seperti itu di wilayah kantor, kau hanya akan menambah masalah."
Dilihat dari kerutan di wajahnya, sepertinya Ia sedang benar-benar marah padaku... mungkin, aku tak tahu Ia sedang marah karena hal apa. Kemudian Ia pun menghela napas dengan berat.
"Aku membenci mereka semua, aku sudah menahan dirimu untuk diikutkan dalam misi ini, namun mereka memaksa dengan alasan kaulah yang pernah melawannya dan memojokkan nya dahulu."
"Yah, begitulah."
"Jadi, jangan lupakan kata-kataku ini, Berhati-hatilah, jangan termakan amarah ketika kau melihatnya, aku tahu Alice dibunuh oleh orang itu dan mungkin kau masih kuda dan mudah termakan amarah, tapi apapun yang terjadi tetaplah berpikir jernih."
"Santai saja, aku sama sekali tak memiliki dendam terhadap orang lain."
Aku tersenyum penuh makna kepada pak tua itu, Ia pun menanggapi dengan dengusan yang dingin.
"Heh, terserahlah, keluar sana, aku masih memiliki banyak pekerjaan."
"Oke, baiklah ayah, aku pergi dulu."
"Ingatlah tempat."
"Ups, aku salah."
Aku pun segera menutup pintu sebelum pria tua itu semakin marah.
Tapi tugas ini memang sedikit sulit, sepertinya aku memang sedikit memiliki trauma terhadap Robotic Swordman, orang yang selalu menggunakan kostum dan pakaian bermotif yang berhubungan dengan robot.
Dia juga yang membuatku memiliki sebuah obsesi terhadap jumlah mana, namun di sisi lain Ia juga mendorongku untuk menjadi kuat setelah kematian Alice.
Aku tak memiliki dendam, namun menyebalkan ketika mengingat peristiwa tersebut, aku mencintai Alice 4 tahun yang lalu, namun Ia mencintai Katharos, sebuah cinta bertepuk sebelah tangan.