𝗫𝗮𝘃𝗶𝗲𝗿 𝗣𝗢𝗩
Anak-anak itu sangat menarik, aku benar-benar menyukai mereka. Terlebih lagi Verrel ini, aku yakin Ia adalah orang yang ditakdirkan untuk menyelamatkan dunia ini. Tidak salah lagi, Ia akan menyelamatkan dunia.
Namun teman dekatnya ini sepertinya cukup bermasalah. Masa lalu, keluarga, kekuatan, impian, semuanya cukup misteri magi diriku, Ia memiliki seorang master yang seharusnya sangat kuat dan terhubung oleh suatu hal, tak mungkin orang itu lemah mengingat Spell Breaker itu saja adalah sebuah hal yang sedikit gila jika dipikirkan. Tetapi orang-orang hanya menganggapnya sebagai bakat yang dimiliki olehnya.
Tapi sebenarnya itu tidak mungkin, bakat itu ada dan jelas penting walau bakat setiap entitas berbeda, namun Spell Breaker itu adalah kecepatan untuk menganalisis mantra dalam waktu yang sesingkat-singkatnya. Aku, beberapa petinggi dan Verrel bisa melakukannya, tapi tak ada yang bisa melakukan Spell Breaker.
Dari hal itu sudah jelas bahwa itu harus dipelajari atau mungkin saja menggunakan sebuah barang tertentu, namun jika dipikir kembali, mungkin saja itu adalah sebuah warisan turun-temurun dari gurunya itu.
Jadi, siapa gurunya itu? aku tak dapat menemukan lokasi dirinya, bahkan selama aku menguntit dirinya selama beberapa bulan terakhir tanpa diketahui, dia tak pernah lagi mendatangi gurunya.
Keberadaan dirinya sungguh membuatku tak nyaman. Namun pada akhirnya aku hanya harus menunggu dan membiarkan semuanya berjalan, sekuat apapun diriku, aku tak bisa mengubah sebuah jalur yang ditempuh orang lain.
"Sungguh sebuah ironi, bahkan aku tak ditakdirkan untuk memasuki dunia para dewa."
Aku meminum segelas teh di tanganku dan merenung, mengapa aku menjadi bingung? yang akan kulakukan nantinya hanyalah menyelamatkan dunia ini. Tapi, setelah berpindah menuju banyak dunia, kurasa pada akhirnya, bukan aku yang akan menyelamatkannya, tetapi orang yang terpilih.
𝗩𝗲𝗿𝗿𝗲𝗹 𝗣𝗢𝗩
Jadi, apa yang akan kulakukan saat ini, aku berjalan bersama Ezelia di jalanan, namun kami berdua terasa sangat canggung. Mau bagaimana lagi, setelah melihat Ia menangis sebelumnya, aku jadi bingung harus mengatakan apa.
"Hei, bisakah kau melupakan itu tadi?"
Ah, akhirnya Ia bicara. Tapi jujur saja itu permintaan yang sulit, aku mengingatnya dengan jelas. Dan juga, semakin aku ingin melupakan sesuatu, semakin aku mengingat hal tersebut.
"Maaf, tapi itu permintaan yang sulit, apalagi setelah melihat sisi mu yang rapuh dan manis itu..."
"Apa-apaan itu? mulutmu jadi manis sekali."
"Ah tidak, aku hanya salah bicara, maafkan aku."
"Jadi menurutmu aku tak manis?"
"Ah, bukan begitu."
Sialan, ini pertanyaan jebakan. Aku menoleh dan melihat wajah Ezelia yang cemberut, ayolah pikirkan jawaban yang benar.
"Hihi, jangan panik begitu. Kau ini cukup menyenangkan untuk dikerjai."
"Ugh"
Sebior yang jahat, padahal aku sudah peduli padanya. Inilah kenapa aku tak suka berbicara manis seperti itu, tapi jika diingat kembali, ini semua terasa nostalgia yang terjadi antara aku dan Alice. Yah, aku ingin melupakannya tapi sepertinya ingatan tersebut telah terlukis di hatiku.
Dan jika dilihat kembali, Ezelia memang terlihat memiliki kesamaan yang membuat dirinya mirip dengan Alice, Rambut pirang dengan mata berwarna biru langit. Ia yang tertawa ketika menjahili ku, dan juga... aku mengintip kearah dada Ezelia yang kecil, itu sama. Namun sewaktu Alice meninggal, Ia masih berusia sekitar 13 tahun jadi itu wajar. Tapi yah, bukan berarti aku tak menyukai yang kecil... apa sih yang kupikirkan saat ini?
"Hei, apakah kau mau mendengarkan ceritaku sekali lagi?"
"Tentu, tidak masalah."
Aku menanggapi dengan senyuman yang sedikit canggung, tapi entah kenapa aku merasa diriku seperti seorang buaya yang sedang merayu seorang wanita, sial.
Kami duduk di sebuah kursi taman yang ada di taman kota yang cukup sunyi dikarenakan besok adalah hari kerja, tak ada seorang pun yang ada di sekitar taman, untungnya lampu taman masih menyala dan menyinari jalan taman.
"Ini, kau suka minuman manis bukan?"
"Terima kasih senior."
"Tak perlu berterima kasih, lagipula akulah yang meminta bantuan disini."
Ia pun duduk di sampingku dengan memberikan jarak sekitar 20 cm setelah memberiku minuman kaleng rasa coklat itu.
"Aku sudah lelah dengan hidup ini, aku pernah ingin membunuh diriku sendiri dengan meledakkan diri karena menurutku itu adalah cara yang paling mengurangi rasa sakit."
Pandangannya yang awalnya lurus kedepan pun akhirnya berubah, Ia menyandarkan kepalanya pada bangku taman itu.
"Sejak awal hidupku memang sedikit mengenaskan, pada awalnya aku segera diasingkan oleh keluargaku sejak mereka mengetahui bahwa bakat sihirku hanya 250.000 poin. Tapi pada akhirnya, mereka mencoba untuk membawaku kembali setelah melihat pencapaian yang kuhasilkan walau itu mustahil, aku sudah telanjur kecewa pada mereka. Padahal 250.000 itu adalah angka yang cukup besar, semua hanya karena semua keluargaku mendapatkan 1 juta poin kecuali diriku. Dan inilah pembalasanku, aku ingin membalas dendam pada mereka."
"Bukankah ini sedikit gawat karena kau memberi tahu rencanamu padaku?"
"Hihi, kau ini lucu sekali. Aku tahu kau ditolak oleh ayahku untuk menjadi murid dan memilih orang lain, kau tak memiliki dendam pada ayahku tentang itu. Tapi kau kesal bukan karena itu, kau hanya kesal karena ayahku memilih seorang bajingan menjadi muridnya kan?"
Ia tersenyum kepadaku dengan senyumannya yang cerah, kurasa Ia juga memiliki satu kesamaan denganku walau cukup berlawanan dengan kepribadianku. Dia benar, aku kesal, namun aku tak membenci siapapun sekalipun Ia adalah orang terjahat di dunia.
Aku pun membalasnya dengan senyuman.
"Ya, aku kesal. Orang yang dilatih oleh ayahmu itu memiliki banyak masalah, aku tak terkejut jika nanti orang itu akan menjadi target dari aliansi sihir. Bahkan ayahmu juga, dan keluargamu."
"Itu... akan menjadi lebih baik. Mereka membuangku setelah usiaku 15 tahun untuk menyingkirkan diriku, kini akulah yang akan menyingkirkan mereka."
Aku dapat melihat isi hati Ezelia sekarang, Ia dipenuhi dengan rasa dendam dan kebencian. Aku memahaminya, setiap orang menyimpan sebuah perasaan tertentu, tapi sebisa mungkin kau jangan menyimpan kebencian itu terlalu dalam, itu akan merusak hati dan jiwamu.
Tapi aku tak bisa mengatakannya, itu juga hanya akan menyakiti hatinya. Sedangkan kami disini karena Ia ingin membuang beban di lubuk hatinya dengan membagikannya padaku. Jika aku mengatakan hal seperti itu, semuanya akan rusak seketika, belum lagi dark soul yang sebelumnya kami bicarakan dengan Xavier. Semuanya menjadi lebih rumit.
Ezelia tiba-tiba saja berdiri dan meregangkan tubuhnya. Aku melihat wajahnya, Ia benar-benar terasa lebih lega dari sebelumnya.
"Terima kasih karena sudah menemaniku hari ini, mohon bantuannya lagi lain kali."
Ia pun melambaikan tangannya sembari tersenyum puas kepadaku, dia benar-benar cantik. Aku hanya balas melambaikan tangan tanpa mengatakan apapun.
"Aku harus bersiap untuk turnamen itu, sudah kuputuskan."