Pagi-pagi sekali Edison bangun lebih dulu ketika sinar matahari menyelusup di antara tirai kamarnya menembus kaca dan menyinari wajah tampannya. Ia langsung melirik wajah gadis di sampingnya yang meringkuk karena dinginnya udara kamar, walau ia sudah di selimuti kain tebal.
Edison menelpon ke lantai satu rumah nya yang langsung di angkat oleh nyonya Nana. Dengan suara pelan. "Tolong bawakan sarapan untuk dua orang!" pinta Edison kemudian mematikan ponselnya.
Nyonya Nana dibantu satu pelayan untuk menaikan sarapan itu. Ia mengetuk dengan pelan kemudian masuk ke sana. "Sut!" Edison menaruh telunjuknya di depan bibir, menyuruh nyonya Nana untuk tidak berisik.
Pelayan yang menemaninya masuk sampai kaget, melihat Selena masih tidur dengan pulas nya di samping Tuan Edison.
Nyonya Nana menaikan kedua alisnya, ia hanya menaruh nampan berisi makanan itu kemudian kembali turun bersama pelayan itu.
Selena bangun dan menggeliat. Sembari meregangkan tubuhnya ia membuka mata dan menatap langit-langit. Kemudian ia melirik ke sebelah nya. "Tuan, sudah bangun?" Selena kaget dan langsung turun dari ranjang itu.
"Cuci muka, ayo kita sarapan!"
Hanya itu ucapan Edison yang terdengar. Selena menurut begitu saja.
Edison ingin sekali duduk di kursi meja makan. Ia di bantu Selena dengan susah payah. Mereka makan bersama untuk kesekian kalinya.
Tatapan Edison fokus pada rintik hujan yang mulai jatuh membasahi kaca kamarnya, "Ah hujan, padahal aku mau belajar berjalan hari ini!" lirihnya.
Selena hanya menatap sembari mendengarkan. Sampai mereka selesai makan, Selena tetap diam! Kemudian menyeka wajah dan tubuh Edison sembari menyuruhnya menggosok gigi.
"Tuan?" tanya Selena.
"Kenapa?"
"Mau belajar jalan?"
"Diluar hujan," jawab Edison sembari menatap ke jendela.
"Disini saja!"
Selena mengalihkan pandangannya ke arah Edison "Hah? di kamar?"
Selena mengangguk. Tanpa aba-aba ia menghampiri Edison dan meletakan tangannya di antara badan Edison kemudian membantu nya berdiri.
Selena memberikan tongkat untuk Edison Hanya satu kaki saja yang di topang yaitu kaki kirinya. Sedangkan bagian tubuh kanan nya, Selena yang menopangnya.
Edison juga menjadi penurut sekali, kamar Edison yang luas menjadi arena dia belajar berjalan.
"Pelan-pelan saja," lirih Selena.
Edison tampak meringis karena rasa sakit di kakinya. "Apakah sakit sekali?" tanya Selena.
Edison mengangguk. "Masih nyeri." jawabnya singkat.
Mereka terus berjalan dan memutar sekitar setengah jam. Selena tidak banyak bicara. Namun ia melihat wajah Edison tampak tidak bersemangat. "Mau dengarkan lagu?" tawar Selena.
"Lagu?"
"Ya, ayo kita dengarkan lagu."
Selena meninggalkan Edison sebentar kemudian kembali ke kamar itu. Ia membawa sebuah MP3 kemudian memberikan satu earphone di telinga Edison. "Ini hadiah dari Kakak ku saat dia gajian pertama di perusahaan mu, dia bilang ini untuk mengobati rinduku padanya! Atau bisa untuk semangat juga agar kita tidak menyerah dalam hidup." Selena mengatakan itu dengan menyunggingkan senyumnya memperlihatkan sederet gigi rapih gadis itu.
Edison menatap nya dengan seksama. Menerima perlakuan Selena padanya. Kemudian satu lagu di putar, dan senyuman Selena menjadi lebih soft, mereka kembali berjalan dengan pelan. Edison juga lebih santai sembari menikmati lagi yang baru kali pertama di dengarnya itu.
Satu hari, dua hari, kini satu Minggu berlalu. Edison sudah melepas tongkatnya. Selena menjadi penopang satu-satunya tubuh dia.
Namun baru saja ia belajar melangkahkan kakinya. Edison hampir terpeleset dan memeluk Selena didepannya. Selena yang sontak kaget. "Tuan, apa kau baik-baik saja?" gadis itu menyentuh punggung Edison.
Edison mengangkat wajahnya. menatap
Selena yang menengadah. Tanpa sempat Selena berbicara lagi, ia melesatkan sebuah ciuman di bibir gadis itu. Sebuah kecupan lembut, Selena membelalakkan matanya kaget.
Namun Edison tak berhenti, ia begitu menikmati walau tidak ada balasan dari Selena yang kini mematung begitu saja.
"Ah, maaf!" ucap Edison begitu sadar telah melakukan itu.
"Em, ah! Tuan apa kamu lapar?" Selena salah tingkah dan kebingungan.
"Tidak!"
"Kalau begitu istirahat lah, saya akan mengambil obat untuk Tuan."
Edison hanya diam melihat Edison pergi dari kamarnya.
Keesokan paginya.Edison sudah rapih dengan jas yang ia kenakan. "Tuan, apa mau kemana?" tanya Selena.
"Aku ada meeting penting hari ini di perusahaan. Jadi aku harus datang,"
"Tapi bukankah Tuan belum sembuh total, bagaimana jika terjadi sesuatu."
Edison menatap kaca, melihat pada bayangan Selena di cermin itu. "Ikut denganku ke kantor."
"Hah?" Selena kaget.
"Panggil Nyonya Nana!"
Hitungan menit saja, nyonya Nana sudah berada di kamar Edison. "Nyonya, aku akan membawa Selena ke kantor. Tolong dandani dia dengan baju yang cocok." ucap Edison.
Dengan satu kali anggukan. Nyonya Nana mengajak Selena berganti pakaian.
Walau setengah ragu, Selena merasa tidak perlu berlebihan hanya untuk menemani Tuan muda itu ke kantor. Namun, bahkan nyonya Nana mengeluarkan puluhan pakaian dari lemari.
Ada tiga pelayan yang membantu Selena. Ada yang memilih sepatu, make up, juga merubah tatanan rambutnya.
Ketika Edison sedang menunggu di ruang tamu. Selena turun dari lantai dua, membuat Edison terpaku dengan kecantikan gadis itu.
Dress yang digunakan Selena berwarna putih tulang, selutut tanpa lengan juga di sempurnakan dengan sepatu yang senada. Rambutnya yang di ikat sedikit membuat rahang nya terlihat sempurna.
"Tuan, apakah ini tidak berlebihan?" tanya Selena.
"Mengapa?"
"Aku hanya menjaga anda, tapi pakaian nya seperti mau berangkat pesta."
Edison tertawa mendengar itu. "Tidak masalah, ini cantik luar biasa."
Mendengar Edison memujinya membuat Selena dan pelayan yang ada di sana mengulum senyum, membuat Edison malu karena keceplosan.
"Aku akan duduk di depan!" ucap Selena setelah Edison masuk di kursi belakang.
Ia memilih duduk di sebelah Jhon.
Diperjalanan, Selena ingin sekali menegur Jhon yang selalu bersikap dingin itu. "Tuan Jhon, apakah anda punya pacar?" tanya Selena tiba-tiba.
Membuat Jhon hampir tersedak saliva nya sendiri. "Apa yang kamu tanyakan?" jawab Jhon, ia pura-pura membetulkan dasinya sembari memegang stir mobil.
"Aku bertanya, bukankah laki-laki tampan selalu punya pacar!"
"Aku tidak punya." jawab Jhon.
"Benarkah, aku senang mendengarnya."
Mendengar jawaban Selena Jhon dan Edison langsung melirik gadis itu, yang malah tidak merasa berdosa karena menjawab dengan arti ganda, membuat Jhon dan Edison berpikir secara tidak langsung.
"Jika Jhon tidak punya pacar, dia juga tidak ingin kamu menjadi pacarnya." lirih Edison.
"Siapa yang tahu, kami belum mencoba." Selena lagi-lagi menjawab tanpa beban.
Edison merasa kesal sekali dengan jawaban Selena.
Mereka berdiam diri, sampai di depan kantor.
Edison berjalan seperti biasa, Selena dan Jhon mengikuti dia dari belakang.
Resepsionis yang berjaga menatap ke arah Selena . "Bukankah dia perempuan waktu itu?" tanya nya pada rekan kerjanya.
"Ah, gadis yang mencari kakaknya itu?" jawab temannya.
Semua karyawan memberikan hormat dengan sedikit membungkukkan tubuhnya ketika Edison melewati mereka.
Setelah mereka tiba di ruangan CEO, Edison meminta Selena duduk saja di ruangannya sementara ia dan Jhon pergi ke ruangan lain untuk meeting.
Karena bosan ia berjalan di ruang itu.
Sebuah foto di atas meja kerja Edison mencuri pandangan nya. Foto itu sedikit robek tampak ada tiga orang tapi satu orang hanya terlihat setengah badannya. "Foto ini!" lirih Selena.
"Tuan Edison, Jhon dan?" mata Selena terbelalak sebelum melanjutkan ucapannya.